Translate

Saturday, September 29, 2007

Perjalanan Hidup

Perjalanan Hidup[1]

Rasanya baru kemarin saya menapakkan kaki di sebuah kawasan wisata Senggigi, daerah yang bernama Kerandangan di Nusa Tenggara Barat. Kenangan yang masih sangat jelas tergambar dalam bayangan entah jiwa ataupun bagian otak yang mempunyai tugas merekam kejadian yang telah berlalu. Ketika saya bersama-sama sahabat dan teman-teman organisasi bercengkrama dengan masyarakat sebuah desa di Kabupaten Karangasem, Bali dan masyarakat Pegayaman di Kabupaten Buleleng. Kenangan kembali tergambar secara jelas ketika saya berjalan dengan Istri tercinta di Kawasan Taman Melati menuju ke sebuah stasium LRT untuk pergi menuju Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC) melihat gedung Petronas yang sangat penomenal di tengah ibukota Malaysia. Rasanya baru dua hari kemarin saya menikmati waktu bersama istri tercinta di sebuah Mall Tematik di kawasan Cihampelas Walk, Bandung, Jawa Barat sambil duduk bersanda gurau menikmati dua buah roti. Bahkan rasanya baru kemarin, saya berlari-lari di sebuah jalan kecil ditengah sawah dikawasan Jalan Ciledug Garut, bersama-sama dengan sahabat SMP saya, ketika kami bersama-sama menuntut ilmu di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Daerah Garut. Bahkan rasanya baru kemarin saya berlari-lari menghindari kejaran teman, dalam sebuah permainan yang bernama Galah, di belakang pasar inpres didepan terminal Cileunyi Kabupaten Bandung.

”Rasanya baru kemarin” selalu dibumbui dengan aneka perasaan hati dan jiwa, perasaan sedih, kecewa, senang, bahagia, marah, dan berbagai suasana hati yang hanya tergambar dari realitas kehidupan tanpa bisa ditransformasi kedalam bahasa verbal.

Kontemplasi saya terhadap rangkaian kata ”lahwuun wa laibun” yang berarti ”canda gurau”, yang digunakan dalam salah satu ayat Quran dalam menggambarkan hidup manusia, bagaikan lautan makna dan interpretasi yang tidak berujung. Bagaikan lingkaran yang tidak mempunyai tepi dan terus menerus berputar di jalan yang sama.

Apakah makna ketika kesedihan menjumpai dan akrab dengan kehidupan seorang anak yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya, tanpa mewariskan sepeser pun harta kekayaan untuk dimanfaatkan. Apakah makna ketika peluru senjata pasukan Zionis Israel (laknatullah) menghantam dan menghancurkan tulang putih seorang anak lugu yang dipeluk Bapaknya yang bernama Muhammad ad Durra. Apakah makna ketika ratusan orang berebut sepotong roti disebuah desa di negara Somalia, hanya untuk bertahan hidup pada hari itu saja. Apakah makna ketika banyak orang yang mengaku Islam menghabiskan uang dalam satu malam ribuan dollar Amerika hanya untuk mengenyangkan kesenangan duniawi belaka. Apakah makna ketika Husein ra. –cucu Nabi Muhammad SAW – dibantai di padang Karbala oleh pasukan yang loyal terhadap Yazid bin Muawiyyah. Realitas sejarah dan kenyataan kehidupan itu seolah membelaikan tangan untuk diketahui dan dicarikan maknanya, kenapa itu semua menampakkan kehadirannya ditengah kehidupan manusia.

Hidup adalah sebuah perjalanan antara, antara sifat kemanusiaan menuju sifat ketuhanan, ???

Cinta manusia: Hubbud ad dunya?

Kehidupan modern sekarang ini manusia terpana dengan kegemilangan materialisme yang telah menjelma menjadi sebuah penomena hidup yang menyelimuti eksistensi manusia sebagai sebuah entitas alam ruh dan alam materi. Filsafat materialisme seolah telah menemukan tempatnya dengan membuat fondasi yang kokoh dalam kehidupan manusia yang menyulap manusia menjadi makhluk materialistik yang jauh dari visi penciptaan manusia itu sendiri. Keadaan itu telah menarik kembali kajian tentang tasawuf klasik yang menjelma menjadi istilah tasawuf modern, sebagai perwujudan dari tasawuf yang hidup ditengah kehidupan modern. Oleh karena itu, sebagian sarjana-sarjana muslim dewasa ini sering sekali mengutip dalil-dalil yang mereka jadikan rujukan sebagai salah satu bencana besar manusia yang menyerang orientasi manusia hakiki, yaitu hubbub ad dunya wa kharohiyatul maut (cinta dunia dan takut mati).

Batasan hubbud ad dunya seolah menjadi rancu, cinta dunia yang seperti apa yang memenjarakan manusia dalam kejahatan dan keburukan yang dikutuk oleh Allah SWT, sehingga merusak keimanan dan keislaman itu sendiri. Pertanyaan berlanjut dengan ungkapan apakah cinta manusia bisa dikategorikan sebagai cinta dunia? Cinta yang seperti apa yang dikategorikan dalam dalil tersebut? Batasan cinta seperti apa yang bisa memenjarakan manusia dalam keburukan dan kejahatan?

Nabi Muhammad Saw diriwayatkan sebagai sosok manusia agung yang sangat mengasihi kepada keluarganya, sahabatnya, umat islam dan umat manusia, dengan tidak memandang keyakinan yang dianut (perwujudan ukhuwah insaniyah?). Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw mempunyai kebiasaan memberikan makan kepada seorang gelandangan yahudi buta yang biasa ”mangkal” disebuah pasar di Madinah, setiap hari kelakuan orang yahudi ini menjelek-jelekan, mencela, menfitnah, Nabi Muhammad Saw. Ketika Nabi Muhammad Wafat, Abu Bakar as Shidieq ra. Berikrar untuk meneruskan kebiasaan mulia Nabi Muhammad Saw ini, dengan memberikan makan kepada gelandangan yahudi buta tersebut. Kemudian terjadi dialog singkat, gelandangan yahudi tersebut memegang tangan Abu Bakar As Shidieq ra, ”Siapa engkau??” kata gelandangan yahudi. ”Engkau bukan orang yang biasa memberikan makanan kepadaku?”, Abu Bakar as Shidieq keheranan, ”Kenapa Kamu tahu bahwa saya bukan orang yang biasa memberikan makanan padamu, padahal engkau buta?”. Orang yahudi itu menjawab, ”Orang yang suka memberikan makanan kepadaku, selalu menyuapiku, sebelum dia menyuapiku, dia selalu mengunyahkan makanan tersebut terlebih dahulu, sebelum disuapi kepadaku, karena aku orang buta yang sudah tidak mempunyai gigi”. Mendengar penjelasan orang buta tersebut, Abu Bakar nangis tersedu-sedu, hatinya tidak kuat menahan kebaikan yang telah dilakukan Nabi Muhammad Saw, ”alangkah mulianya engkau wahai Rasul Allah, engkau begitu baik kepada orang telah menjelek-jelekan mu, mengutukmu dan berbuat tidak baik kepadamu. To be continued......



[1] Ditulis oleh Yudi Ahmad Faisal. Untuk istriku tercinta, anakku terkasih. June 2007.

Mencari Format Evaluasi Ekonomi Islam

Dalam tiga decade terakhir, perkembangan pesat mengiringi perjalanan sepak terjang ekonomi Islam. Sudah banyak hal yang telah diperbuat dari perkembangan kajian ekonomi Islam, implikasi dari kemajuan cepat ini di representasikan oleh infrastruktur ekonomi syariah sudah mulai menunjukan keberadaanya dan pengaruh yang jelas dalam kehidupan berekonomi manusia di dunia ini. Meskipun infrastruktur ini masih dalam tahap pembangunan dan masih banyak aspek yang perlu dikaji untuk kesempurnaan pondasi infrastruktur ekonomi Islam. Upaya untuk melihat dan mengkaji perkembangan ekonomi Islam perlu dijelaskan dalam scope yang mewakili perkembangan tersebut, sebuah instrumen evaluasi baik terhadap substansi ekonomi Islam itu sendiri maupun terhadap infrastruktur yang berfungsi sebagai alat penerjemah dari kajian teoritis ekonomi Islam itu sendiri perlu ditampilkan. Objektifitas dalam mengevaluasi akan sangat ditentukan oleh validasi dari instrumen evaluasi ini.

