Translate

Tuesday, October 2, 2007

Corporate Governance dalam Lintasan Sejarah Islam?

oleh: Yudi Ahmad Faisal[1]

Istilah corporate governance dalam dinamika perkembangan ilmu manajemen (management sciences) menjadi penting terutama pasca kejatuhan beberapa perusahaan-perusahaan raksasa dunia dan krisis ekonomi asia (Asian Crisis). Beberapa kasus yang menjadi icon dari kegagalan perusahaan menerapkan good corporate governance adalah Enron - sebuah perusahaan energi dan listrik dari Amerika - , kantor auditor tekenal Arthur Andersen - konsultan keuangan dan audit yang mempunyai cabang di seluruh dunia - , dan Worldcom. Di Indonesia pun kasus yang sama terjadi, bad corporate governance mengemuka pasca krisis moneter yang menerpa tanah air antara tahun 1997 – 1999. Beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang perbankan serta beberapa bank swasta nasional dinyatakan bermasalah oleh pemerintah, hukuman pun beragam, antara divonis bankrut dan tidak layak beroperasi. Dampak ekonomi yang sangat keras dirasakan oleh masyarakat pada saat itu, karena bank-bank tersebut yang asalnya diharapkan menjalankan fungsi intermediasi dengan baik, menjelma seolah menjadi “pesakitan” dan harus diobati, dikarenakan mereka menggunakan dana masyarakat atau Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berjumlah hingga triliyun rupiah yang “menguap” entah kemana. Bagaimanakah sebenarnya sistem pengelolaan perusahaan-perusahaan tersebut sehingga bisa jatuh dan bangkrut? Apakah jatuhnya perusahaan-perusahaan ini disebabkan oleh regulasi yang lemah atau karena sistem manajemen yang tidak tepat, ataukah persoalan pelanggaran moral dan etika seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan?.

Corporate governance kembali menemukan eksistensinya setelah silih bergantinya perusahaan yang kolaps yang diakibatkan diantaranya oleh sistem perusahaan dan regulasi yang lemah, pelanggaran moral dan etika. Secara literal corporate governance berarti tata kelola perusahaan. Banyak definisi mengenai istilah tersebut. Satu diantaranya adalah definisi seorang sarjana Inggris Sir Adrian Cadbury 1992: “Corporate governance is the system by which companies/firms are directed and controlled”, dimana corporate governance adalah sebuah sistem dimana perusahaan diarahkan dan dikontrol atau diawasi. Ada juga definisi yang mengaitkannya dengan tanggung jawab perusahaan terhadap pemilik dan masyarakat (as the relationship of a company to its shareholders or more broadly as its relationship to society). Dari Definisi yang ada, komponen corporate governance tidak pernah terlepas dari komponen pengawasan (control), pengarahan (directed), pengelolaan (manage), dan seperangkat mekanisme (set of mechanism) yang semuanya mengacu kepada sistem pengelolaan perusahaan.

Definisi-definisi tersebut lahir dari perkembangan ilmu manajemen modern yang lahir 14 abad setelah Islam disebarkan Nabi Muhammad Saww. Adakah sejarah perkembangan umat Islam merekam kejadian yang berhubungan dengan pembahasan kita ini, yaitu corporate governance atau tata kelola perusahaan?

Dalam bab “Memerangi Musuh Negara: Transparansi Individu dan Sosial[2], Jalaluddin Rahmat menukil sebuah piagam klasik pada zaman Khulafaur ar Rhasyidiin dengan menulis sebagai berikut:

Inilah yang diperintahkan oleh hamba Allah Ali Amirul Mukminin kepada Malik ibn Al Harits Al Asytar dalam perjanjian atasnya ketika ia mengangkatnya sebagai Gubernur Mesir untuk mengumpulkan pajak, memerangi musuh Negara, menyejahterakan penduduk, dan memakmurkan negeri.

Angkatlah para pejabat Anda setelah melalui proses pengujian, janganlah sekali-kali memilih orang karena ikatan kasih saying atau hubungan pribadi, karena keduanya merupakan sumber kezaliman dan pengkhianatan. Pilihlah diantara mereka orang-orang yang berpengalaman dan memiliki harga diri dari keluarga yang terkenal kesalehannya dan keutamaannya di dalam Islam. Mereka adalah orang yang paling mulia akhlaknya, paling bersih reputasinya, paling sedikit kerakusannya, dan paling konsekuen dalam menjalankan urusannya.

Kemudian berilah mereka gaji yang banyak karena gaji itu akan memperkuat mereka dalam memperbaiki diri mereka dan mencukupi keperluan mereka sehingga tidak memanfaatkan apa yang berada dalam tanggung jawab mereka. Selain itu, gaji itu akan menjadi argumentasi yang kuat untuk mendakwa mereka jika mereka menentang perintahmu atau menyelewengkan amanatmu.

Kemudian awasi pekerjaan mereka. Bentuklah tim pengawas dari orang-orang yang jujur dan setia karena pengawasan Anda akan mendorong mereka untuk menjalankan amanat secara setia dan menyayangi rakyat. Berhati-hatilah dengan para pejabatmu. Jika salah seorang diantara mereka menjulurkan tangannya untuk berkhianat dan para pengawasmu sudah mengukuhkan penyelewengannya, cukuplah itu sebagai bukti.

