Translate

Wednesday, April 7, 2010

Takaful: the Objectives of Sharia vs the Objectives of Business

Bisnis selalu memiliki bahasa sendiri dalam mendeskripsikan entitasnya. Pun dalam bisnis Syariah, bahasa bisnis selalu hadir dan membumbui kehadiran bisnis-bisnis Syariah yang sedang menjadi trend dunia termasuk dalam bidang Islamic insurance atau kita kenal dengan nama Takaful.

Takaful hadir sebagai alternative dari sistem asuransi yang menurut Ulama kontemporer memiliki banyak hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perdagangan Syariah. Diantaranya system asuransi mengandung riba, gharar, maysir. Mengandung riba karena dalam proses menginvestasian premi yang terkumpul oleh operator asuransi mengandung interest based income yang dikategorikan sebagai riba al nasiah dan sebabnya dilarang menurut Syara’. Hal yang kedua gharar, terjadi ketika kontrak asuransi dengan klien adalah kontrak pertukaran (contract of exchange) dimana pihak klien membeli produk proteksi (product of protection) kepada pihak operator asuransi. Harga yang harus dibayar direpresentasikan oleh premi. Tetapi dalam kontrak ini time of delivery dari produk proteksi tersebut tidak jelas alias mengandung uncertainty alias kedua belah pihak tidak tahu kapan produk tersebut dikirim. Karena dalam asuransi konvensional, produk tersebut akan dikirim ketika terjadi misfortune ataupun resiko kepada pihak klien baik dalam bentuk kematian, kebakaran, kecelakaan, atapun yang lainnya. Sehingga dalam kontrak asuransi konvensional terdapat gharar, begitu pun dalam isu maysir (gambling), dalam asuransi konvensional pihak operator asuransi akan selalu dalam posisi menebak berapa kerugian yang harus mereka tanggung ketika terjadi resiko pihak klien dengan premi yang mereka bayar. Ketika premi yang mereka bayar lebih besar dari pada resiko yang terjadi maka pihak operator asuransi mendapatkan keuntungan, pun vice versa ketika claim lebih besar dari premi maka operator asuransi rugi. Mekanisme seperti ini persis seperti zero sum game, alias mereka-mereka yang untung mendapatkan keuntungan dari mereka-mereka yang rugi.

Dalam posisi demikian, takaful memang sangat cocok menggantikan peran system asuransi konvensional yang mengadung riba, gharar, dan maysir. Tetapi pertanyaannya adalah apakah dengan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perdagangan Syariah telah membebaskan takaful dari system asuransi konvensional??

Takaful adalah mekanisme kerjasama, kekeluargaan dalam memitigasi resiko terhadap hal-hal yang tidak diharapkan oleh para anggota takaful. Dengan mekanisme tabarru (hadiah, donasi) dan ta’awun (saling kerjasama) memungkinkan resiko yang terjadi diantara sesama anggota dapat ditanggung secara sukarela oleh para anggota. Tidak melihat bagaimana profile dari anggota-anggota takaful, semua harus ikut memberikan kontribusi (tabarru) saling kerjasama (ta’awun) dalam menanggung risiko yang tidak diharapkan ketika datang kepada salah satu anggota. Ide mekanisme ini bisa ditangkap dari ide hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huraira r.a. yang terekam dalam Sahih Muslim Kitab Al Birr No. 59 bahwa barang siapa yang menghilangkan kesusahan dari orang mu’min maka Allah akan menghilangkan kesusahan kepadanya di hari penghisaban. Dengan demikian, selama ada orang mu’min yang ditimpa kesusahan baik itu laki-laki ataupun perempuan, baik itu anak muda maupun orang tua, baik itu yang kaya atapun yang miskin, baik itu yang sehat atapun yang pesakitan, baik itu yang kerjanya sangat beresiko seperti tukang bersih-bersih ujung menara petronas atapun tukang sapu di jalan semuanya harus di-cover dalam mekanisme mutual cooperation and tabarru.