Dalam upaya untuk menampilkan perkembangan ekonomi syariah, beberapa sarjana muslim di Indonesia telah berupaya untuk memformulasikan variabel pengukur perkembangan ekonomi syariah, variabel ini bersifat deskriptif. Contohnya Dawam Rahardjo (2003) menampilkan model empat pendekatan disajikan untuk melihat sejauh mana perkembangan dari ekonomi Islam. Variabel pertama adalah perkembangan Islamic Economics Corpus, variabel ini untuk mengkaji sejauh mana perkembangan pemikiran ekonomi Islam secara teoritis yang terefleksikan diantaranya oleh literatur, jurnal, buku dan makalah ekonomi Islam. Upaya menampilkan variabel ini sangat beralasan, karena substansi dari sebuah pergerakan adalah bermula dari pemikiran. Namun tidak diketahui dengan jelas batasan dari variabel ini, apakah hanya menampilkan hasil pemikiran an sich ataukah ada penekanan untuk mengevaluasi teori-teori ekonomi Islam secara substantif. Jika yang disebutkan terakhir ini ditampilkan, maka yang harus dikembangkan selanjutnya adalah batasan pemikiran dalam mengkritik teori ekonomi Islam itu sendiri. Dan ini akan sangat bersifat dinamis, dan merupakan kewajaran dalam dunia intelektual, pengembangan sebuah teori dan tentu saja proses trial and error sudah pasti muncul. Konsekuensi logis dari perkembangan Islamic economics corpus adalah peningkatan kualitas intelektual sumber daya insani. Kelahiran sumber daya insani ini merupakan sebuah ”evolusi alamiah” dari proses kajian, diskusi intensif yang dipraktekan untuk menemukan format ekonomi yang sesuai dengan sifat alamiah dasar manusia sebagai entitas material dan spritual dan untuk mencapai peradaban yang adil, dan tentu saja dirahmati Tuhan, karena dominasi prinsip-prinsip rejilius dalam prakteknya sebagai wujud penghambaan total manusia terhadap Pencipta-nya. Variabel yang kedua adalah hadirnya lembaga-lembaga pendidikan baik dalam bentuk informal maupun formal yang mengkaji dan menelaah ekonomi Islam. Lahirnya lembaga ini merupakan kebutuhan dari sebuah perkembangan yang harus difasilitasi untuk bisa tersosialisasi di masyarakat. Variabel ini sangat jelas hadir karena kebutuhan akan sebuah media untuk dapat mengkaji lebih intensif dan menelaah setiap ide-ide para pemikir (breakthrouger). Kehadiran sumber daya insani yang mempelajari ekonomi Islam melalui media ini akan lebih terarah dan terstruktur serta terencana dengan rapi, karena aturan baku dari sebuah program yang dibuat serta proyeksi yang jelas terhadap kualitas, ide dan visi dari sumber daya insani yang diciptakan. Variabel ketiga yang digunakan adalah perkembangan institusi keuangan bank dan institusi keuangan lainnya yang sesuai yang berusaha mengaplikasikan prinsip-prinsip syariah dalam produk dan jasa yang ditawarkan serta pelayanan. Dalam penjelasan selanjutnya, variabel ini dalam kurun 30 tahun terakhir perkembangan ekonomi syariah di dominasi oleh perbankan yang mencoba mendasarkan operasional dan produknya kepada aturan-aturan syariah (Islamic Banking). Variabel ini dimunculkan setelah kehadiran variabel pertama dan kedua, penetrasi riil perkembangan teori dan pemikiran ekonomi Islam diwakili oleh keberadaan variabel ketiga ini, dan yang terakhir adalah variabel perkembangan di sektor riil. Ini merupakan tujuan ”akhir”[3] dari semua perkembangan yang dimulai dari variabel pertama sampai ketiga. Kemampuan ekonomi Islam diuji oleh realitas di sektor riil ini, apakah ekonomi Islam mampu memberikan solusi terhadap permasalahan terhadap yang ”merakyat” ini, ataukah belum?. Disinilah titik kulminasi dari sebuah evolusi terhadap perkembangan ekonomi Islam jika dilihat implikasi bagi kehidupan berekonomi manusia.

Adiwarman Karim (2003) menawarkan 3 aspek pendekatan untuk menggambarkan perkembangan ekonomi Islam. Aspek pertama mempunyai substansi yang sama dengan yang ditawarkan Dawam Rahardjo (2003), yaitu perkembangan ilmu ekonomi syariah tetapi implikasi dari perkembangan ini, memasukan variabel sumber daya insani yang oleh peneliti sebelumnya di jadikan sebagai variabel tersendiri. Aspek yang kedua adalah perkembangan sistem ekonomi Islam, perkembangan ini harus direlasikan dengan perekonomian secara umum. Menariknya dalam aspek ini Adiwarman karim, menekankan pada pentingnya political will dalam mendukung perkembangan sistem ekonomi Islam, seperti regulasi tentang sistem ekonomi dan keuangan Islam itu sendiri perlu ada payung hukum yang mengatur aturan mainnya dalam dunia legal formal. Aspek yang terakhir adalah perkembangan ekonomi umat, aspek ini juga mempunyai kesamaan yang kuat dengan variabel yang disajikan Dawam Rahardjo.

Dari semua formulasi yang dihadirkan tersebut, tidak satupun formulasi yang mencoba untuk menekankan pada ekonomi Islam secara substansi, maksudnya melihat sesungguhnya bangunan dari ekonomi Islam itu sendiri. Selama ini Ekonomi Islam selalu diposisikan sebagai pengkritik dari ekonomi Ekonomi Konvensional yang mapan dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun terakhir ini, dalam memposisikan sebagai pengkritik ini sudah pasti ekonomi Islam seharusnya mempunyai kerangka yang jelas sehingga proses mengkritik menjadi objektif. Penekanan pada formulasi untuk mengevalusi ekonomi Islam secara substansi ini merupakan hal yang urgen.

Beberapa penulis sebelumnya telah mencoba untuk menghadirkan wacana ini, salah satunya adalah Khoerul Umam (2007)[4] dalam tulisannya sangat kental suasana otokritik terhadap perkembangan ekonomi Islam itu sendiri, tetapi penekanan kritik ini berpusat pada substansi bukan pada perkembangan fisik, meskipun menyebutkan beberapa implikasi dari perkembangan perkembangan ekonomi Islam yang dikritik tersebut. Dalam kritiknya tersebut disebutkan, pertama Ekonomi Islam belum memenuhi syarat sebagai pengkritik ekonomi konvensional karena bahan kritikan cenderung memakai kerangka normatif, bukan mengintegrasikan antara normatif dan positif sehingga tidak memenuhi syarat objektifitas karena menilai dua hal yang jelas berbeda, yang kedua Ekonomi Islam belum teruji secara riil, alasannya karena banyak negara muslim yang belum memakai ekonomi Islam sebagai kerangka kebijakan ekonomi negaranya. Ketiga, Ekonomi Islam mengalami kesulitan menemukan karakter dirinya yang berbeda dengan ekonomi konvensional dalam tataran operasional.

Kritikan tersebut menurut penulis tidak sepenuhnya benar, dalam tataran teoritis ada hal-hal yang telah dilakukan oleh para sarjana muslim yang mendalami ekonomi Islam untuk mencoba mengkiritik ekonomi konvensional dengan pendekatan positif, salah satu contohnya adalah kritik terhadap konsep money creation (fractional reserve system) pendekatan yang dilakukan tidak sepenuhnya normatif, karena kritik pada tataran normatif jelas sekali, bahwa Islam melarang tindakan menciptakan uang dari uang, dan ini bisa dijawab melalui konsep bunga[5]. Kritikan terhadap konsep ini dilakukan melalui analisis ilmiah mekanisme fractional reserve money yang membahayakan dibandingkan dengan konsep yang lebih sesuai dengan aturan Islam, yaitu konsep gold dinar[6]. Artinya dalam mengkritik konsep credit money creation telah diupayakan sebuah pendekatan kritik yang menggabungkan konsep normatif dan positif. Ini merupakan salah satu contoh, dan masih banyak lagi contoh kritikan sesuai dengan kriteria ini. Namun, yang perlu ditekankan disini adalah wacana perlu adanya sebuah otokritik terhadap bangunan ekonomi Islam itu sendiri, sudahkah ekonomi Islam menampilkan karakter dirinya sendiri, yang menurut terminologi Alparslan Acikgene seperti dikutip dalam Khoerul Umam(2007) dalam Islamic Science: Toward a Definitian, karakter yang dibangun oleh Islamic Worldview. Ataukah masih mengikuti benchmark Ekonomi Konvensional sehingga dalam perkembangannya pun akan mengikuti aturan main dan kerangka ekonomi konvensional.

Membicarakan dan membahas evaluasi terhadap bangunan ekonomi Islam itu sendiri merupakan konsekuensi logis dari harapan yang tinggi umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, terhadap keberadaan sistem ini, yang dilandasi nilai-nilai relijius dan membawa misi membangun ekonomi yang berkeadilan.