Anda harus memberikan hukuman badan kepadanya dan mengembalikan dana yang sudah diselewengkan. Kemudian Anda harus menempatkannya pada keadaan yang memalukan, memasukannya dalam daftar hitam pengkhianatan, dan melingkarkan di lehernya kalung kejahatan”.

Piagam tersebut menyebutkan bahwa seleksi pengujian seorang pejabat atau pegawai wajib dilakukan untuk mendapatkan orang yang berakhlak mulia dengan reputasi terhormat. Tetapi lebih lanjut Imam Ali ibn Abi Thalib, menegaskan bahwa harus dibentuk tim pengawas sebagai sistem control, ini mengindikasikan bahwa karakter saja tidak cukup menjamin kejujuran, harus di dukung dengan pengawasan terhadap para pejabat sehingga mampu menutup peluang penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Selanjutnya ditegaskan penjatuhan hukuman (punishment) atau dalam bahasa populer sekarang disebut law enforcement terhadap para pejabat yang menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi (self interest) maupun golongannya.

Dalam piagam tersebut terkandung hikmah yang sangat relevan dengan perkembangan ilmu manajemen zaman sekarang, terutama corporate governance. Dua pendekatan menjadi isu utama kita dalam membangun definisi CG dengan berguru kepada sejarah perjalanan umat Islam - yang terekam dalam pigam pengangkatan Malik ibn Al Harits Al Asytar sebagai Gubernur Mesir oleh Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib - yaitu pendekatan individual, terdiri dari kemampuan dan kejujuran, dan pendekatan sosial.

Dalam Islam, kejujuran diungkapkan dalam dua nilai utama, yaitu shidieq dan amanat[3]. Makna shidieq diartikan kejujuran dalam menerima, mengolah dan menyampaikan informasi[4]. Shidieq dalam menginformasikan, bisa diperluas maknanya kedalam konteks kekinian perusahaan, contohnya transparansi anggaran. Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib, kalau kewajiban tidak bisa dijalankan kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib[5]. Shidieq adalah kewajiban, dan transparansi anggaran adalah salah satu bentuk shidieq dalam konteks perusahaan. Kejujuran tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan transparansi anggaran, berdasarkan kaidah itu maka menjalankan transparansi anggaran adalah wajib. Begitu juga analogi ini bisa diperluas kedalalam segala bentuk transparansi informasi yang diperlukan public, seperti laporan keuangan, transparansi perhitungan zakat (zakat calculation), distribusi bagi hasil (profit sharing distribution) dan lain-lain.

Aspek kedua yang termasuk kejujuran adalah amanat. Shidieq sangat berkaitan erat dengan amanat. Contoh amanat dalam mengelola perusahaan adalah mengalokasikan dan mendistribusikan anggaran kepada yang berhak. Untuk mengontrol shidieq dan amanat diperlukan pengawasan sebagai pengejawantahan pendekatan social. Dengan menggunakan kaidah ushul fiqh yang sama, kita bisa menyimpulkan bahwa pengawasan wajib, karena shidieq dan amanat tidak akan berjalan tanpanya.

Dengan demikian dari uraian diatas dapat dieksplorasi lebih jauh bahwa dalam corporate governance, komponen kemampuan (competency, expertise, proficiency) dan kejujuran (integrity, trustworthiness, truthfulness) adalah penting, tetapi bergantung hanya kepadanya tidaklah cukup, contohnya banyak kejatuhan perusahaan-perusahaan raksasa bukan disebabkan oleh kebodohan para manajer, tetapi justru disebabkan oleh kebrilianan dan kecerdikan para manajer professional dengan seabreg pengalaman dan prestasi akademik yang prestisius, mereka memanipulasi kegiatan perusahaan demi kepentingan pribadi (self interest), contohnya dalam kasus Enron, Arthur Andersen, bank-bank swasta nasional di tanah air yang menggelapkan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dengan demikian maka perlu untuk mengintegrasikan sistem pengawasan dan penegakan hukum (law enforcement) ke dalam komponen pengelolaan perusahaan.

Setelah membahas secara singkat lintasan sejarah umat Islam yang dicontohkan Ali ibn Abi Thalib, maka untuk melaksanakan corporate governance setidaknya diperlukan 2 pendekatan sekaligus yang terintegrasi satu sama lain, yaitu pendekatan individu dan pendekatan social. Pendekatan individu mengacu kepada kemampuan dan kejujuran pihak-pihak yang menjalankan perusahaan, hal yang bisa dikembangkan dari pendekatan ini adalah proses seleksi pegawai dan pejabat, code of conduct, code of corporate culture, dan lain-lain. Sedangkan pendekatan social mengacu kepada sistem pengawasan, seperti mekanisme pengawasan, bentuk pengawasan (pengawasan internal dan eksternal), dan perundang-undangan tentang pengelolaan perusahaan oleh pemerintah. Dan yang terakhir adalah penegakkan hukum (law enforcement), sebagai shock therapy dan punishment bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai kejujuran.

wallohu a’lam bishowab.

f

[1] Student of IIUM Institute of Islamic Banking and Finance. 2007. email: yudiaf@gmail.com

[2] Jalaluddin Rahmat. Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan. Serambi Ilmu Semesta. Cetakan II. 2006.

[3] Jalaluddin Rahmat. p. 285.

[4] Idem.

[5] Idem.