Translate

Tuesday, February 26, 2008

Pendekatan Kemanusiaan dan Hukum terhadap Kasus Suharto

Pendekatan Kemanusiaan dan Hukum terhadap Kasus Suharto

Oleh: Yudi Ahmad Faisal[1]

Akhir-akhir ini hampir semua media di Indonesia bahkan dunia menayangkan detik demi detik kondisi kesehatan mantan penguasa Orde Baru yang kian kritis yang ditandai dengan disfungsinya organ-organ penting tubuh, dan defendensi yang tinggi kepada alat-alat medis. Kondisi kesehatan mantan presiden Suharto yang semakin kritis terjadi seiring dengan upaya pemerintahan SBY-JK mengangkat kembali kasus hukum Suharto. Dua kondisi extraordinary yang terjadi dalam satu waktu ini, yaitu kondisi kritis kesehatan Suharto dan Kasus Hukum Suharto telah mengkreasi kondisi dilematis bagi bangsa Indonesia dalam bersikap. Kondisi dilematis ini terlihat dari sikap anak bangsa yang secara umum terpecah menjadi dua sikap, yaitu sikap pihak menyarankan agar kasus Suharto dihentikan menyusul kondisi kesehatan yang kian memburuk - pemerintah termasuk dalam kategori sikap ini -, dan sikap pihak bersikukuh agar kasus hukum Suharto tetap diproses untuk membuktikan bahwa negara ini masih berkomitmen kuat terhadap penegakan hukum (law enforcement) dan keadilan terhadap semua warga negara.

Dua kondisi ini memperlihatkan bahwa kita sebagai bangsa yang besar tengah diuji. Kebesaran bangsa Indonesia akan terbukti jika mampu menyelesaikan dan menghadapi kasus Suharto secara arif dan bijaksana, dan mampu memuaskan pihak-pihak yang berbeda sikap.

Dua pendekatan multidisipliner yang terintegrasi harus dikedepankan dalam menyelesaikan persoalan Suharto sehingga output yang dihasilkan pun berimplikasi ganda (multiplier effect) yaitu keadilan bagi bangsa Indonesia dan Suharto sendiri, yaitu pendekatan hukum dan pendekatan kemanusiaan.

Dalam pandangan kemanusiaan (humanism perspective), harkat dan martabat manusia harus dihormati. Manusia dalam arti kemanusiaan, terlepas dari track record historisnya, wajib diberlakukan secara manusiawi sesuai dengan hak-hak nya sebagai manusia. Dalam sejarah, sikap-sikap penghormatan terhadap kemanusiaan pernah didemonstrasikan oleh para guru dan pemimpin besar manusia. Nabi Muhammad SAW mempunyai kebiasaan yang dilakukannya secara konsisten selama bertahun-tahun, yaitu memberikan makanan kepada seorang Yahudi yang buta lagi miskin, yang tinggal disebuah sudut pasar di kota Madinah. Penduduk Madinah mengenal seorang Yahudi ini sebagai orang yang kesehariannya menfitnah, menjelek-jelekkan, dan mengeluarkan kata-kata kasar terhadap diri Nabi SAW. Tetapi seorang Yahudi ini tidak mengetahui bahwa orang yang senantiasa memberinya makan dengan mengunyah makanannya terlebih dahulu setiap hari adalah orang yang dia jelek-jelekkan, amal shaleh Nabi SAW ini dilakukan sampai maut mengakhiri kehidupan dunia Nabi SAW. Penghormatan terhadap kemanusiaan pun kembali dicontohkan oleh salah satu khulafaurrahsidiin yaitu Ali ibn Abi Thalib ra., ketika beliau di ditikam di sebuah masjid di Kufah oleh Ibn Muljam, dalam keadaan terluka parah Imam Ali berwasiat kepada kedua anaknya yaitu Hasan dan Husain, agar sebelum menghukum ibn Muljam karena perbuatannya, perlakukanlah Ibn Muljam selayaknya manusia. Dalam catatan sejarah selanjutnya, dunia pernah mengenal Solahuddin al Ayyubi seorang panglima perang Islam yang dalam kecamuk peperangan menghentikan perang demi untuk memberikan kesempatan kepada panglima perang seterunya untuk menyembuhkan penyakitnya terlebih dahulu. Itulah beberapa contoh bahwa penghormatan terhadap kemanusiaan, dan bersikap adil terhadap manusia harus dilakukan tanpa memandang bulu.

Dalam pandangan hukum (legal perspective), hukum harus dilaksanakan demi tercapainya proses penegakkan hukum (law enforcement) dan demi kewibawaan sebagai negara hukum. Dalam idealisme hukum, semua warga negara yang bersalah menurut hukum yang berlaku harus dihukum sesuai dengan perbuatannya. Maka, jika Suharto dianggap bersalah terhadap Republik ini, maka kesalahannya pun harus dibuktikan di meja hijau, dan dalam proses selanjutnya jika dinyatakan bersalah, maka Suharto harus dihukum berdasarkan kesalahannnya itu dan didasarkan pada hukum yang berlaku.

Itulah dua pandangan dalam melihat kasus Suharto. Dalam pandangan kemanusiaan, Bangsa Indonesia harus mampu memberlakukan Suharto dari sisi kemanusiaaan, dengan memberikan kesempatan kepada beliau menyembuhkan penyakitnya terlebih dahulu. Lain lagi berdasarkan pandangan hukum, dimana proses hukum harus tetap dilaksanakan terbebas dari toleransi moral sebagai upaya penegakan hukum dan mengembalikan negara kepada kewibawaan dengan menghormati dan tunduk pada hukum.

Keadilan yang dirasakan oleh semua warga negara merupakan merupakan wujud kebesaran sebuah bangsa. Dalam hubungannya dengan kemanusiaan, keadilan dirumuskan dengan baik oleh para founding father kita, dimana dalam sila ke-2 Pancasila disebutkan “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Jika keadilan mampu menjadi pilar dalam menyelesaikan persoalan Suharto tentu saja pendekatan kemanusiaan dan pendekatan hukum harus dilaksanakan beriringan dan berintegrasi satu sama lain. Mekanisme aplikatif dalam upaya mengintegrasikan pendekatan kemanusiaan dan hukum ini harus mampu dirumuskan oleh para pengambil kebijakan di negeri tercinta kita ini sebagai tanggung jawab terhadap negara dan bangsa Indonesia, dan sebagai upaya mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar, sebuah bangsa yang dihormati karena apresiasi yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan sekaligus disegani karena kesadaran yang tinggi terhadap penegakkan hukum.

Mekanisme yang arif dan bijaksana yang dilandasi oleh nilai-nilai keadilan dengan wujud mengintegrasikan pendekatan kemanusiaan dan hukum dalam menyelesaikan kasus Suharto mudah-mudahan sebagai starting point bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar.



[1] Mahasiswa Pascasarjana IIBF International Islamic University Malaysia. Aktivis Islamic Economic Forum for Indonesia Development (ISEFID) dan PCIM Muhammadiyah Kuala Lumpur Malaysia.

Ayat-ayat Riba dalam Al-Quran

Ayat-ayat Riba dalam Al-Quran

Oleh. Yudi Ahmad Faisal

1. Q.S. Ar-Ruum ayat 59

39. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Penjelasan dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)

Kalau ayat 58 Q.S. Ar-Ruum berbicara tentang keikhlasan berinfaq demi karena Allah semata, maka disini diuraikan tentang pemberian yang mempunyai maksud-maksud tertentu. Karena itu pula, agaknya ayat yang lalu menggunakan redaksi yang berbentuk tunggal dan yang tentunya pertama sekali tertuju kepada Rasul saw., sedang ayat ini menggunakan bentuk jamak, dan dengan demikian ia tertuju kepada banyak orang. Terkesan bahwa perubahan bentuk itu bertujuan mengeluarkan Rasul saw. yang demikian luhur dan mulia akhlaknya.