Membicarakan bangunan ekonomi Islam sekarang tidak bisa dilepaskan dari upaya Islamization of knowledge, yaitu usaha untuk mengislamisasi ilmu pengetahuan yang semakin populer dalam dunia muslim, yang disebabkan oleh ketertinggalan dunia muslim dengan dunia barat dalam bidang sciences dan technology. Pendekatan yang dominan dalam membangun ekonomi Islam sekarang ini adalah pendekatan la tukadhibuhu jamii’a walaa tushohihuhu jamii’a (jangan buang semuanya dan jangan ambil semuanya) artinya pendekatan yang dimulai dengan proses penyaring kemudian menambah nilai (value added). Pendekatan ini telah menjadi mazhab mainstrem ekonomi Islam, dengan motor penggerak seperti Umer Chapra, M. Nejatullah Shiddiqi. Dalam pendekatan ini, kecenderungan untuk dikritik akan terbuka karena kerangka ekonomi konvensional tidak seutuhnya dibuang (sehingga kecenderungan untuk memakai benchmark ekonomi konvensional akan semakin kuat) semenjak mazhab pemikiran ini mendeklarasikan pendekatan penyaringan (filterisasi) dan menambah nilai (value added), meskipun nanti akan kita bahas, justifikasi dari mazhab ini diantaranya antara lain bahwa ekonomi konvensional sekarang ini tidak sepenuhnya dibangun oleh dirinya sendiri melainkan ada warisan-warisan pemikiran ekonom islam klasik dalam ilmu ekonomi konvensional.

Lain lagi jika melihat Mazhab ekonomi Islam lain, yaitu mazhabnya Ayatullah Muhammad Baqr al Saqr, dimana pendekatan yang dilakukan adalah membuang (negasi) semua warisan ilmu ekonomi konvensional, sehingga think thank mazhab ini tidak mau sama sekali menggunakan istilah ”ekonomi” tetapi memakai istilah arab yaitu ”iqthishod” sehingga bukunya yang terkenal berjudul Iqthishoduna. Apakah ini yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Alparslan Acikgene (1996) karakter yang dibangun oleh Islamic Worldview sehingga akan melahirkan karakter dan bangunan yang sama sekali berbeda dengan karakter dan bangunan ekonomi konvensional.



by. Yudi Ahmad Faisal

to be continued....




[1] Pemikiran selama Bulan Maret 2007. Di UIA Malaysia.


[2] Member of Islamic Economics Forum for Indonesia Development (ISEFID), Mahasiswa PGDIBF Institute of Islamic Banking and Finance IIU Malaysia 2007.


[3] Maksud “akhir” disini bersifat relative untuk kehidupan di dunia saja, karena jika berbicara ekonomi Islam, ada implikasi di kehidupan selanjutnya, yaitu akhira. Ini terjadi setelah para sarjana muslim bersepakat bahwa ekonomi islam tidak bersifat keduniwian semata tetapi juga bersifat keakheratan.


[4] Tulisan dalam Diskusi Milis ISEFID 2007.


[5] Terangkan konsep bunga ???


[6] Bahasan selengkapnya baca Ahamed Kameel Meera & Moussa Larbani (2004) “Seignorage of Fiat Money ant the Maqasid al Shariah: the compatibility of the Gold Dinar with the Maqosid” KENMS IIUM.

Pendidikan Ekonomi Kita. Mengenang Prof. Dr. Mubyarto

Pendahuluan

Meskipun banyak dosen ilmu ekonomi di fakultas-fakultas ekonomi kita merasa tidak lagi menganut dan mengajarkan ilmu ekonomi klasik dan Neoklasik “murni”, tetapi lebih dekat pada ajaran Keynesian, tokh dalam kenyataanya pelajaran dasar ilmu ekonomi yang terdapat dalam buku-buku teks teori ekonomi mikro maupun makro semuanya tetap berdasar asumsi-asumsi teori ekonomi Neoklasik . Itulah sebabnya Paul Samuelson penulis buku teks Economics, Introductory Analysis yang sudah mencapai edisi 17 tidak lagi terkenal sebagai guru besar ilmu ekonomi tetapi oleh Robert Nelson disebut sebagai Nabi Ekonomi. Artinya Samuelson dianggap berhasil sebagai Nabi penyebar “agama” ekonomi dan bukan sebagai ilmuwan ekonomi profesional.

Ketika ilmu ekonomi Neoklasik “dilawan” paham (ilmu) ekonomi kelembagaan (institusional economics) seperti Thorsein Veblen dan John Commons (1994-1905), ilmu ekonomi Neoklasik bertahan keras, bahkan kemudian justru (merasa) posisinya lebih kuat lagi dengan kelahiran ilmu ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economics) pimpinan Douglas North. Selanjutnya Konsensus Washington tahun 1989 memberikan angin segar pada lahirnya paham Neoliberal yang berasas Fundamentalisme Pasar (Market Fundamentalism).

Di Amerika, Inggris, dan sejumlah negara “Barat” atau “Utara”, makin banyak buku-buku termasuk buku teks ditulis sebagai kritik dan sekaligus sebagai paham “ekonomi alternatif” untuk “menggantikan” buku-buku teks konvensional (Ormerod, The Death of the Economics, 1994, Steve Keen, Debunking Economics, 2001, dan sebelumnya Hunt & Sherman Economics: An Introduction to Traditional and Radical Views, 1978). Meskipun demikian ekonom Indonesia kebanyakan tidak merasa “ada yang salah dalam ilmu ekonomi Neoklasik”. Kita tidak heran jika tokoh-tokoh pemikir ekonomi Indonesia “enggan” membaca, lebih-lebih mempelajari dengan serius buku-buku kritis yang menolak ajaran ilmu ekonomi Neoklasik yang sudah sangat mapan ini.

Pada tahun 1969 Prof. Sardjito, Rektor pertama UGM, mengingatkan pimpinan perguruan tinggi Taman Siswa agar tidak memberikan pendidikan ekonomi kapitalis kepada mahasiswa Fakultas Ekonomi yang akan dibuka.

Ilmu Ekonomi Salah Kaprah

Jika tahun 1969 Prof. Sardjito sudah mengingatkan dosen-dosen ekonomi Indonesia tentang ketidakcocokan ajaran ilmu ekonomi kapitalis dari Amerika bagi mahasiswa Indonesia, di Amerika sendiri tahun 1971 terbit buku Is Economics Relevant? (Robert Heilbroner dan Arthur Ford) diikuti tahun 1972 dengan penerbitan buku What’s Wrong with Economics? (Benyamin Ward). Bahwa judul ke-2 buku ini berupa pertanyaan menunjukan baetapa kenyataanya jauh lebih kuat pandangan bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang “relevan” dan “tidak ada yang salah” bagi bangsa Amerika bahkan bagi bangsa-bangsa lain juga. Meskipun demikian tetap saja argumentasi penulis ke-2 buku sangat meyakinkan terutama ketika terbukti para ekonom akademik selalu bersifat “konservatif” dan bersimpati pada kemapanan. Mereka selalu menolak mempertanyakan soal sosial-politik “hangat” yang sedang dihadapi masyarakat karena alasan “Intelectually unconfortable, politically risky, or simply out-of-step eith their colleagues” (Heilbroner & Ford, 1971).

“Kemunduran” atau “kekurangan” besar ajaran ekonomi Neoklasik sangat mudah dikenali antara lain dari dua alasan perubahan nama ilmu ekonomi dari “political economy” menjadi “economics” (Alfred Marshall, 1980) yang berarti hilangnya 2 aspek penting ajaran ilmu ekonomi:

(1) Kaum Klasik (Smith, Ricardo, Maltus, Mill, dan Marx) memiliki perasaan sangat kuat tentang “social destination” masyarakat-bangsa, dan sekaligus mereka berusaha membantu masyarakat menuju ke arah pewujudannya, sedangkan kaum Neoklasik berpandangan sangat individualistik, dimana setiap manusia memikirkan kesejahteraan diri sendiri.

(2) Kaum Klasik tegas dan jujur selalu siap membahas komposisi dan konflik “klas” atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memerlukan perhatian terus. Misalnya Adam Smith yang berpaham liberal tidak segan-segan mengingatkan masyarakat akan perilaku kelompok bisnis yang cenderung (atau selalu) serakah, sekaligus tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan yang “melawan” kepentingan umum.