Tetapi dalam sistem asuransi terdapat proses underwriting. Proses ini bermakna bahwa pihak operator asuransi akan menilai dan mengklasifikasi derajat resiko dari calon klien mereka dan memilih calon klien yang menurut metodologi penilaian resiko mereka tidak terlalu beresiko. Dengan melakukan hal tersebut pihak operator asuransi akan mampu mengontrol kualitas bisnisnya. Tujuan utama proses underwriting tersebut adalah untuk membangun dan memelihara porfofolio yang menguntungkan dari sisi bisnis mereka dan memitigasi adverse selection dari calon klien yang berkehendak untuk membeli produk proteksi. Dengan proses underwriting tersebut pihak operator asuransi akan mampu menyeleksi calon klien mereka berdasarkan derajat resiko yang dimilikinya. Dengan demikian tidak semua pihak boleh ikut sistem asuransi, tetapi pihak-pihak tertentu saja (selected participants) yang berdasarkan penilaian pihak asuransi memiliki resiko monderat.  

Dalam sistem kerja takaful, proses underwriting ini menjadi tidak terhindarkan. Dengan alasan bahwa bisnis harus selalu memperhatikan costs and benefits sehingga pertimbangan-pertimbangan manajemen resiko selalu membumbui proses bisnis tersebut. Sehingga dalam takaful pun, tidak semua calon partisipan akan diterima oleh takaful operator, tetapi takaful operator hanya memilih calon-calon partitisipan yang memiliki derajat resiko moderat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari penerapan proses underwriting dalam sistem takaful.

Dengan sistem tersebut, maka tidak semu orang bisa mendapatkan ta’awun dan tabarru dari sistem takaful tersebut. Dengan sistem tersebut ada proses transformasi dari mutual cooperation menjadi selected cooperation. Artinya ada proses seleksi yang sistematis berdasarkan ‘sistem mainstream” yang sayangnya selalu menempatkan orang-orang unlucky alias mustadh’afiin dalam tempat yang tidak bisa mengakses kesetaraan untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Sama halnya contohnya dengan mekanisme physical collateral di sistem perbankan, bagi mereka yang tidak mempunyai jaminan fisik yang bernilai di depan hukum tertentu maka mereka-mereka ini tidak mempunyai akses terhadap perbankan istilahnya tidak-bankable. Maka saya sangat menghormati konsep-konsep baru sistem keuangan yang berbeda 180 derajat dengan sistem mainstream dengan segala kekurangannya seperti sistem group based lending yang menggantikan konsep physical collateral menjadi trust collateral, sistem profit and loss sharing yang menjadi katalisator antara yang mempunyai kekuatan financial dengan mereka yang mempunyai kekuatan entrepreneurship, konsep lembaga investasi dibanding dengan lembaga perbankan, dan lain sebagainya.

Mudah-mudahan dengan berjalannya waktu proses transformasi dari sistem keuangan ribawi menjadi sistem keuangan Syariah berbagai isu-isu pelik seputar implementasi keuangan Syariah bisa diselesaikan dengan bijak terdasarkan spirit tujuan-tujuan kehadiran syariah yang digambarkan dengan canggih oleh Imam Shatibi dalam khomsatut dharurah fi maqosid as Syariah yaitu menjaga jiwa, agama, akal, harta, dan keturunan.

Wallohu alam bishowab.

Taman Harmonis,
Yudi Ahmad Faisal

Surat untuk Ulil

Baru-baru ini Ulil Abshar Abdalla menulis sebuah artikel yang mengkritik keuangan Syariah secara khusus dan ekonomi Syariah secara umum. Saya sebagai pendukung ekonomi Syariah ingin mencoba menjawab apa yang menjadi discussion point yang Ulil hendak stimulasi.


Baginya ekonomi Syariah adalah kapitalisme yang diarabkan (arabized capitalism), artinya kapitalisme yang menggunakan label Arab. Argumentasinya bertumpu pada pengadopsian ekonomi Syariah terhadap struktur institusi keuangan modern yang lahir dari rahim kapitalisme contohnya bank, lebih lanjut dia mengatakan bahwa kontrak kontrak yang dipakai dalam keuangan Islam tidak ada hubungannya dengan Islam, kontrak tersebut adalah jenis kontrak yang dipakai secara luas dalam dunia perdagangan, bedanya kontrak-kontrak tersebut menggunakan terminologi bahasa Arab.