Ayat diatas menyatakan: Siapa yang menafkahkan hartanya demi karena Allah, maka ia akan memperoleh kebahagiaan, sedang yang menafkahkannya dengan riya’, serta untuk mendapatkan popularitas, maka ia akan kecewa bahkan rugi. Adapun yang memberi hartanya sebagai hadiah untuk memperoleh di balik pemberiannya keutungan materi, maka itu bukanlah sesuatu yang baik walau tidak terlarang. Dan apa saja yang kamu berikan dari harta yang berupa riba yakni tambahan pemberian berupa hadiah terselubung, dengan tujuan agar dia bertambah bagi kamu pada harta manusia yang kamu beri hadiah itu, maka ia tidak akan bertambah pada sisi Allah, karena Dia tidak memberkatinya. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yakni sedekah yang suci yang kamu maksudkan untuk meraih wajah Allah yakni keridhoan-Nya, maka mereka yang melakukan hal semacam itulah yang sungguh tinggi kedudukannya yang melipatgandakan pahala sedekahnya, karena Allah akan melipatgandakan harta dan ganjaran setiap yang bersedekah demi karena Allah.

Kata ( $\/Íh ) riba’ dari segi bahasa berarti kelebihan. Berbeda pendapat ulama tentang maksud kata ini pada ayat diatas. Sementara ulama seperti al-Qurthubi dan Ibn al-’Arabi, demikian juga al-Biqa’i, Ibnu Katsir, Sayyid Quthub dan masih banyak yang lain, semua berpendapat bahwa riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba yang halal. Ibn Katsir menamainya riba mubah. Mereka antara lain merujuk kepada sabahat Nabi saw. Ibnu Abbas ra. dan beberapa tabi’in yang menafsirkannya dalam arti hadiah yang diberikan seseorang dengan mengharapkan imbalan yang lebih.

Ada juga ulama yang memahaminya dalam arti riba dari segi hukum, yakni yang haram. Thahir Ibn Asyur berpendapat demikian. Tim penyusun Tafsir al-Munthakhab juga demikian. Mereka menulis bahwa makna ayat diatas adalah ”Harta yang kalian berikan kepada orang-orang yang memakan riba dengan tujuan menambah harta mereka, tidak suci di sisi Allah dan tidak akan diberkati. Sedang sedekah yang kalian berikan dengan tujuan mengharapkan ridha Allah, tanpa riya’ atau mengharapkan imbalan, maka itulah orang-orang yang memiliki kebaikan yang berlipat ganda.”

Sementara ulama mengemukakan bahwa uraian Al-Quran tentang riba mengalami pentahapan, mirip dengan pentahapan pengharaman khamar (minuman keras). Tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif, yaitu surah ar-Rum ini, dengan menggambarkannya sebagai ”tidak bertambah pada sisi Allah”. Kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Q.S. an-Nisa [4]: 16). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara tegas dinyatakan keharaman salah satu bentuknya, yaitu yang berlipat ganda (Q.S. Ali Imran [3]: 130). Dan yang terakhir, pengharaman total dan dalam berbagai bentuknya yaitu pada Q.S. al-Baqarah [2]: 278.

Thabathaba’i memahami kata riba pada ayat diatas dalam arti hadiah, tetapi dengan catatan bila ayat ini turun sebelum hijrah, dan riba yang haram adalah bila ia turun setelah hijrah, walaupun menurutnya ayat ini dan ayat sebelumnya lebih dekat dinilai Madaniyyah daripada Makiyyah.

Jika kita memahaminya sebagai riba yang diharamkan, maka ini berarti ayat ini telah dibatalkan hukumnya, atau dengan kata lain mansukh. Sedang kecenderungan banyak ulama dewasa ini, menolak adanya ayat-ayat mansukh, setelah ayati-ayat yang selama ini dinilai bertolakbelakang ternyata dapat dikompromikan. Karena itu, penulis cenderung memahami kata riba disini dalam arti hadiah yang mempunyai maksud-maksud selain jalinan persahabatan murni. Disisi lain, dalam Al-Quran, kata riba ditemukan sebanyak delapan kali dalam empat surat. Salah satu yang menarik adalah cara penulisannya. Hanya dalam ayat surat ar-Rum ini yang ditulis tanpa menggunakan huruf wau ditulis ( $\/Íh ). Sedang selainnya ditulis dengan huruf wau yakni (#((qt/Ìh9$#). Pakar ilmu-ilmu Al-Quran az-Zarkasyi menjadikan perbedaan penulisan itu, sebagai salah satu indikator tentang perbedaan maknanya. Yang ini adalah riba yang halal yakni hadiah, sedang yang lainnya adalah adalah riba yang haram, yang merupakan salah satu pokok keburukan ekonomi.

Kalimat (þÉĨ$¨Z9$# ŸAºuqøBr&Îû) secara harfiah berarti pada harta manusia. Al-Biqa’i dan sekian banyak ulama lain memahaminya dalam arti harta si pemberi. Penggunaan redaksi tersebut untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diperoleh oleh si pemberi dari kelebihan itu, terambil dari harta yang berada ditangan orang lain, sehingga sebenarnya harta itu bukanlah hartanya.

Banyak juga ulama memahami redaksi diatas dalam pengertian kebahasaannya. Yakni apa yang kamu berikan kepada orang lain, dengan maksud menambah harta orang yang kamu berikan itu, baik dalam bentuk hadiah, guna memperoleh popularitas atau guna mendapat tempat disisi yang kamu beri, atau sebagai cara untuk memperoleh keuntungan lebih banyak di masa mendatang, maka itu tidak terhitung sebagai amalan yang sesuai dengan kerihaan Allah, tetapi itu hanya bermanfaat untuk diri kamu sendiri.

Sayyid Quthub menulis bahwa ketika itu ada sementara oran yang berusaha mengembangkan usahanya dengan memberi hadiah-hadiah kepada orang-orang mampu agar memperoleh imbalan yang lebih banyak. Maka ayat ini menjelaskan bahwa hal demikian bukanlah cara pengembangan usaha yang sebenarnya, walaupun redaksi ayat ini mencakup semua cara yang bertujuan mengembangkan harta dengan cara dan bentuk apapun yang bersifat penambahan (ribawi). Sayyid Quthub menambahkan dalam catatan kakinya bahwa cara ini tidak haram sebagaimana keharaman riba yang populer, tetapi bukan cara pengembangan harta yang sebenarnya pada penggalan ayat selanjutnya yaitu: Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai wajah Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya), yakni memberinya tanpa imbalan, tanpa menanti ganti dari manusia, tetapi demi karena Allah.

Al-Quran sering kali menggunakan kata zakah yang secara harfiah berarti suci dan berkembang, untuk makna shadaqah/sedekah yakni pemberian tidak wajib, sebagaimana menggunakan kata sedekah yang secara harfiah antara lain berarti sesuatu yang benar, untuk pemberian wajib yaitu zakat, seperti dalam Q.S. at-Taubah[9]: 60. ini untuk mengisyaratkan perlunya kebersihan dan kesucian jiwa ketika bersedekah, agar harta tersebut dapat berkemban. Disisi lain, ketika berzakat diperlukan kebenaran dan ketulusan agar ia diterima oleh Allah swt.

Penafsiran Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi (Masail Fiqhiyah).