Kritik lain terhadap ajaran ekonomi Neoklasik justru sering dilancarkan sebagai jawaban para penganutnya sendiri akan bahaya menjadikan ajaran-ajarannya bukan sebagai ilmu yang obyektif tetapi sebagai ideologi. Misalnya ekonomi Neoklasik Indonesia menentang konsep ekonomi kerakyatan dan upaya-upaya ekonom “populis” untuk menunjuk atau merujuk isi pasal 33 UUD 1945. Mereka bersikukuh bahwa sistem pasar bebas adalah objektif-ilmiah dan “bebas dari ideologi”, tanpa menyadari bahwa kepercayaan yang terlalu besar dan “membabi buta” terhadap kemampuan pasar untuk memecahkan segala konflik juga merupakan ideologi tersendiri. Inilah yang kelak disebut fundamentalisme pasar yang mengira pasar selalu akan mampu memecahkan dan mengubah disharmoni menjadi harmoni. Bahkan kepercayaan bahwa pasar adalah bebas nilai (value free) jelas merupakan ideologi sendiri (Positive Economics) yang amat sulit dipatahkan.

Serangan J.M. Keynes tahun 1936 ditujukan terhadap kaum Klasik bukan pada kaum Neoklasik, meskipun sebenarnya ke-2 paham / ajaran mempunyai persamaan besar dalam kepercayaan terhadap kekuatan (mekanisme) pasar. Tetapi kritik kita terhadap ajaran Neoklasik sama dengan kritik Keynes yaitu asumsi-asumsi ajaran Neoklasik “tidak realistis” atau “tidak cocok” dengan kenyataan hidup.

Ilmu Ekonomi yang Anti-Agama
Jika sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa yang berarti bahwa bangsa Indonesia mengakui manusia sekadar sebagai ciptaan Tuhan, maka ajaran-ajaran agama khususnya yang tercantum dalam kitab-kitab suci setiap agama pasti harus dipatuhi.

Namun yang menarik dan memprihatinkan kita justru bahwa pemikiran-pemikiran ekonomi selalu cenderung melupakan bahkan melanggar ajaran-ajaran agama. Sejak ajaran-ajaran ekonomi kapitalis-liberal dan kini kapitalis-Neoliberal menguasai pemikiran dunia bisnis internasional, yang menonjolkan keserakahan individu dan meninggalkan ajaran-ajaran agama yang menekankan pada kebersamaan, telah berkembang ajaran-ajaran moral dalam ekonomi yang berusaha membendung kecenderungan yang menyesatkan tersebut. Buku Amitai Etzioni, The Moral Dimension: Toward a New Economics (1988), menggambarkan secara tepat pergulatan paradigmatik antara ajaran ekonomi baru (socioekonomi) dengan ajaran ekonomi neoklasik yang individulistik-rasionalistik.

Kita sekarang berada di tengah-tengah pertarungan paradigma. Yang ditantang ialah paham utilitarian yang sudah sangat mapan, paradigma neoklasik yang individulistik-rasional, yang diterima dan diterapkan tidak hanya pada kehidupan ekonomi, tetapi juga pada hubungan-hubungan sosial yang semakin luas, dari kejahatan sampai kehidupan keluarga (Etzioni 1998).

Buku Amitai Etzioni yang terbit tahun 1988, sudah terbit dalam bahasa Indonesia 4 tahun kemudian (1992), ketika bangsa Indonesia makin merasakan aneka “keanehan” atau paradok dalam pembangunan ekonomi dan masyarakat. Misalnya, yang paling menonjol adalah “kontradiksi” antara “keajaiban” pembangunan ekonomi Indonesia dengan ketimpangan ekonomi dan sosial yang makin tajam. Bank Dunia yang menerbitkan buku “East Asian Miracle” (1993) yang memasukan Indonesia sebagai salah satu “keajaiban ekonomi Asia Timur”, pada waktu yang sama mengingatkan bahaya konglomerasi yang mulai mengancam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Pada waktu itu MPR-RI juga mengingatkan bahaya berkembangnya keangkuhan ekonomi dan kecemburuan sosial akibat ketimpangan ekonomi yang tidak dikendalikan. Namun, sebagaimana telah terjadi, karena pemerintah Indonesia di bawah pengaruh teknokrat tidak waspada pada ekses penerapan paradigma Neoklasik yang individual-rasionalistik, dan sama sekali meninggalkan azas kekeluargaan, maka peringatan-peringatan tersebut tidak mendapat perhatian sewajarnya dari pemerintah dan masyarakat. Kritik kami sendiri yang mengingatkan ekonomi Indonesia sudah terserang penyakit kanker, meskipun nampak sehat dari luar, juga tidak digubris dan justru dianggap “ngawur”.

Yang paling menonjol dalam “suasana batin” bangsa Indonesia waktu itu adalah “rasa percaya diri yang berlebihan” bahwa ekonomi Indonesia sudah siap “tinggal landas” (take off), meskipun disadari belum semua persyaratannya terpenuhi. Secara teori “pesawat ekonomi Indonesia” akan mampu tinggal landas jika kekuatan untuk tinggal landas semuanyasudah dapat diandalkan pada kekuatan bangsa Indonesia sendiri. Kenyataannya bahwa modal asing makin besar peranannya dalam investasi ekonomi nasional, tokh tidak diperhitungkan resikonya. Hasilnya, sebagaimana telah terjadi dalam bentuk krismon 1997, ekonomi Indonesia sudah didominasi konglomerat ambruk dan hancur berkeping-keping.

Kiranya sangat jelas “peringatan” tentang persyaratan ekonomi tinggal landas yaitu harus “dengan kekuatan sendiri” yang kalau tidak betul-betul siap pembangunan “akan mengalami kecelakaan”. Jika kita catat benar-benar peringatan diatas, maka optimisme yang berlebihan pada awal Repelita VI (1994-1999) bahwa pembangunan Indonesia sudah memasuki tahap tinggal landas, padahal belum semua persyaratan terpenuhi, termasuk dan terutama, ketergantungan pada utang-utang luar negeri, maka semestinya kita tidak perlu terkejut ketika “pesawat mangalami kecelakaan” yaitu dalam bentuk terjadinya krismon 1997-1998.

Yang lebih tragis lagi adalah tidak disadarinya kekeliruan fatal menggantungkan nasib ekonomi bangsa pada segelintir konglomerat yang serakah. Perusahaan-perusahaan konglomerat yang notabene merupakaan “ciptaan pemerintah”, atau hasil kolusi konglomerat dengan pemerintah, tetap tidak dianggap bertanggung jawab meledakan “bow waktu” krismon tetapi malah dianggap perlu untuk ditolong dan diselamatkan (rescue) ketika krismon meledak, pertama melalui BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sebesar Rp 140 Trilyun dan kemudian Rp 650 Trilyun berupa dana rekapitalisasi perbankan.

Jelas bahwa kekeliruan sikap pemerintah terhadap krismon 1997 dan pemecahannya bersumber pada kesalahan paragmatik yang sepenuhnya didasarkan pada ajaran Neoklasik yang individualistik-neoliberal. Kini setelah kerusakan ekonomi “nyaris sempurna”, teknokrat kita harus mawas diri dan mengoreksi nasehat-nasehat ekonomi yang keliru dengan menggunakan paradigma baru yang benar-benar mengacu pada moral ekonomi.

Moral agama adalah salah satu aspek yang harus dikedepankan dalam membangun ekonomi yang bermoral, moral agama harus dijadikan pegangan paradigma baru karena dalam kenyataan ajaran Neoklasik justru telah menggunakan metode-metode agama sebagai pedoman. Ilmu ekonomi kemudian “dibakukan” (seperti agama), dan hampir tidak ada kesempatan sedikitpun untuk “membuka diri” terhadap kritik-kritik atas kelemahan-kelemahannya.

Adam Smith ekonom Skotlandia yang melalui bukunya Wealth of Nations (1776), sebenarnya tidak pernah memisahkan ilmu ekonomi (political economy) dari (ilmu) etika. Bahkan buku pertamanya (Theory of Moral Sentiments, 1759), menegaskan sifat-sifat manusia yang “socius” dan “ethicus” ketimbang “economicus”. Artinya, tidak seperti perkembangannya kemudian, perilaku dan kehidupan ekonomi hanyalah merupakan bagian kecil dari kehidupan bermasyarakat.

Perkembangan ilmu ekonomi yang makin meninggalkan etika dimulai oleh David Ricardo (1817) yang mengenalkan ilmu ekonomi “a priori” yang abstrak, dan mengajarkan ilmu ekonomi yang seakan-akan tidak ada hubungannya dengan manusia (depersonalized). Manusia diubah menjadi “model” abstrak homo-economicus, yang sangat mudah dianalisis dengan menggunakan model-model matematika. Model “homo-economicus” yang menonjolkan self-interest atau “keserakahan manusia atas alam benda”, bertentangan dengan ajaran berbagai agama, karena dalam agama selalu diajarkan “rezeki yang berlimpah” (abundance) yang diberikan Allah kepada manusia.