Argumentasi Ulil tetap bertumpu pada penghindaran formalisasi Syariat, Agama adalah wilayah privasi, sedangkan ekonomi adalah wilayah publik. Dan tidak semestinya wilayah privasi dicampur dengan wilayah publik, sebagaimana yang menjadi tema besar gerakan Islam Liberal. Hal ini dengan mudah dikenali ketika dia mengatakan “Bagi saya, ekonomi syariah "goes beyond symbols and Arabic labels". Ekonomi syariah adalah soal prinsip-prinsip dasar”. Terhadap pernyataan ekonomi Islam harus lebih essensial tersebut saya sependapat, artinya sesungguhnya Ulil mengakui adanya ekonomi yang berdasarkan perspektif Islam, yang dia kritik adalah penggunaan simbol-simbol arab serta institusi keuangan yang pakai dan kontrak-kontrak Syariah yang diintegrasikan kedalam keuangan Syariah.


Sebelumnya kita harus paham bahwa kritikan-kritikan semacam ulil harus diposisikan sebagai bagian dari pergulatan intelektual untuk mencari format terbaik dari sistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Bersikap “open-minded” justru akan mentransformasikan kritikan menjadi sebuah energi untuk memperbaiki dan menyempurkan sistem ekonomi Syariah yang sedang dibangun ini. Sebagai pendukung ekonomi Syariah, saya mengakui bahwa banyak hal yang harus dicarikan argumentasi rasional maupun Syariah disana sini, termasuk penggunaan institusi keuangan modern seperti bank, pasar uang (money market), pasar modal (capital market), penggunaan fractional reserve requirement dalam perbankan Syariah, interest rate sebagai benchmark dalam menentukan harga produk-produk keuangan Syariah, dan lain sebagainya.



Dalam diskusi ini saya tidak akan menggunakan analisis ekonomi dan keuangan, ataupun analisis tentang uang (money), bunga (interest), modal (capital) dan untung (profit) yang menjadi 4 konsep dasar paling penting dalam ekonomi kontemporer yang banyak diperdebatkan para econom. Tetapi saya akan menggunakan argumentasi konsep yang dikritik ulil terutama masalah kontrak-kontrak yang katanya diarabkan semata. Hal tersebut semata-mata untuk membuat diskusi ini menjadi “nyambung” alias interconnected each other.


Untuk memperdebatkan produk fiqh, hal pertama harus diperhatikan adalah bahwa fiqih secara esensi bersifat multi interpretasi. Sehingga diharapkan diskusi ini akan terbuka untuk mencari format terbaik produk-produk yang landasi oleh semangat nilai-nilai Islam. Menurut Ulil prinsip dasar Islam dalam pertukaran barang, diringkaskan dalam satu ayat di Surah An Nisa: 29 dan dua hadis:



"Ya ayyuhal ladzina amanu la ta'kulu amwalakum bainakum bil bathil illa an takuna tijaratan 'an taradlin minkum..." Artinya dalam bahasa Ulil, “Hai orang-orang beriman, janganlah kalian memakan (atau memiliki) harta-harta di antara kalian dengan cara yang culas, kecuali melalui "tijarah" (pertukaran barang) yang didasarkan pada asas saling suka sama suka (taradlin).



Nabi bersabda dalam hadis sahih (saya lupa perawinya): "Al mukminuna 'ala syuruthihim illa syarthan ahalla haraman aw harrama halalan." Artinya: Orang-orang beriman (tetapi ini juga berlaku untuk semua orang, baik beriman atau tidak) terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim, Nabi melarang jual-beli yang mengandung tipuan (ba'i al gharar).



Ulil mengatakan bahwa yang paling penting adalah esensi bukan label, saya sependapat dengan pernyataan tersebut dengan beberapa pertimbangan (dalam konteks diskusi ini tidak relevan pertimbangan tersebut dihadirkan).




Ulil mengatakan bahwa kontrak-kontrak yang menggunakan bahasa Arab tersebut yang berjumlah 18 adalah kontrak duniawi semata yang menggunakan istilah-istilah bahasa Arab. Saya sependapat itu adalah kontrak duniawi untuk kehidupan manusia di bumi, tetapi kontrak tersebut mempunyai makna/esensi yang dalam untuk mendukung perdagangan yang adil yang tidak culas, yang suka sama suka (b.arab: taradlin, b.inggris: mutual consent), untuk menghindari perdagangan yang mengandung penipuan (bay’al gharar).