Surat ar-Rum ayat 39 ini belum konkret melarang riba, tetapi sudah mengingatkan bahwa Allah membenci riba dan menyukai zakat, sehingga ayat ini sebagai conditioning, artinya menciptakan kondisi umat agar siap mental untuk mentaati larangan riba yang segera dikeluarkan (Q.S. Ali Imran 130, Al-Baqarah 278-279). Surat ar-Rum ayat 39 ini menurut dia adalah surat Makiyyah.

2. Q.S. An-Nisa ayat 16

16. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

3. Q.S. Ali Imran ayat 130

130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

[228] yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya Haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.

Penjelasan dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)

Seandainya uraian tentang perang Uhud telah selesai, maka ayat yang berbicara tentang riba di atas ini, boleh jadi tidak terlalu membingungkan untuk dicari rahasia penempatannya disini. Tetapi ayat-ayat yang berbicara tentang perang Uhud masih cukup panjang. Ini menjadikan sementara ulama memeras pikiran untuk mencari hubungannya, bahkan sebagian mereka – karena tidak puas dengan upaya atau pandangan ulama lain – berhenti dan berkesimpulan bahwa ayat ini tidak perlu dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya.

Salah satu pendapat yang dapat dipertimbangkan adalah yang dikemukakan oleh al-Qaffal bahwa karena kaum musyrikin membiayai peperangan-peperangan mereka, antara lain pada perang Uhud, dengan harta yang mereka hasilkan dari riba, maka boleh jadi terlintas dalam benak kaum muslim untuk mengumpulkan pula biaya peperangan melalui riba. Ayat ini turun mengingatkan mereka agar jangan melangkah kesana.

Al-Biqa’i berpendapat bahwa sebab utama dari malapetaka yang terjadi dalam perang Uhud adalah langkah para pemanah meninggalkan posisi mereka di atas bukit untuk turun mengambil harta rampasan perang, padahal Nabi saw. sebelumnya telah melarang mereka. Harta yang mereka ambil itu adalah serupa dengan riba, dari sisi bahwa keduanya adalah sesuatu yang merupakan bagian yang berlebih dari hiasan dunia. Kesamaanya dalam hal sesuatu yang terlarang atau sesuatu yang berlebih dari yang wajar, itulah yang mengundang ayat ini mengajak orang-orang beriman agar janganlah kamu memakan riba sebagaimana yang sering terjadi pada masyarakat jahiliyah pada masa itu, yakni dengan berlipat ganda. Mereka diajak untuk menghindari siksa Allah didunia dan di akhirat dengan perintah-Nya; Dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan di dunia dan di akhirat. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, kalau kamu tidak dapat memeliharanya atas dorongan cinta, maka syukur kepada Allah. Neraka yang disediakan untuk orang-orang kafir, antara lain mereka yang menghalalkan riba, demikian juga untuk orang-orang durhaka yang mengkufuri nikmat Allah swt.

Al-Biqa’i menguatkan pendapatnya ini dengan mengutip beberapa riwayat, antara lain dari Abu Daud melalui Abu Hurairah ra. yang kesimpulannya adalah bahwa seseorang – Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn Abdil Asyhal – melakukan transaksi riba, dan dia enggan masuk Islam sebelum dia memungut riba itu. Tetapi ketika terjadi perang Uhud, dia menanyakan tentang anak-anak pamannya atau anak saudaranya dan beberapa temannya. Setelah disampaikan bahwa mereka berada di Uhud, segera dia menunggangi kudanya dan pergi menemui mereka. Ketika kaum muslim melihatnya mereka menyuruhnya pulang, tetapi dia menyatakan dirinya telah beriman. Dia ikut aktif terlibat dalam peperangan itu dan mengalami luka berat. Di rumahnya ia ditanya tentang sebab keterlibatannya dalam perang, apakah karena ingin membela keluarga atau demi karena Allah. Dia menjawab, ”Demi karena Allah dan Rasul-Nya”. Tidak lama kemudian dia gugur karena lukanya. Rasul saw. menyatakan bahwa dia adalah penghuni surga, padahal tidak sekalipun dia shalat.

Peristiwa ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai sebab turunnya ayat, dan seperti terlihat ia masih berkaitan dengan perang Uhud yang menjadi uraian ayat-ayat yang lalu. Berdasarkan hal tersebut, maka ayat diatas dapat juga bermakna, ”wahai orang-orang yang berkeinginan untuk beriman, janganlah kamu berbuat seperti Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn Abdil Asyhal yang menunda keislamannya karena ingin memungut riba yang kamu kenal berlaku dalam masyarakat, tetapi bersegeralah beriman dan bertaqwa kepada Allah agar kalian tidak celaka tetapi memperoleh keberuntungan”, atau, ”wahai orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman, lakukanlah seperti apa yang dilakukan Asyram. Dengan kesungguhan Imannya dia berperang, meninggalkan riba sehingga memperoleh keberuntungan”.

Sayyid Quthub, yang pandangannya dipuji oleh asy-Sya’rawi, menyatakan bahwa sebelum ayat-ayat surah ini melanjutkan uraian tentang Perang Uhud serta komentar-komentar yang berkaitan denga peristiwa-peristiwanya, terlebih dahulu dipaparkan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pertempuran yang dahsyat, yakni pertempuran dalam diri manusia dan lingkungan kehidupannya. Yakni uraian tentang riba, tentang takwa, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, tentang bernafkah di jalan Allah dalam keadaan lapang atau sempit, sistem kerjasama yang terpuji berhadapan dengan sistem riba yang terkutuk, juga tentang menahan amarah, pemaafan, penyebarluasan kebajikan ditengah masyarakat, serta istighfar, permohonan taubat dan kesadaran untuk tidak berlanjut dalam kesalahan dan dosa. Semua itu dikemukakan sebelum menguraikan peperangan fisik dan militer agar dapat menunjukan ciri khas ajaran islam, yaitu ”Kesatuan dan ketercakupan” al-Wahdat wasy syumul menghadapi eksistensi manusia dan segala aktivitasnya. Semua dikembalikan kepada satu poros, yaitu poros ibadah dan pengabdian kepada Allah swt. serta mengarahkan segala persoalan kepada-Nya semata.

Bersambung..........


Ayat-ayat Riba dalam Al-Quran

Oleh. Yudi Ahmad Faisal

1. Q.S. Ar-Ruum ayat 59

39. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Penjelasan dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)

Kalau ayat 58 Q.S. Ar-Ruum berbicara tentang keikhlasan berinfaq demi karena Allah semata, maka disini diuraikan tentang pemberian yang mempunyai maksud-maksud tertentu. Karena itu pula, agaknya ayat yang lalu menggunakan redaksi yang berbentuk tunggal dan yang tentunya pertama sekali tertuju kepada Rasul saw., sedang ayat ini menggunakan bentuk jamak, dan dengan demikian ia tertuju kepada banyak orang. Terkesan bahwa perubahan bentuk itu bertujuan mengeluarkan Rasul saw. yang demikian luhur dan mulia akhlaknya.

Ayat diatas menyatakan: Siapa yang menafkahkan hartanya demi karena Allah, maka ia akan memperoleh kebahagiaan, sedang yang menafkahkannya dengan riya’, serta untuk mendapatkan popularitas, maka ia akan kecewa bahkan rugi. Adapun yang memberi hartanya sebagai hadiah untuk memperoleh di balik pemberiannya keutungan materi, maka itu bukanlah sesuatu yang baik walau tidak terlarang. Dan apa saja yang kamu berikan dari harta yang berupa riba yakni tambahan pemberian berupa hadiah terselubung, dengan tujuan agar dia bertambah bagi kamu pada harta manusia yang kamu beri hadiah itu, maka ia tidak akan bertambah pada sisi Allah, karena Dia tidak memberkatinya. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yakni sedekah yang suci yang kamu maksudkan untuk meraih wajah Allah yakni keridhoan-Nya, maka mereka yang melakukan hal semacam itulah yang sungguh tinggi kedudukannya yang melipatgandakan pahala sedekahnya, karena Allah akan melipatgandakan harta dan ganjaran setiap yang bersedekah demi karena Allah.