The old terstament can almost be read as a celebration of the abundance which the divine has provided for his followers. Economics may stress the concept of limited resources, but scarcity is not something which usually comes to mind when reading the Bible (Wilson 1997:27)

Dalam agama Islam ditemukan banyak sekali firman Allah tentang sistem ekonomi yang tidak mengenal serba kelangkaan (scarcity), karena rezeki diberika serba cukup kepada manusia yang diciptakan-Nya.

“Dan Allah memberi rezeki kepda siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (An Nuur: 38).

“Allah-lah yang menciptakan kamu kemudian memberimu rezeki” (Ar Rum: 40).

Kiranya jelas telah benar-benar terjadi banyak penyimpangan ajaran ilmu ekonomi dari agama dan etika. Banyak praktek-praktek kebijakan ekonomi masyarakat dan pemerintah yang bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Bahkan ketika peranan bantuan asing yang oleh sementara ekonom arus utama dianggap mutlak diperlukan untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, agama Islam melarangnya. Hadist Nabi riwayat Bukhari Muslim dan Nasai dari Ibnu Umar mengajarkan:

Orang-orang yang selalu minta-minta kepada orang lain (bukan karena terpaksa) kelak di akhirat tidak berdaging sedikitpun (Ahmad Azhar Basyir 1978:28)

Ilmu Ekonomi sebagai Ilmu Sosial
Menurut Profesor Sajogyo bahwa perekonomian Indonesia tidak mungkin dipelajari dan dipahami secara langsung dengan hanya menggunakan data-data makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, atau pendapatan perkapita.

Jika Anda ingin mengerti perekonomian negara kami, kajilah kebudayaan dan sistem politik kami; jika ingin memahami kebudayaan dan sistem politik kami, kajilah perekonomian kami.

Keyakinan sajogyo yang disampaikan kepada ekonom pertanian muda D.H. Penny dari Australia ini (sekitar tahun 1960) dibenarkan oleh Penny dan selanjutnya dikutip oleh berbagai mahasiswa tentang Indonesia, tetapi justru tidak pernah diperhatikan ilmuwan Indonesia, lebih-lebih para ekonomnya. Dari segi pendidikan ilmu ekonomi jelas bahwa mahasiswa Indonesia yang mengikuti kuliah-kuliah ekonomi konvensional dengan menggunakan buku-buku teks teori-teori ekonomi terbitan Amerika tidak akan mengerti dan memahami perekonomian Indonesia. Perekonomian Indonesia hanya dapat dipahami secara tidak langsung melalui pengkajian sistem politik dan budaya bangsa Indonesia. Ini berarti mahasiswa ekonomi hanya akan berhasil mempelajari ekonomi Indonesia dengan metode multidisipliner dan bahkan transdisipliner.

Yang berkembang sekarang adalah bahwa Ilmu ekonomi berubah menjadi ilmu monodisiplin. Model-model prilaku produsen dan konsumen didasarkan pada pasar persaingan sempurna, di mana diasumsikan bahwa produsen dan konsumen selalu bertindak rasional, yang pertama (produsen) selalu berusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, dan yang kedua (konsumen) berusaha mencapai kepuasan maksimum. Lebih celaka lagi ilmu ekonomi kemudian makin banyak diajarkan dengan menggunakan model-model matematika, sehingga ilmu ekonomi menjadi “ilmu” yang makin abstrak, dan makin kering, yang hilang cirinya sebagai ilmu sosial.

Dosen-dosen ilmu ekonomi yang banyak diantaranya memperoleh kesempatan studi lanjut di luar negeri terutama di Amerika, pulang dengan kepercayaan amat tinggi dalam mengajarkan ilmu ekonomi, ilmu manajemen, dan ilmu akuntansi gaya Amerika, dengan semata-mata dan sepenuhnya menggunakan buku-buku teks Amerika. Karena dihampir semua kota besar banyak muncul perguruan tinggi swasta, mereka yang bergelar Master dan Ph.D segera terserap waktunya mengajar di beberapa perguruan tinggi dengan memberikan kuliah-kuliah yang sama. Akibatnya hampir tidak tersedia waktu untuk mengadakan penelitian yang sebenarnya memberikan peluang diperolehnya contoh-contoh masalah ekonomi dari lapangan yang bermanfaat untuk melengkapi bahan-bahan ajar di dalam kuliah-kuliah. Maka metode pendidikan ilmu-ilmu ekonomi menjadi lebih bersifat deduktif-logis dan sama sekali tidak bersifat induktif-empirik.

Dosen-dosen pengajar di Indonesia, termasuk dosen-dosen di perguruan tinggi, pada umumnya mengajar dengan metode pertama (konvensional), yaitu menyampaikan pengetahuan kepada murid/Mahasiswa yang dianggap “masih kosong” atau belum memiliki pengetahuan apapun, dan guru/dosen yang “penuh dengan pengetahuan” menganggap tugasnya hanyalah “memindahkan” pengetahuan yang dimilikinya kepda murid/mahasiswa. Murid/mahasiswa dalam metode konvensional bersikap pasif laksana minum air tanpa perlu mengunyah dimulutnya. Guru/dosen dan murid/mahasiswa hanya hidup “diruang-ruang kelas” yang terisolasi dari masyarakat sekitar.

Jelas bahwa dalam proses “belajar-mengajar” pada cara yang kedua, guru/dosen juga ikut belajar, dan dapat dipastikan juga memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru bersama murid atau mahasiswanya. Tugas ilmu pengetahuan (sains) adalah tidak sekadar mendeskripsi dan menerangkan fenomena, tetapi benar-benar mengerti dan memahami objek studi.

Resensi Buku Pendidikan Ekonomi Kita. Prof. Dr. Mubyarto.
oleh: Yudi Ahmad Faisal

Wednesday, September 26, 2007

Epistemologi Ekonomi Islam

Menelaah Pemikiran Assoc. Prof. Dr. Ugi Suharto

Epistemologi secara sederhana adalah faham ilmu menurut Islam atau dengan kata lain, apa itu ilmu menurut Islam, apa sumber-sumbernya dan apa tingkatan-tingkatannya. Sumber epistemologi barat hanya sampai pada panca indera (empiris/empiricists) (contohnya adalah law of demand and supply, karena hukum ini lahir dari hasil observasi manusia terhadap realitas) dan akal (rasio/positivism) (matematik:statistik dan ekonomitrik) saja, epistemologi Islam tidak hanya empiris, rasionalis dan juga wahyu (khabar sadiq/berita yang benar) (contohnya larangan riba, perintah shodaqoh dan zakat, dll). Ada Khabar Muthawatir, adalah berita yang disampaikan oleh orang banyak dari generasi ke generasi, contohnya kita bisa tahu adanya Aristoteles karena sejarah mengatakan hal itu. Khabar Sadiq adalah berita dari Rasul saw. yang didukung oleh mu’jizat, yang diterima oleh Rasul dan terangkum dalam Alquran dan Sunnah. Dan kabar ini merupakan sumber ilmu, disamping empiris dan rasionalis. Contohnya adanya berita tentang hidup setelah mati, hal ini tidak bisa dipastikan oleh akal dan panca indera. Tetapi berita dari Rasul memberikan kepastian akan berita tersebut. Karena tujuan ilmu itu adalah untuk mencapai kepastian dan keyakinan, maka akal dan panca indera saja tidak tidak sempurna untuk mencapai ilmu tadi. Inilah diantara faham ilmu dan Epistemologi Islam.

Epistemologi Islam itu adalah bagian dari Akidah Islam, maka membangun ekonomi Islam yang berdasarkan akidah Islam , dalam hal ini epistemologi Islam adalah perlu. Ekonomi Islam lebih menekankan pada kebahagiaan (sa’adah) dan bukan menekankan pada ekonomi kekayaan. Yang miskin bisa juga bahagian sebagimana orang kaya, pada hari banyak orang kaya tetapi belum tentu bahagia. Berapa banyak negara kaya, tetapi tingkat bunuh diri, perceraian dan anak-anak lahir diluar nikah, dikalangan penduduknya semakin tinggi.

Ekonomi Islam adalah gabungan hal-hal yang bersifat normative dan positive. Ekonomi Islam adalah integrasi (Dr. Ugi sangat gencar mempromosikan integrasi ilmu agama dan umum, dan ini menurutnya adalah bagian dari islamisasi ilmu, salah satu bagian dari islamisasi ilmu seperti dilontarkan oleh Naquib al-Attas adalah dewesternisation of knowledge atau membauang pengaruh epistemologi barat dari ilmu-ilmu kontemporer) antara Islamic Studies dan economics. Studi islam itulah yang menjadi hard-core dan fardu ’ain, sedangkan studi ekonomi nya adalah fardu kifayah. Menurut Dr. Ugi Suharto ilmu Fardu ’ain adalah untuk kebahagiaan manusia itu sendiri untuk didunia dan akhirat, contohnya adalah aqidah, syariah dan akhlak sedangkan fardu kifayah dalam hal ini ilmu ekonomi untuk kebahagiaan masyarakat di dunia ini khususnya.