Karena diskusi ini hanya seputar produk fiqh, maka diskusi ini hanya akan menghadirkan argumentasi seputar penggunaan produk fiqih tersebut dalam institusi keuangan Syariah.



Ulil mengatakan bahwa perdagangan haruslah didasarkan suka sama suka (taradlin), dan tidak mengandung penipuan yang dia istilahkan sebagai bay’ al gharar. Bagi saya penipuan berarti asymmetric information (artinya ada informasi yang ditutupi oleh salah satu dua orang yang bertransaksi sehingga jika salah satu pihak mengetahui informasi yang ditutupi tersebut akan menggugurkan asumsi suka sama suka) atau istilahnya tadlis. Sedangkan Bay al gharar saya mengistilahkan dengan jual beli yang mengandung ketidakpastian bagi kedua belah pihak (uncertainty for both parties), meskipun gharar juga bisa berarti penipuan (deceit). Ulama fiqih memberi contoh jual beli gharar ini terjadi dalam bentuk ketidakpastian bagi kedua belah pihak akan kualitas, kuantitas, harga, maupun waktu pengiriman barang yang diperjual belikan.



Untuk memberikan argumentasi mengapa kontrak-kontrak berbahasa arab tersebut begitu penting dalam menjaga supaya jual beli selalu mengandung kepastian, anti penipuan dan suka sama suka. Saya ambil salah satu contoh dari sekian banyak produk keuangan Syariah yaitu takaful. Penggunaan nama takaful lebih aman secara terminology daripada asuransi Syariah, karena ada sebagian pihak yang keberatan dengan nama asuransi Syariah yang katanya mengandung contradictio in terminis. Kenapa harus takaful yang berbahasa arab ini untuk menggantikan asuransi kovensional. Apa yang salah dengan asuransi konvensional, apakah asuransi konvensional mengandung unsur bay al gharar atau transaksi yang bisa menabrak nilai-nilai suka sama suka.



Seandainya Ulil mau sedikit belajar tentang apa sebenarnya asuransi konvensional, beliau akan mudah mengenali bahwa asuransi konvensional berdasarkan perspektif legal formal adalah kontrak pertukaran (contract of exchange) dimana produk yang diberdagangkan adalah “proteksi”, harga untuk proteksi tersebut adalah premi yang harus dibayar secara periodik oleh pembeli asuransi. Menurut Ulil, transaksi jual beli haruslah menghindari gharar alias penipuan ataupun dalam konteks asuransi ketidakpastian akan produk yang diperjualbelikan. Dari sekian banyak kelemahan asuransi secara legal formal, sekarang pertanyaan mudahnya, kalau memang itu adalah transaksi jual beli, kapan terjadi transfer kepemilikan (transfer of ownership) produk yang dibeli oleh pembeli premi. Apakah akan terjadi pemindahan kepemilikan, ataukah pemindahan kepemilikan produk proteksi itu terjadi jika ada kondisi lain yang datang (conditional). Dalam praktek asuransi konvensional, contohnya asuransi kecelakaan, pemindahan kepemilikan produk proteksi itu akan terjadi jika terjadi kecelakaan, jika tidak terjadi kecelakaan maka tidak akan terjadi pemindahanan kepemilikan.






Pertanyaaan kedua saya, kalau tidak terjadi pemindahan kepemilikan produk proteksi tersebut, kenapa itu disebut kontrak pertukaran. Apakah dalam transaksi tersebut mengandung ketidakpastian ataupun penipuan? Seandainya Ulil bisa menjawab pertanyaaan-pertanyaan tersebut saya bersedia untuk melanjutkan diskusi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut semata-mata untuk membuat diskusi ini apple to apple alias nyambung atau interconned each other.



Yang saya sampaikan diatas baru sebatas perspektif legal formal, belum berbicara implikasi ekonomi secara umum dari produk tersebut.Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau ada umur kita panjang, insyaallah kita akan sambung lagi untuk diskusi yang sangat bermanfaat ini.



Taman Harmonis,





YAF