Kata ( $\/Íh ) riba’ dari segi bahasa berarti kelebihan. Berbeda pendapat ulama tentang maksud kata ini pada ayat diatas. Sementara ulama seperti al-Qurthubi dan Ibn al-’Arabi, demikian juga al-Biqa’i, Ibnu Katsir, Sayyid Quthub dan masih banyak yang lain, semua berpendapat bahwa riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba yang halal. Ibn Katsir menamainya riba mubah. Mereka antara lain merujuk kepada sabahat Nabi saw. Ibnu Abbas ra. dan beberapa tabi’in yang menafsirkannya dalam arti hadiah yang diberikan seseorang dengan mengharapkan imbalan yang lebih.

Ada juga ulama yang memahaminya dalam arti riba dari segi hukum, yakni yang haram. Thahir Ibn Asyur berpendapat demikian. Tim penyusun Tafsir al-Munthakhab juga demikian. Mereka menulis bahwa makna ayat diatas adalah ”Harta yang kalian berikan kepada orang-orang yang memakan riba dengan tujuan menambah harta mereka, tidak suci di sisi Allah dan tidak akan diberkati. Sedang sedekah yang kalian berikan dengan tujuan mengharapkan ridha Allah, tanpa riya’ atau mengharapkan imbalan, maka itulah orang-orang yang memiliki kebaikan yang berlipat ganda.”

Sementara ulama mengemukakan bahwa uraian Al-Quran tentang riba mengalami pentahapan, mirip dengan pentahapan pengharaman khamar (minuman keras). Tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif, yaitu surah ar-Rum ini, dengan menggambarkannya sebagai ”tidak bertambah pada sisi Allah”. Kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Q.S. an-Nisa [4]: 16). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara tegas dinyatakan keharaman salah satu bentuknya, yaitu yang berlipat ganda (Q.S. Ali Imran [3]: 130). Dan yang terakhir, pengharaman total dan dalam berbagai bentuknya yaitu pada Q.S. al-Baqarah [2]: 278.

Thabathaba’i memahami kata riba pada ayat diatas dalam arti hadiah, tetapi dengan catatan bila ayat ini turun sebelum hijrah, dan riba yang haram adalah bila ia turun setelah hijrah, walaupun menurutnya ayat ini dan ayat sebelumnya lebih dekat dinilai Madaniyyah daripada Makiyyah.

Jika kita memahaminya sebagai riba yang diharamkan, maka ini berarti ayat ini telah dibatalkan hukumnya, atau dengan kata lain mansukh. Sedang kecenderungan banyak ulama dewasa ini, menolak adanya ayat-ayat mansukh, setelah ayati-ayat yang selama ini dinilai bertolakbelakang ternyata dapat dikompromikan. Karena itu, penulis cenderung memahami kata riba disini dalam arti hadiah yang mempunyai maksud-maksud selain jalinan persahabatan murni. Disisi lain, dalam Al-Quran, kata riba ditemukan sebanyak delapan kali dalam empat surat. Salah satu yang menarik adalah cara penulisannya. Hanya dalam ayat surat ar-Rum ini yang ditulis tanpa menggunakan huruf wau ditulis ( $\/Íh ). Sedang selainnya ditulis dengan huruf wau yakni (#((qt/Ìh9$#). Pakar ilmu-ilmu Al-Quran az-Zarkasyi menjadikan perbedaan penulisan itu, sebagai salah satu indikator tentang perbedaan maknanya. Yang ini adalah riba yang halal yakni hadiah, sedang yang lainnya adalah adalah riba yang haram, yang merupakan salah satu pokok keburukan ekonomi.

Kalimat (þÉĨ$¨Z9$# ŸAºuqøBr&Îû) secara harfiah berarti pada harta manusia. Al-Biqa’i dan sekian banyak ulama lain memahaminya dalam arti harta si pemberi. Penggunaan redaksi tersebut untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diperoleh oleh si pemberi dari kelebihan itu, terambil dari harta yang berada ditangan orang lain, sehingga sebenarnya harta itu bukanlah hartanya.

Banyak juga ulama memahami redaksi diatas dalam pengertian kebahasaannya. Yakni apa yang kamu berikan kepada orang lain, dengan maksud menambah harta orang yang kamu berikan itu, baik dalam bentuk hadiah, guna memperoleh popularitas atau guna mendapat tempat disisi yang kamu beri, atau sebagai cara untuk memperoleh keuntungan lebih banyak di masa mendatang, maka itu tidak terhitung sebagai amalan yang sesuai dengan kerihaan Allah, tetapi itu hanya bermanfaat untuk diri kamu sendiri.

Sayyid Quthub menulis bahwa ketika itu ada sementara oran yang berusaha mengembangkan usahanya dengan memberi hadiah-hadiah kepada orang-orang mampu agar memperoleh imbalan yang lebih banyak. Maka ayat ini menjelaskan bahwa hal demikian bukanlah cara pengembangan usaha yang sebenarnya, walaupun redaksi ayat ini mencakup semua cara yang bertujuan mengembangkan harta dengan cara dan bentuk apapun yang bersifat penambahan (ribawi). Sayyid Quthub menambahkan dalam catatan kakinya bahwa cara ini tidak haram sebagaimana keharaman riba yang populer, tetapi bukan cara pengembangan harta yang sebenarnya pada penggalan ayat selanjutnya yaitu: Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai wajah Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya), yakni memberinya tanpa imbalan, tanpa menanti ganti dari manusia, tetapi demi karena Allah.

Al-Quran sering kali menggunakan kata zakah yang secara harfiah berarti suci dan berkembang, untuk makna shadaqah/sedekah yakni pemberian tidak wajib, sebagaimana menggunakan kata sedekah yang secara harfiah antara lain berarti sesuatu yang benar, untuk pemberian wajib yaitu zakat, seperti dalam Q.S. at-Taubah[9]: 60. ini untuk mengisyaratkan perlunya kebersihan dan kesucian jiwa ketika bersedekah, agar harta tersebut dapat berkemban. Disisi lain, ketika berzakat diperlukan kebenaran dan ketulusan agar ia diterima oleh Allah swt.

Penafsiran Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi (Masail Fiqhiyah).

Surat ar-Rum ayat 39 ini belum konkret melarang riba, tetapi sudah mengingatkan bahwa Allah membenci riba dan menyukai zakat, sehingga ayat ini sebagai conditioning, artinya menciptakan kondisi umat agar siap mental untuk mentaati larangan riba yang segera dikeluarkan (Q.S. Ali Imran 130, Al-Baqarah 278-279). Surat ar-Rum ayat 39 ini menurut dia adalah surat Makiyyah.

2. Q.S. An-Nisa ayat 16

16. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

3. Q.S. Ali Imran ayat 130

130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

[228] yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya Haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.

Penjelasan dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)

Seandainya uraian tentang perang Uhud telah selesai, maka ayat yang berbicara tentang riba di atas ini, boleh jadi tidak terlalu membingungkan untuk dicari rahasia penempatannya disini. Tetapi ayat-ayat yang berbicara tentang perang Uhud masih cukup panjang. Ini menjadikan sementara ulama memeras pikiran untuk mencari hubungannya, bahkan sebagian mereka – karena tidak puas dengan upaya atau pandangan ulama lain – berhenti dan berkesimpulan bahwa ayat ini tidak perlu dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya.