Ilmu ekonomi Islam sebagaimana juga ilmu ekonomi konvensional mempunyai bagian hard-core yang tidak bisa diganggu gugat. Hal ini berhubungan erat dengan nilai dan pandangan hidup (world view) Islam itu sendiri. Sebagai satu science, Ilmu ekonomi konvensional lahir dari suasana peradaban barat untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan peradaban barat itu sendiri. Jika orang barat menganggap bunga itu baik untuk ekonomi mereka, maka science of economics diciptakan untuk menjustifikasi nilai tersebut. Oleh karena itu dalam pembahasan factor of production, imbalan atau return bagi capital adalah interest. Buku teks ekonomi manapun tidak ada yang mempertanyakan hal itu. Ketika capital identik dengan interest, maka jika muncul capitalism, system bungan sudah tentu dianggap wajar, dan lembaga yang melicinkan lagi praktik interest itu adalah perbankan.

Uang dan Kehidupan

Uang dan Kehidupan
Perjalanan hidup selama setahun hampir terlalui.
Hanya rutinitas kerja, mencari nafkah yang mendominasi perjalanan hidup kita.
Kualitas jasadlah, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia yang menjadi fokus perhatian kita selama setahun ini.
Lima hari dalam seminggu, perjalanan hidup kita hanyalah berangkat kerja di pagi hari dan pulang kerja di sore atau malam hari, keesokan harinya rutinitas berlanjut seperti biasa.
Inilah perjalanan hidup yang “mendunia” pada saat ini.

Dimana tujuan utama pemanfaatan waktu adalah mencari nafkah alias uang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup.

Analogi uang dalam kehidupan zaman ini, iibaratkan sebagai “oli”. Kalau hidup diibaratkan dengan mesin, maka uang adalah oli untuk menghidupkan mesin tersebut. Oli tersebut harus selalu ada dan mengalir sehingga kita bisa menjaga kelangsungan kehidupan kita, Benarkah ini yang dinamakan kehidupan ?

Setiap hari, perhatian dan kecenderungan manusia adalah berpikir, mencari, dan hidup untuk menghasilkan uang.

How to earn money?

Bagaimana saya bisa menghasilkan uang melalui perantaraan pendidikan?

Bagaimana saya bisa menghasilkan uang melalui perantaraan usaha mandiri?

Bagaimana saya bisa menghasilkan uang dengan mengkorupsi uang rakyat?

Bagaimana saya bisa menghasilkan uang banyak, untuk membahagiakan keluarga?

Bagaimana saya bisa menghasilkan uang, supaya bisa menderma kepada orang miskin?

Inilah zaman dimana uang adalah segala-galanya, yang bukan lagi dianggap sebagai salah satu alat untuk hidup, tapi uang sudah iibaratkan sebagai kehidupan sendiri. Kalau ada pertanyaan, apakah yang paling berharga uang atau manusia? Maka pada zaman sekarang jawabannya adalah uang, karena realitas zaman menjawab dengan uang orang saling bunuh, karena uang orang bertengkar, karena uang orang mencaci dan berbohong. Inilah nilai uang zaman sekarang, transformasi kedudukan uang yang sangat drastis. Dulu fungsi uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), sekarang fungsi uang menempati hierarki pertama dalam kehidupan manusia. Sebegitu dahsyatkah kedudukan uang sekarang?

Uang Pada zaman sekarang

“Seribu satu macam fungsi dan kegunaan uang di zaman sekarang telah memposisikan uang sebagai sumber utama kehidupan (primary sources of life)”. Inilah beberapa ilustrasi untuk menjelaskannya:

Dengan uang Anda bisa mendapatkan “kesadaran spiritual” maupun “kecerdasan emosional”. Hanya dengan membayar sejumlah uang, Anda sudah bisa mengikuti jenis pelatihan yang “menjanjikan” output “hidayah” dari Tuhan, sehingga pada zaman ini untuk menjadi seorang yang “sholeh” atau seseorang yang cerdas secara spiritual Anda hanya perlu untuk menyisihkan sejumlah uang, dengan metode pelatihan yang instant untuk mendapatkan predikat sadar secara spiritual.

Dengan uang Anda bisa mendapatkan fasilitas yang nyaman untuk melakukan ibadah haji. Hotel yang nyaman, lokasi dekat dengan Ka’bah, pembimbing haji seorang “ulama” yang mumpuni. Maka dengan uang, bisa mempermudah Anda mendapatkan predikat “Haji Mabrur”.

Dengan uang Anda bisa bisa sekolah, Anda bisa memperoleh gelar untuk digunakan dalam pencarian kerja, ataupun sebagai prestise Anda ditengah-tengah komunitas Anda.

Dengan uang Anda bisa “membahagiakan” orang lain. Akan lebih baik menjadi seorang yang kaya syukur daripada miskin sabar, value added orang yang kaya syukur bisa menafkahkan sebagaian rizkinya untuk membantu orang lain. Benarkah ?

Dengan uang Anda bisa membahagiakan keluarga, Anda menyekolahkan anak Anda ke sebuah sekolah peringkat atas dari segi prestasi akademik, Anda bisa membuatkan rumah yang nyaman untuk keluarga Anda. Anda bisa pergi umrah bersama-sama keluarga. Anda bisa hidup nyaman, tidak kesusahan tidak khawatir kehabisan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Walhasil, uang adalah ukuran dalam membahagiakan keluarga. Benarkah?

Pada suatu hari, saya melaksanakan sholat jumat di Mesjid Istiqomah Bandung. Sang khotib pada saat itu berkhutbah membahas masalah uang, khutbah terus berlanjut, sampai pada pemaparan sang Khotib bahwa kita harus me-reinterpretasi secara literal, surat Al-Kafirun : “Katakanlah (wahai Muhammad) wahai orang-orang kafir, saya tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, kamupun tidak akan menyembah apa yang saya sembah, dan saya pun tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Menurut sang khotib, bahwa objek penyembahan pada saat ayat ini turun adalah berhala yang dijadikan sebagai simbol Tuhan, karena zaman telah berubah maka objek penyembahan pada zaman sekarang ini bukanlah berhala lagi, tetapi mungkin itu adalah uang. Dimana manusia seolah-olah telah menjadikan uang sebagai sesembahan, dan prima causa kehidupan pada saat ini. Saya kaget, sang khotib berani untuk berwacana reinterpretasi secara literal surat Al Kafirun, saya kurang mengerti metodologi penafsiran ayat, dan terlepas apakah yang dilakukan sang khotib tersebut dianggap wajar atau tidak. Namun yang pasti, saya setuju dengan ucapan sang khotib bahwa seolah-olah pada zaman sekarang uang telah dijadikan sebagai Tuhan, prima causa segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan.

Paradigma uang (Money Perspectives)

Paradigma atau cara pandang selalu mendasari setiap prilaku baik individual, maupun kelompok. Cara pandang menentukan pencitraan, penggambaran dan pembentukan sesuatu. Cara pandang menurut para ahli selalu dilatarbelakangi oleh agama, budaya, pendidikan, sejarah, geografi dan teknologi (Aslam, 2006). Cara pandang akan senantiasa mempengaruhi pola pikir, niat, prilaku dan tindakan manusia. Ilustrasi untuk menjawab hal itu, bisa dielaborasi dalam kasus permasalahan ekonomi. Menurut sarjana barat[1] ilmu ekonomi adalah studi tentang pilihan manusia yang menghadapi kelangkaan sumber daya (economics is a study of choices made by people who are facing scarcity), manusia berinteraksi dengan sesama manusia lain dan alam untuk menentukan pilihan terhadap kelangkaan ini, dalam berinteraksi dengan orang lain manusia memerlukan sebuah aturan, hukum ataupun regulasi yang didapat dari alam (natural laws) dan masyarakat (societal laws). Dalam kaitannya dengan hukum masyarakat, sebagai produk hukum atau aturan yang dibangun dan berkembang di masyarakat, maka kelompok manusia yang mendiami sebuah masyarakat ini dipengaruhi oleh pandangannya ketika merumuskan, menetapkan dan mengaplikasikan aturan atau hukum ini. Jadi dalam ekonomi pun, manusia tidak bisa berpisah dari pandangan ini, yang kemudian diistilahkan dengan pandangan dunia (worldview). Sekarang pertanyaanya paradigma seperti apakah yang membangun teori ekonomi atau yang mempengaruhi peradaban kita pada saat ini??