Salah satu pendapat yang dapat dipertimbangkan adalah yang dikemukakan oleh al-Qaffal bahwa karena kaum musyrikin membiayai peperangan-peperangan mereka, antara lain pada perang Uhud, dengan harta yang mereka hasilkan dari riba, maka boleh jadi terlintas dalam benak kaum muslim untuk mengumpulkan pula biaya peperangan melalui riba. Ayat ini turun mengingatkan mereka agar jangan melangkah kesana.

Al-Biqa’i berpendapat bahwa sebab utama dari malapetaka yang terjadi dalam perang Uhud adalah langkah para pemanah meninggalkan posisi mereka di atas bukit untuk turun mengambil harta rampasan perang, padahal Nabi saw. sebelumnya telah melarang mereka. Harta yang mereka ambil itu adalah serupa dengan riba, dari sisi bahwa keduanya adalah sesuatu yang merupakan bagian yang berlebih dari hiasan dunia. Kesamaanya dalam hal sesuatu yang terlarang atau sesuatu yang berlebih dari yang wajar, itulah yang mengundang ayat ini mengajak orang-orang beriman agar janganlah kamu memakan riba sebagaimana yang sering terjadi pada masyarakat jahiliyah pada masa itu, yakni dengan berlipat ganda. Mereka diajak untuk menghindari siksa Allah didunia dan di akhirat dengan perintah-Nya; Dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan di dunia dan di akhirat. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, kalau kamu tidak dapat memeliharanya atas dorongan cinta, maka syukur kepada Allah. Neraka yang disediakan untuk orang-orang kafir, antara lain mereka yang menghalalkan riba, demikian juga untuk orang-orang durhaka yang mengkufuri nikmat Allah swt.

Al-Biqa’i menguatkan pendapatnya ini dengan mengutip beberapa riwayat, antara lain dari Abu Daud melalui Abu Hurairah ra. yang kesimpulannya adalah bahwa seseorang – Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn Abdil Asyhal – melakukan transaksi riba, dan dia enggan masuk Islam sebelum dia memungut riba itu. Tetapi ketika terjadi perang Uhud, dia menanyakan tentang anak-anak pamannya atau anak saudaranya dan beberapa temannya. Setelah disampaikan bahwa mereka berada di Uhud, segera dia menunggangi kudanya dan pergi menemui mereka. Ketika kaum muslim melihatnya mereka menyuruhnya pulang, tetapi dia menyatakan dirinya telah beriman. Dia ikut aktif terlibat dalam peperangan itu dan mengalami luka berat. Di rumahnya ia ditanya tentang sebab keterlibatannya dalam perang, apakah karena ingin membela keluarga atau demi karena Allah. Dia menjawab, ”Demi karena Allah dan Rasul-Nya”. Tidak lama kemudian dia gugur karena lukanya. Rasul saw. menyatakan bahwa dia adalah penghuni surga, padahal tidak sekalipun dia shalat.

Peristiwa ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai sebab turunnya ayat, dan seperti terlihat ia masih berkaitan dengan perang Uhud yang menjadi uraian ayat-ayat yang lalu. Berdasarkan hal tersebut, maka ayat diatas dapat juga bermakna, ”wahai orang-orang yang berkeinginan untuk beriman, janganlah kamu berbuat seperti Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn Abdil Asyhal yang menunda keislamannya karena ingin memungut riba yang kamu kenal berlaku dalam masyarakat, tetapi bersegeralah beriman dan bertaqwa kepada Allah agar kalian tidak celaka tetapi memperoleh keberuntungan”, atau, ”wahai orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman, lakukanlah seperti apa yang dilakukan Asyram. Dengan kesungguhan Imannya dia berperang, meninggalkan riba sehingga memperoleh keberuntungan”.

Sayyid Quthub, yang pandangannya dipuji oleh asy-Sya’rawi, menyatakan bahwa sebelum ayat-ayat surah ini melanjutkan uraian tentang Perang Uhud serta komentar-komentar yang berkaitan denga peristiwa-peristiwanya, terlebih dahulu dipaparkan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pertempuran yang dahsyat, yakni pertempuran dalam diri manusia dan lingkungan kehidupannya. Yakni uraian tentang riba, tentang takwa, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, tentang bernafkah di jalan Allah dalam keadaan lapang atau sempit, sistem kerjasama yang terpuji berhadapan dengan sistem riba yang terkutuk, juga tentang menahan amarah, pemaafan, penyebarluasan kebajikan ditengah masyarakat, serta istighfar, permohonan taubat dan kesadaran untuk tidak berlanjut dalam kesalahan dan dosa. Semua itu dikemukakan sebelum menguraikan peperangan fisik dan militer agar dapat menunjukan ciri khas ajaran islam, yaitu ”Kesatuan dan ketercakupan” al-Wahdat wasy syumul menghadapi eksistensi manusia dan segala aktivitasnya. Semua dikembalikan kepada satu poros, yaitu poros ibadah dan pengabdian kepada Allah swt. serta mengarahkan segala persoalan kepada-Nya semata.

Bersambung..........


Pandangan Ekonomi Islam.

Pandangan Ekonomi Islam.

Oleh: Yudi Ahmad Faisal, SE.

Ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang dibangun berdasarkan kaidah-kaidah Islam, yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah. Jadi Ekonomi Islam jelas-jelas sangat berbeda secara fundamental dengan ekonomi kapitalis dan sosialis, dan tidak mungkin bisa dikompromikan, karena masing-masing didasarkan atas pandangan dunia yang berbeda.

Pandangan dunia ekonomi Islam, meminjam definisi dari Prof. Muhsin Qiraati (dalam buku Membangun Agama) adalah pandangan dunia yang menyertakan kesadaran bahwa keberadaan alam ini memiliki tujuan, bersarkan pada wujud yang memiliki perasaan, dan berdasarkan pada sebuah rancangan, sistem, serta perhitungan yang pasti (Pandangan dunia Ilahiyah). Sedangkan pandangan dunia ekonomi kapitalis dan sosialis, adalah pandangan dunia yang mengedepankan asumsi bahwa jagat alam ini tidak didasari oleh rancangan sebelumnya, tidak memiliki perancang yang berperasaan, tanpa tujuan, dan tanpa perhitungan yang pasti (pandangan dunia materialisme).

Analogi dari pandangan dunia ilahiyah adalah seumpama rumah besar (alam) ini ada pemiliknya, dibangun dengan perhitungan, serta memiliki tujuan, dimana saya menjadi salah satu bagian didalamnya, tentunya sikap dan perbuatan saya harus bersandar pada kerelaan pemilik rumah (Allah). Selain itu, saya juga mesti mengamalkan berbagai aturan yang telah diberikan kepada saya (lewat perantaraan wahyu dan para nabi). Atas dasar logika tersebut, ekonomi Islam menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai kaidah pembangun pemikiran dan teori-teori ekonomi sebagai upaya dan konsekuensi logis terhadap pengabdian manusia terhadap Allah SWT. Firman Allah: ”dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.

Sedangkan pandangan dunia materialisme berbanding terbalik dengan pandangan dunia ilahiyah. Dalam sudut pandang materialisme, seluruh jagat alam terwujud tanpa rancangan sebelumnya. Menurut pandangan ini, semua keberadaan tercipta sesuai dengan berlalunya waktu. Dikatakan pula bahwa seluruh manusia berjalan menuju kemusnahan diri. Dengan kematian, mereka akan menjadi musnah. Sementara tujuan dari kehidupan ini tak lebih dari sekadar meraih kesenangan duniawi, untuk kemudian segera musnah dan binasa. Atas dasar logika tersebut, ekonomi konvensional (kapitalis dan sosialis) menjadi ilmu ekonomi bebas nilai (posivistik). Contoh implikasi dari pandangan ini adalah cara kapitalisme klasik menafsirkan makna adil dalam bidang ekonomi sebagai ”anda dapat apa yang anda upayakan (you get what you deserved). Menurut Ir. H. Adiwarman Karim SE, MBA, MAEP. (dalam buku Ekonomi Mikro Islami) Penafsiran makna adil versi kapitalisme diatas, berimplikasi pada pemahaman kaum kapitalis bahwa seorang kaya merupakan cerminan dari upayanya, sebaliknya seorang miskin juga merupakan cerminan hasil upayanya. Maka, bukan menjadi kepentingan orang kaya untuk memperhatikan si miskin, dan bukan menjadi hak orang miskin untuk meminta perhatian si kaya. Hal hampir senada diutarakan Afzalurrahman (dalam buku Muhammad Seorang Pedagang), kapitalisme memberikan kebebasan dan hak kepemilikan tak terbatas pada setiap individu serta mendukung hak eksploitasi seseorang. Yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Maka tidak aneh jika kita melihat kemakmuran dan berlimpahnya kekayaan dibelahan dunia barat, tetapi disisi lain kita melihat kemiskinan dan kelaparan di belahan dunia lain. Dalam harian kompas edisi 17 juni 2004 (seperti dikutip dalam buku Problem Kemiskinan – Zakat sebagai solusi Alternatif), ada judul ”Orang Kaya Sejagat Naik 7,7 Juta” dengan total kekayaan mencapai US$ 28,8 triliun pada tahun 2003, diperkirakan jumlah kekayaan ini akan semakin meningkat setiap tahunnya dan akan melampaui US$ 40,7 triliun. Ironisnya dalam harian dan tanggal yang sama, ada juga judul ”25.000 Orang Meninggal Dunia Setiap Hari karena Kelaparan dan Kemiskinan”. Pernyataan ini disampaikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan pada pertemuan G-7 di Sao Paulo, Brazil. Dan yang lebih menyedihkan kejadian tersebut terjadi pada sekitar 1,3 miliar penduduk miskin diseluruh dunia, dimana 85% nya adalah populasi muslim, walaupun mereka tinggal di negara yang sumber daya alamnya lebih dari cukup untuk menyantuni mereka. Permasalahan ketimpangan ekonomi diatas, jelas-jelas dibangun atas dasar pemikiran bebas nilai, tanpa tanggung jawab kemanusiaan, dan keluar dari nilai-nilai ilahiyah. Lain halnya dengan Islam yang memberikan solusi atas permasalahan ketimpangan tersebut, dimana si kaya berhak menjadi kaya karena usahanya, selama tidak menzalimi, itupun dalam hartanya terdapat hak orang lain yang harus dikeluarkan, ini merupakan salah satu wujud dari kaidah Islam dalam bidang ekonomi, yaitu Zakat dan Distribusi Kekayaan (Q.S. 59 : 7 ” agar harta jangan sampai beredar hanya dikalangan orang-orang kaya saja). Wallohu Alam Bishowab.

“Politik, Poligami, Sekularisme, dan Islam”

Menanggapi Tulisan Bro. Rijalul Imam

“Politik, Poligami, Sekularisme, dan Islam”

Oleh: Bro. Yudi Ahmad Faisal

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas pro kontra interpretasi legalitas poligami secara detil, baik dalam konteks kekinian maupun tinjauan historis untuk melihat poligami dalam konteks zamannya. Saya khawatir ini justru akan menjebak saya semakin memperuncing perdebatan poligami dan akhirnya kemudian saya akan tergiring opini publik yang kontra terhadap poligami, yang dirancang oleh suatu kelompok politik tertentu untuk meraih suara 2009 (jika konsiderasi tersebut didasarkan pada tesis Bro Rijalul Imam). Tetapi perdebatan boleh tidaknya poligami haruslah tetap diselesaikan dengan cara yang arif dan bijaksana di kelak kemudian hari, sebagai solusi kebingungan ummat atas masalah ini.

Dalam tulisan Bro. Rijalul Imam, ada kalimat “disadari atau tidak, maraknya kecaman-kecaman atas ketidaksepakatan poligami yang dilontarkan elit-elit politik itu berkesan berani mengecam al-Qur’an”, kemudian kalimat “Partai Islam (atau yang berbasis Islam) ketika menghadapi isu ini nampak lebih sekuler”. Dari pernyataan pertama Bro. Rijalul Imam menekankan kecaman beberapa elit politik terhadap al-Quran, hal ini disadari atau tidak karena ketidaksetujuan Bro. Rijalul Imam terhadap kelompok yang kontra terhadap poligami, padahal poligami tersebut, menurutnya jelas-jelas diperbolehkan oleh agama dengan syarat orang yang berpoligami harus berlaku dan bertindak adil. Dugaan diatas semakin jelas jika kita perhatikan kalimat “yang jelas apapun latar belakangnya, kenyataannya dengan tindakan Rasulullah ini berarti Islam membolehkannya”. Kalimat kedua adalah didasarkan atas dugaan Bro. Rijalul bahwa telah terjadi kecenderungan proses sekuralisme dalam tubuh partai politik yang mendasarkan ideologinya pada Islam.

Saya sangat kaget membaca pernyataan Bro. Rijalul Imam terhadap dua kalimat tersebut, saya mencoba untuk menelusuri sebab timbulnya pernyataan tersebut, namun saya menyerah pada suatu kondisi dimana umat lagi-lagi dibingungkan dengan masalah “otoritas penafsir Quran dan Sunnah”, siapakah yang benar-benar punya hak untuk menyatakan bahwa interpretasi Saya lah yang paling benar?.

Akhirnya saya berusaha untuk menelaah kemudian membelah masalah tersebut menjadi dua konteks pendekatan, dengan maksud melihat duduk perkaranya secara jernih. Yaitu konteks Agama, dan konteks Politik.

Konteks Agama

Lagi-lagi ketika prinsip-prinsip agama bersentuhan atau mencoba berbaur dengan publik, selalu terjadi pro dan kontra, baik yang mendukung prinsip tersebut ataupun yang menolaknya. Kasus poligami sama seperti halnya kasus bunga bank yang dikategorikan sebagai riba, hal ini memicu perdebatan sengit diantara para ahli hukum Islam, apakah bunga bank, baik bunga simpanan ataupun bunga pinjaman termasuk riba yang diharamkan dalam Al-Quran?, ataukah bunga bank konvensional yang sekarang dominan menguasai operasional perbankan itu tidak termasuk riba karena berbagai alasan dan argumen, lagi-lagi argumen dan alasan tersebut merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah. Begitu juga pihak yang mengklaim bahwa bunga bank konvensional apapun jenisnya apapun besarnya dikategorikan sebagai riba yang dilarang Al-Quran dan Sunnah, lagi-lagi argumen dan klaim mereka merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah.

Perdebatan poligami pun terbelah menjadi dua argumen, yang membelanya dengan syarat adil, dan yang menolaknya dengan berbagai argumen. Salah satu ulama yang menolak poligami dilakukan pada zaman sekarang adalah Muhammad Abduh (1849-1905), Abduh membolehkan poligami hanya kalau sang istri tidak mampu memberikan keturunan. Poligami, kata dia, diperbolehkan karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang. Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat mati dalam peperangan. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu. Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-keluarganya. Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik.

Dalam konteks zamannya (Abduh meninggal tahun 1905), keadaan telah berubah. Poligami, papar Abduh, justru menimbulkan permusuhan, kebencian, dan pertengkaran antara para istri dan anak. Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.