Apakah anda setuju bahwa uang telah menggantikan posisi Tuhan pada zaman sekarang?

Jawabannya kembali kepada Anda, apakah Anda orang yang menjadikan uang sebagai kehidupan itu sendiri, ataukah Anda yang menjadikan uang hanya sebagai salah satu alat dalam kehidupan untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan yang ukurannya bukan dilihat dari uang, kebahagiaan yang bukan dicapai dengan uang, kebahagiaan yang datang dari kesadaran penuh sebagai manusia yang mempunyai kesadaran diri, kemauan bebas, kreatifitas.



[1] Ketika melakukan analisis ekonomi, para sarjana barat tidak terlepas dari faktor vision atau paradigma dalam melakukan sebuah analisis. Sebagaimana pernyataan ekonom barat yaitu Heilbroner : without vision or a belief system (ideologi) there can be no economic analysis because there will be nothing to analyze (dalam Aslam 1997). Yang perlu dieksplorasi dan dikaji adalah perspective yang melatarbelakangi sarjana dalam menganalisis permasalahan ekonomi tersebut.

Uang dan Kehidupan

Uang dan Kehidupan
Perjalanan hidup selama setahun hampir terlalui.
Hanya rutinitas kerja, mencari nafkah yang mendominasi perjalanan hidup kita.
Kualitas jasadlah, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia yang menjadi fokus perhatian kita selama setahun ini.
Lima hari dalam seminggu, perjalanan hidup kita hanyalah berangkat kerja di pagi hari dan pulang kerja di sore atau malam hari, keesokan harinya rutinitas berlanjut seperti biasa.
Inilah perjalanan hidup yang “mendunia” pada saat ini.

Dimana tujuan utama pemanfaatan waktu adalah mencari nafkah alias uang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup.

Analogi uang dalam kehidupan zaman ini, iibaratkan sebagai “oli”. Kalau hidup diibaratkan dengan mesin, maka uang adalah oli untuk menghidupkan mesin tersebut. Oli tersebut harus selalu ada dan mengalir sehingga kita bisa menjaga kelangsungan kehidupan kita, Benarkah ini yang dinamakan kehidupan ?

Setiap hari, perhatian dan kecenderungan manusia adalah berpikir, mencari, dan hidup untuk menghasilkan uang.

How to earn money?

Bagaimana saya bisa menghasilkan uang melalui perantaraan pendidikan?

Bagaimana saya bisa menghasilkan uang melalui perantaraan usaha mandiri?

Bagaimana saya bisa menghasilkan uang dengan mengkorupsi uang rakyat?

Bagaimana saya bisa menghasilkan uang banyak, untuk membahagiakan keluarga?

Bagaimana saya bisa menghasilkan uang, supaya bisa menderma kepada orang miskin?

Inilah zaman dimana uang adalah segala-galanya, yang bukan lagi dianggap sebagai salah satu alat untuk hidup, tapi uang sudah iibaratkan sebagai kehidupan sendiri. Kalau ada pertanyaan, apakah yang paling berharga uang atau manusia? Maka pada zaman sekarang jawabannya adalah uang, karena realitas zaman menjawab dengan uang orang saling bunuh, karena uang orang bertengkar, karena uang orang mencaci dan berbohong. Inilah nilai uang zaman sekarang, transformasi kedudukan uang yang sangat drastis. Dulu fungsi uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), sekarang fungsi uang menempati hierarki pertama dalam kehidupan manusia. Sebegitu dahsyatkah kedudukan uang sekarang?

Uang Pada zaman sekarang

“Seribu satu macam fungsi dan kegunaan uang di zaman sekarang telah memposisikan uang sebagai sumber utama kehidupan (primary sources of life)”. Inilah beberapa ilustrasi untuk menjelaskannya:

Dengan uang Anda bisa mendapatkan “kesadaran spiritual” maupun “kecerdasan emosional”. Hanya dengan membayar sejumlah uang, Anda sudah bisa mengikuti jenis pelatihan yang “menjanjikan” output “hidayah” dari Tuhan, sehingga pada zaman ini untuk menjadi seorang yang “sholeh” atau seseorang yang cerdas secara spiritual Anda hanya perlu untuk menyisihkan sejumlah uang, dengan metode pelatihan yang instant untuk mendapatkan predikat sadar secara spiritual.

Dengan uang Anda bisa mendapatkan fasilitas yang nyaman untuk melakukan ibadah haji. Hotel yang nyaman, lokasi dekat dengan Ka’bah, pembimbing haji seorang “ulama” yang mumpuni. Maka dengan uang, bisa mempermudah Anda mendapatkan predikat “Haji Mabrur”.

Dengan uang Anda bisa bisa sekolah, Anda bisa memperoleh gelar untuk digunakan dalam pencarian kerja, ataupun sebagai prestise Anda ditengah-tengah komunitas Anda.

Dengan uang Anda bisa “membahagiakan” orang lain. Akan lebih baik menjadi seorang yang kaya syukur daripada miskin sabar, value added orang yang kaya syukur bisa menafkahkan sebagaian rizkinya untuk membantu orang lain. Benarkah ?

Dengan uang Anda bisa membahagiakan keluarga, Anda menyekolahkan anak Anda ke sebuah sekolah peringkat atas dari segi prestasi akademik, Anda bisa membuatkan rumah yang nyaman untuk keluarga Anda. Anda bisa pergi umrah bersama-sama keluarga. Anda bisa hidup nyaman, tidak kesusahan tidak khawatir kehabisan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Walhasil, uang adalah ukuran dalam membahagiakan keluarga. Benarkah?

Pada suatu hari, saya melaksanakan sholat jumat di Mesjid Istiqomah Bandung. Sang khotib pada saat itu berkhutbah membahas masalah uang, khutbah terus berlanjut, sampai pada pemaparan sang Khotib bahwa kita harus me-reinterpretasi secara literal, surat Al-Kafirun : “Katakanlah (wahai Muhammad) wahai orang-orang kafir, saya tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, kamupun tidak akan menyembah apa yang saya sembah, dan saya pun tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Menurut sang khotib, bahwa objek penyembahan pada saat ayat ini turun adalah berhala yang dijadikan sebagai simbol Tuhan, karena zaman telah berubah maka objek penyembahan pada zaman sekarang ini bukanlah berhala lagi, tetapi mungkin itu adalah uang. Dimana manusia seolah-olah telah menjadikan uang sebagai sesembahan, dan prima causa kehidupan pada saat ini. Saya kaget, sang khotib berani untuk berwacana reinterpretasi secara literal surat Al Kafirun, saya kurang mengerti metodologi penafsiran ayat, dan terlepas apakah yang dilakukan sang khotib tersebut dianggap wajar atau tidak. Namun yang pasti, saya setuju dengan ucapan sang khotib bahwa seolah-olah pada zaman sekarang uang telah dijadikan sebagai Tuhan, prima causa segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan.

Paradigma uang (Money Perspectives)

Paradigma atau cara pandang selalu mendasari setiap prilaku baik individual, maupun kelompok. Cara pandang menentukan pencitraan, penggambaran dan pembentukan sesuatu. Cara pandang menurut para ahli selalu dilatarbelakangi oleh agama, budaya, pendidikan, sejarah, geografi dan teknologi (Aslam, 2006). Cara pandang akan senantiasa mempengaruhi pola pikir, niat, prilaku dan tindakan manusia. Ilustrasi untuk menjawab hal itu, bisa dielaborasi dalam kasus permasalahan ekonomi. Menurut sarjana barat[1] ilmu ekonomi adalah studi tentang pilihan manusia yang menghadapi kelangkaan sumber daya (economics is a study of choices made by people who are facing scarcity), manusia berinteraksi dengan sesama manusia lain dan alam untuk menentukan pilihan terhadap kelangkaan ini, dalam berinteraksi dengan orang lain manusia memerlukan sebuah aturan, hukum ataupun regulasi yang didapat dari alam (natural laws) dan masyarakat (societal laws). Dalam kaitannya dengan hukum masyarakat, sebagai produk hukum atau aturan yang dibangun dan berkembang di masyarakat, maka kelompok manusia yang mendiami sebuah masyarakat ini dipengaruhi oleh pandangannya ketika merumuskan, menetapkan dan mengaplikasikan aturan atau hukum ini. Jadi dalam ekonomi pun, manusia tidak bisa berpisah dari pandangan ini, yang kemudian diistilahkan dengan pandangan dunia (worldview). Sekarang pertanyaanya paradigma seperti apakah yang membangun teori ekonomi atau yang mempengaruhi peradaban kita pada saat ini??