Pada akhir tafsirnya, Abduh mengatakan dengan tegas poligami haram (qath’i) karena syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin dipenuhi manusia. Pernyataan Abduh kembali ditegaskan dalam fatwanya tentang hukum poligami yang dimuat di majalah Al-Manar edisi 3 Maret 1927/29 Sya’ban 1345, Juz I, jilid XXVIII, yaitu poligami hukumnya haram. Adapun QS An Nisaa ayat 3 bukan menganjurkan poligami, tetapi justru sebaliknya harus dihindari (wa laysa fii zaalika targhiib fii al-ta’diid bal fiihi tabghiid lahu). (Republika online: http://www.republika.co.id edisi jumat, 8 desember 2006).

Adapun ulama maupun cendekiawan muslim Indonesia yang membolehkan Poligami bersepakat harus ada syarat yang sangat ketat ketika poligami dilakukan, syarat-syarat ini pun antara satu dengan yang lainnya berbeda. Contoh simpelnya, bisa kita lihat dari ulasan wartawan republika (Republika online: http://www.republika.co.id edisi jumat, 8 desember 2006) berikut ini:

Menurut DR Ahmad Satori, Ketua umum Ikadi (Ikatan Dai Indonesia) adil merupakan syarat mutlak dalam poligami. ''Mengapa kata-kata adil ini disebut di akhir ayat, untuk memberikan penekanan. Karena berlaku adil bagi manusia biasa tidaklah gampang,'' ujar Satori.

Satori mengisahkan seorang sahabat Gilan ibnu Ummayah ats Tsaqafi yang ketika itu memiliki 10 istri, ingin memeluk Islam bersama-sama seluruh istrinya. Rasul SAW memerintahkan Gilan untuk menceraikan yang enam. ''Talaklah yang enam, sisakan yang empat kalau kamu bisa berbuat adil.''

Ia menyebutkan, kata adil dalam ayat tersebut memiliki tiga makna; adil jatah, adil materi dan adil hati. Contoh adil materi, kalau istri diberi rumah seharga Rp 200 juta, maka istri kedua pun diberi rumah seharga yang sama. Kalau istri diajak jalan-jalan ke luar kota atau ke luar negeri maka istri pertama pun harus diberlakukan sama. ''Jadi tidak boleh ada perbedaan dalam pemberian materi."Sedang pakar hadis Prof Ali Musthafa Ya'qub menegaskan poligami adalah sesuatu yang sudah qath'i, sudah pasti dibolehkan dalam Islam. Dalam Alquran surat an-Nisa ayat 3, kata kerja yang digunakan dalam ayat tersebut adalah fi'il amr) yakni kata kerja perintah. "Adil adalah konsekuensi yang harus ditanggung bila seseorang berani berpoligami," ujarnya.

Ali mengakui, Rasulullah SAW berpoligami tidak didorong oleh nafsu syahawat. ''Tapi berdasarkan dorongan-dorongan yang bersifat sosial, dorongan dakwah. Jadi, poligami Rasulullah SAW itu motifnya adalah motif pendidikan, dakwah, sosial, dan motif penghormatan."

Ia mencontohkan ketika Rasulullah SAW menikahi putri Abu Bakar dan putri Umar bin Khaththab. "Dua orang ini adalah yang paling membela perjuangan Rasulullah SAW dan tidak ada penghormatan yang lebih besar bagi kedua orang itu, kecuali keduanya dijadikan sebagai keluarga nabi,'' tegasnya.

Prof Ali juga menegaskan dari pada seseorang melakukan maksiat dengan berpacaran atau selingkuh, maka poligami bagi orang seperti itu lebih baik.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof DR Nabila Lubis menyayangkan masih kurang dipahaminya poligami oleh umat Islam. Ia khawatir, hal ini bisa membuat bahan tertawaan oleh umat non Muslim. ''Padahal, poligami merupakan salah satu hukum yang sudah dibuat begitu rapih oleh Yang Mahakuasa untuk menjamin berbagai maslahat dalam masyarakat, " ujarnya.

Poligami, kata dia, diperbolehkan, tapi bukan dinyatakan wajib. Poligami hanya satu jalan keluar apabila terjadi salah satu masalah dalam perkawinan. Kalau pun terjadi, maka ada syarat-syaratnya,'' tegasnya. Tanpa ada satu alasan yang membenarkan dilakukannya poligami -- semisal sang istri tidak bisa memenuhi kewajibannya -- maka poligami di matanya berarti ia hanya mengikuti hawa nafsu.

Bila mengikuti sunah Rasul, maka Rasulullah berpoligami setelah istrinya, Khadijah RA meninggal dunia. Rasulullah juga bermonogami selama lebih bari dua puluh tahun. "Baru setelah Khadijah wafat, Beliau berpoligami. Itu pun tidak dengan sembarang wanita,'' jelasnya.

Pandangan yang sama diungkapkan salah seorang ketua PP Aisyiyah DR Masyitoh Chusnan. Memang dalam Alquran disebutkan berpoligami itu diperbolehkan. ''Hanya saja ada syaratnya. Syarat inilah yang kurang diperhatikan oleh para pelaku poligami. Alquran itu dengan jelas membolehkan poligami asal bisa berlaku adil. Kalau tidak bisa berbuat adil, artinya tidak boleh," ujarnya.”

Lagi-lagi dalam konteks agama kita menghadapi kendala kemampuan akal dalam merespons maksud Al-Quran secara tepat, dalam kasus poligami saja kita mendapati beberapa pendapat yang berkembang, baik yang melarang maupun yang memperbolehkannya. Masing-masing pihak bersandar pada nash tertentu tetapi yang dominan adalah peran akal dalam menerjemahkan nash tersebut. Itulah hasil ijtihad manusia, dan hasil ijtihad tidak equivalen dengan Al-Quran itu sendiri, dalam ijtihad ada campur tangan pemikiran manusia dalam menyimpulkan sebuah hukum. Oleh karenanya, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Muhammad Akram Laldin (pengamat syariah dan fiqh) “In the case of utmost professional integrity and diligence of the interpreter, the result of Ijtihad is always “right” with respect to ijtihad”. Maksud dari pernyataan ini sebenarnya untuk mengakomodasi setiap hasil ijtihad sehingga tidak menyebabkan konflik yang makin meruncing akibat perbedaan hasil ijtihad, dengan mengatakan bahwa setiap hasil ijtihad akan dinilai “benar” sebagai penghormatan terhadap ijtihad itu sendiri. Kemudian dia menyebutkan hadits nabi yang terkenal dalam menjembatani hasil ijtihad yang berbeda-beda tersebut: “jika hakim (ahli hukum Islam) membuat keputusan tepat maka baginya dua pahala, jika hakim memutuskan kemudian salah, maka baginya satu pahala).

Dulu, Imam Syafii mengkritik konsep istihsân mazhab Abu Hanifah. Kalau cara dan argumentasi Imam Syafii itu kita gunakan sekarang, dia bisa dipakai untuk mengkritik konsep qiyâsh yang diajarkan Imam Syafii sendiri. Jadi ijtihad selalu membuka peluang kritik.

Apa arti semua itu? Dalam konteks menyikapi perbedaan penafsiran Al-Quran, maka kita harus mengembangkan sikap tawâdlu` atau rendah hati dan terus menerus mengupayakan pencerahan intelektual ummat, yang salah satunya bisa diraih melalui media itjihad. Dalam hal ini saya sependapat dengan Kang Djalaluddin Rahmat yang mengatakan “bahwa semua fikih mengandung unsur manusia di dalamnya. Karena itu, semua fikih mengandung unsur kesalahan. Anda tentu tahu ucapan seorang ulama: fikih dia benar, tapi mengandung kemungkinan keliru (ra’yî shawâb wa yahtamilul khata’); begitu juga sebaliknya. Saya tidak tahu sejak kapan aliran mushawwibûn itu tersingkir dari masyarakat dan diambil-alih aliran mukhatti’ûn. Tapi tampaknya, aliran yang suka menyalah-nyalahkan orang itu muncul sejak adanya aliran pembaharuan yang juga suka menyalah-nyalahkan”.

Atas dasar pemikiran tersebut, Saya “bingung nih” atas dasar apa Bro. Rijalul Imam menyatakan ‘disadari atau tidak, maraknya kecaman-kecaman atas ketidaksepakatan poligami yang dilontarkan elit-elit politik itu berkesan berani mengecam al-Qur’an”. Mengecam dalam arti karena mereka tidak setuju dengan poligami atau mengecam karena mereka mempermainkan isu ini menjadi isu politik? Untuk alasan pertama, yaitu mengecam karena mereka mengikuti pendapat Poligami tidak diperbolehkan pada zaman ini, kayaknya kecaman tersebut “keras sekali” dalam konteks keagamaan dan cenderung kurang tepat. Sedangkan mengecam bahwa mereka sengaja mempermainkan nash AlQuran yang masih dalam perdebatan untuk dijadikan komoditas politik yang menguntungkan golongan politik tertentu, maka maka saya sependapat dengan Bro. Rijalul Imam, harus dikecam habis-habisan sampai titik darah penghabisan. (militan bangeut yah?? J).

Satu lagi, Saya masih mencoba untuk mengerti tetapi gagal terhadap pernyataan Bro. Rijalul Imam bahwa “Partai Islam (atau yang berbasis Islam) ketika menghadapi isu ini nampak lebih sekuler”. Tesis penulis tentang penomena ini lebih “mengerikan” daripada tesis pertama, dalam tesis ini seolah-olah mengatakan bahwa partai islam yang berideologi Islam nampak lebih sekuler. Saya yakin Bro. Rilalul Imam mempunyai bukti-bukti dan analisis sehingga sampai pada kesimpulan ini. Penomena ini kalaupun benar jelas-jelas merupakan ancaman bagi kelangsungan “keberagamaan” di Indonesia, khususnya ummat Islam. Kalau dahulu sekularisme menampakan diri secara sembunyi-sembunyi, undercover, laten alias tidak terlihat. Maka sekarang sekuralisme menampakkan diri terang-terangan, dengan mempublikasikan sikap sekuralismenya kepada media untuk diketahui oleh masyarakat umum. Kalau dulu Alm. Nurcholis Madjid menyatakan “Islam Yes, Partai Islam No”, ungkapan tersebut bagi penentang sekuralisme menyatakan seolah-olah beliau mau memisahkan nilai-nilai Islam dari panggung politik, bagi mereka yang pro mengatakan Islam jangan dibawa ke panggung politik, nama islam jangan dijadikan sebagai komoditas politik, justru sebaliknya tanpa nama Islam pun, ruh Islam bisa masuk kedalam sendi-sendi politik. Maka sekarang berdasarkan tesis Bro. Rijalul Imam, penomena sekularisme menjadi dahsyat lagi, menjadi “Sekuralisme Yes, Partai Islam Yes”. Karena yang mempertontonkan sekuralisme jelas-jelas partai Islam. Saya kira, pernyataan Bro. Rijalul Imam tentang hal ini perlu dipertajam argumentasinya sehingga tidak “mengambang” sebagaimana sekarang dipahami oleh penulis, alasan partai Islam cenderung sekuler harus disertai dengan fakta dan analisis yang komprehesif sehingga pernyataan itu menjadi jelas sudut pandang dan cakupannya (punteun Jal, upami tiasa eta oge, abdi nuju tertarik pisan kana masalah politik dan ekonomi yeuh). Jika partai Islam sekarang cenderung sekuler maka yang terjadi adalah contradictio in terminis. Sebuah hasil pemikiran yang bertolak belakang, sehingga berdasarkan hukum klasik dunia pemikiran hal tersebut tidak valid. Karena sebagaimana yang dipahami oleh penulis, Islam dengan sekuler itu sesuatu yang bertolak belakang, keduanya dibangun berdasarkan worldview yang berbeda, yang pertama mendasarkan worldview secara comperehesif and universal antara here and hereafter yang terintegrasi secara utuh, berdasarkan wahyu (Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan sekuler menyatakan bahwa “only this world is real. Hence, any reference to the ‘hereafter’ is irrelevant”.

Masalah Islam dan sekularisme ini sudah panjang lebar dikemukakan oleh Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya "Islam and Secularism". Kesimpulan beliau adalah “Sekularisme adalah memusuhi Islam dan proses sekularisasi memang ditujukan untuk melawan Islam. Oleh sebab itu istilah-istilah seperti sekularisme, sekularisasi, dan sekular itu sendiri tidak boleh dihubung-hubungkan dan dikait-kaitkan dengan Islam. Bahkan terjemahan perkataan sekularisme dalam bahasa Arab seperti 'ilmaniyyah' atau 'almaniyyah' adalah tidak tepat sama sekali, karena tidak ada padanannya dalam konsepsi Islam. Begitu juga pemikir Islam yang lain seperti Prof. Dr. Yusuf al-Qaradawi, menyatakan pendapat yang sama bahawa “sekularisme dan sekularisasi itu berbeda dengan Islam dan akan sentiasa berkonfrantasi dengan Islam, (buku "al-Islam wa al-'Ilmaniyyah Wajhan li Wajhin").

Konteks Politik

Dalam konteks politik Indonesia dewasa ini segala hal bisa terjadi, perang manuver, saling membangun strategi dan taktik untuk memperkuat posisi partai ataupun ideologi politik masing-masing, dinamika ini terus berjalan sehingga konstelasi politik nasional tidak pernah diam, selalu progressif dan dinamis. Setiap momentum selalu bisa dijadikan sebagai komoditas politik, hal tersebut kadang memperkuat partai politik tertentu dan memperlemah partai politik yang lain. Jadi yang terlihat dari perpolitikan Indonesia adalah adanya paradigma menang-kalah. Setiap ada isu selalu dinilai dari paradigma menang-kalah. Setiap ada isu yang terjadi dalam skala nasional, selalu dilihat dari 2 pendekatan: (1) isu tersebut ada yang menghembuskan dan menggerakan sehingga bisa berskala nasional, (2) isu tersebut mempunyai kecenderungan memperkuat atau memperlemah suatu partai atau golongan politik. Dalam konstelasi politik isu merupakan komoditas yang berharga dalam mengangkat atau menghancurkan partai politik, atau menggiring opini publik sesuai dengan tujuan yang sudah dirancang (tesis saya pribadi nih, kalo ada pendapat silakan, ane tunggu???).

Dalam konteks politik pernyataan-pernyataan Bro. Rijalul Imam sah-sah saja, selama ada analisis dan tidak cenderung menjustifikasi atau menebak-nebak. Analisis dan argumentasi adalah hal yang wajar dalam dunia intelektual.

Jadi menurut penulis, sesuatu yang berhubungan dengan agama harus disikapi dengan hikmah, dengan hati-hati karena penafsiran nilai agama terhadap lingkungan publik sangat sensitif dan rentan terjadi gesekan, yang bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak “musuh Islam” untuk memecah belah ummat.

Yang dikhawatirkan adalah Politik mempoligami Islam dan Sekuler, ini terjadi ketika partai politik mempergunakan nama Islam sebagai komoditas politik untuk menarik simpati, tetapi sekuler dalam implementasi program politiknya ataupun dalam pemikirannya. Naudubillahi min da’a lika. Wallohu a’lam bishowab.