Apakah anda setuju bahwa uang telah menggantikan posisi Tuhan pada zaman sekarang?

Jawabannya kembali kepada Anda, apakah Anda orang yang menjadikan uang sebagai kehidupan itu sendiri, ataukah Anda yang menjadikan uang hanya sebagai salah satu alat dalam kehidupan untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan yang ukurannya bukan dilihat dari uang, kebahagiaan yang bukan dicapai dengan uang, kebahagiaan yang datang dari kesadaran penuh sebagai manusia yang mempunyai kesadaran diri, kemauan bebas, kreatifitas.



[1] Ketika melakukan analisis ekonomi, para sarjana barat tidak terlepas dari faktor vision atau paradigma dalam melakukan sebuah analisis. Sebagaimana pernyataan ekonom barat yaitu Heilbroner : without vision or a belief system (ideologi) there can be no economic analysis because there will be nothing to analyze (dalam Aslam 1997). Yang perlu dieksplorasi dan dikaji adalah perspective yang melatarbelakangi sarjana dalam menganalisis permasalahan ekonomi tersebut.

Kehidupan Kita

Hidup selalu membawa seorang manusia untuk berkeinginan mendapatkan segala kebahagiaan di dunia ini. Dunia diibaratkan sebagai sumber kebahagiaan, harta, wanita, tahta, dianggap sebagai biang dari sebuah kebahagiaan sejati. Apa sebenarnya mau manusia ini? Sejak awal manusia berjanji, bahwa dunia hanya dijadikan tempat untuk menyempurnakan penciptaan, mengharmoniskan ruh dan jasad, alam malakut dengan alam syetan, dunia hanya sebagai tumpangan menuju akhirat, yang kekal, tidak berujung dan sumber kesempurnaan.

Sejak awal penciptaan manusia diagung-agungkan Tuhannya, pernyataan ini diabadikan Al Quran sebagai pengingat (ad Dzikra) manusia tentang status dirinya yang begitu luhur dan mendapatkan tempat terhormat di sisi Tuhannya dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lainnya, “Kamu sekalian adalah sebaik-baik ummat yang Kami turunkan kepada manusia”, “dan bahwasannya Tuhan kamu telah menciptakanmu dalam sebaik-baik penciptaan”.

Dunia bagaikan sebuah fatamorgana

Setiap manusia mendekati sumber yang dianggap pemberi kebahagiaan, kebahagiaan itupun lari meninggalkannya, sumber yang dianggap membawa kebahagiaan itu pun tidak bisa lagi dianggap sebagai sumber pemberi kebahagiaan.

Tahta sering dianggap sebagai sumber kebahagiaan. Kekuasaan, jabatan, kehormatan, keterkenalan pada awalnya dianggap mendatangkan kebahagiaan, tetapi setelah manusia raih semua itu, kebahagiaan itupun tak kunjung dirasakannya.

Harta, kekayaan, rumah, mobil, tanah yang berlimpah sering dianggap bisa membawa kebahagiaan, tetapi setelah manusia mendapatkan itu semua maka kebahagiaan itu pun lari daripadanya. Benarlah apa yang pernah dikatakan Al Ghazali ”jika manusia mendapatkan satu gunung emas, maka manusia pun berkeinginan untuk mendapatkan gunung emas kedua, begitu seterusnya”. Dengan kata lain manusia terus berusaha secara sadar untuk mendapatkan kebahagiaan dari yang dia anggap dapat mendatangkan kebahagiaan, tetapi manusia tidak kunjung mendapatkannya sampai akhirnya maut yang menjemput, memutus semua angan-angan kebahagiaan yang manusia dambakan.

Wanita, ataupun lelaki dianggap sebagai sumber yang bisa mendatangkan kebahagiaan, tetapi setelah wanita atau laki-laki yang manusia cintai dijemput maut, maka manusia pun tidak lagi dapat merasakan kebahagiaan.

Dalam kehidupan dewasa ini, uang dianggap sebagai sumber segala kebahagiaan, maka berkembang pepatah di tengah-tengah masyarakat konsumtif dan hedonis ”dengan uang segala sesuatu bisa didapatkan”. Adakalanya timbul pertanyaan, sebenarnya lebih mulia mana manusia dengan uang, jawabannya pun hampir sepakat semuanya bahwa manusia lebih berharga daripada uang, uang tidak layak digunakan dalam mengukur nilai manusia, karena uang tidak ada artinya dihadapan manusia. Itulah idealisme yang mengambang dilangit tanpa pernah berusaha untuk diturunkan kebumi untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata, pada kenyataannya manusia yang mengorbankan dirinya demi uang, dengan tanpa sungkan manusia akan saling bunuh karena uang, dengan tanpa malu manusia memutus tali silaturahmi karena uang, dengan tanpa merasa bersalah manusia menyakiti manusia lainnya karena uang.

Itulah manusia simbol pertarungan abadi antara kebaikan dan kejahatan, antara kerusakan dan kemanfaatan, antara kepasrahan total kepada Penciptanya dengan pembangkangan abadi terhadap-Nya. Sejak awal penciptaan manusia dikarunia potensi kebaikan dan kejahatan, Ruh sebagai wakil kebaikan akan senantiasa berhadapan dengan jasad sebagai simbol dari sifat rakus manusia, pontensi kejahatan. Itulah manusia, dan harmonisasi antara ruh dan jasad yang membawa kebaikan kepada manusia pun di puji dengan diangkat-Nya tingkatan manusia melebihi malaikat, yang senantiasa tunduk dan beribadah kepada Allah dan tidak pernah sekalipun membangkang dengan perintah Tuhan nya. Dan jika pertarungan dalam diri manusia antara ruh dan jasad, didominasi dan dimenangkan oleh jasad, maka pujian itu pun dilemparkan pada tempat yang paling hina, al Quran menganalogikan kondisi ini dengan kalimat ”seperti binatang, bahkan bisa lebih hina daripada binatang”. Itulah manusia, momentum kebaikan dan keburukan senantiasa bersemanyam dalam setiap langkah kehidupan manusia.

Manusia adalah makhluk yang pasti akan mengalami kematian, kematian itupun memisahkan antara potensi baik manusia yang diwakili oleh ruh dengan potensi jahat nya yang diwakili oleh jasad. Tetapi bukan berarti manusia akan menjadi baik, karena dipisahkannya potensi jasad. Karena kemungkinan kejahatan dan sifat buruk manusia telah mempengaruhi ruh nya, sehingga penyesalan abadi akan dirasakan manusia, kebahagiaan yang dicari dan didambakannya dahulu di dunia, ternyata tidak berbuah kebahagiaan hakiki, malah berbuah siksa dan penyesalan yang tidak terkira. Itulah ketika manusia mengabaikan Tuhan nya Allah Subhanahu wa Taala.

Sejak di dunia, manusia telah salah memilih jalan, manusia menjadikan perangkat dunia sebagai sumber kebahagiaan, padahal perangkat dunia ini hanyalah sementara dan menuju kemusnahan yang diciptakan untuk mengantarkan manusia pada sumber kebahagiaan hakiki. Padahal manusia diciptakan didunia untuk disiapkan menuju keabadian bukan kemusnahan. Implikasi filosofis dari perjalanan menuju kemusnahan dan perjalanan menuju keabadian akan sangat dalam sekali pengaruhnya dalam kehidupan manusia. Khayalan manusia terhadap perangkat dunia yang dianggap bisa mendapatkan kebahagiaan inipun terjadi karena lagi-lagi manusia mengabaikan Tuhan nya. Perintah bahwa manusia harus melengkapi dirinya dengan ilmu (’ilm), setiap perbuatan haruslah didahului oleh pengetahuan tentangnya. Perintah inipun berulangkali dinyatakan dalam Al Quran, bahkan ayat yang pertama turunpun kepada Muhammad SAWW - manusia simbol harmonisasi ruh dan jasad, pemilik akhlak yang agung yang dipuji Allah SWT, pahlawan revolusi agung manusia yang membebaskan manusia dari kegelapan kepada cahaya Allah - adalah ayat surat Al Alaq ayat 1, yang mengajarkan manusia untuk berilmu ”bacalah!”. Bahkan dilain ayat al Quran dinyatakan bahwa ”Allah akan mengangkat derajat manusia diantara kalian yang berilmu”. Inikah bukti bahwa dengan ilmu manusia bisa mencapai derajat terhormat disisi Tuhan nya, karena dengan ilmu manusia bisa mengontrol dirinya dan melakukan harmonisasi ruh dan jasad, dan mengarahkan semua potensi entitas dirinya menuju kebaikan. Sebaliknya tanpa ilmu maka derajat manusiapun bisa tersungkur dibawah derajat binatang. Wallohu a’lam bisshowab.