Translate

Saturday, March 19, 2011

Masyarakat Komersial (Commercial Society)

Tumpukan buku Political thought, A Brief History of Liberty, the Ideas that Made the Modern World,Portable Reader of Enlightenment serasa bantal empuk yang enak dipake tidur, teringat dulu zaman pesantren, ketika buku mempunyai fungsi ganda sebagai sumber informasi dan sarana untuk tidur di kelas. Pagi ini terasa sangat istimewa, dari pukul 7 pagi cahaya matahari sudah muncul tanpa dihalangi oleh awan tebal yang konon menjadi teman setia Londoners, cahaya matahari membuat silau layar laptop yang sedang memperlihatkan website paling popular yang menyediakan berjuta files video dengan muka halaman tentang Excerpts dari Erich Fromm Interview, Noam Chomsky, Karl Marx, dan kadang-kadang David Harvey.

Meskipun tugas hampir menemui ajal sekitar 2 mingguan lagi, hot news tentang revolusi yang menyebar di Timur Tengah, dan Afrika Utara, serta Demonstrasi besar-besar di beberapa wilayah Amerika Serikat menentang kebijakan tertentu, gempa  dan tsunami Jepang serta krisis nuklir telah menjadi perhatian media dengan menjadikannya sebagai headline di berbagai media seolah menjadi pengantar harian sebelum memulai menulis. Tetapi saya tidak bisa berpaling dari hot news yang lain yang menurut saya mengeksplorasi sesuatu yang tidak ada dipermukaan, invisible, tetapi keberadaannya sangat jelas. Dari perspektif tersebut, media menghadirkan informasi tentang event-event tersebut dari berbagai sudut, dari derajat yang cenderung informatif menghadirkan apa yang ada di permukaan (surface) sampai yang bersifat investigatif menelusuri apa yang tidak kelihatan dipermukaan. Semuanya berupaya menghadirkan dan menginformasikan “fakta”.

Bagi saya, fakta sosial bisa menjadi menjadi malam yang gelap gulita, misteri, dan susah untuk diungkap tetapi bisa pula menjadi siang yang terang benderang, dan mudah untuk dikenali. Seorang bijak mengatakan bahwa jangan sampai asumsi mendahului fakta, karena kadangkala asumsi menjadi halusinasi manusia dalam “realitas”-nya masing-masing. Menyingkirkan halusinasi dari realitas hidup manusia adalah perjuangan klasik manusia yang bukan hanya dihadapi oleh kita, tetapi juga oleh para pendahulu.

Dalam skala mikro, contohnya masalah antar pribadi, keluarga, masyarakat rt, rw, sampai ke tingkat local desa atau kecamatan, halusinasi ini sering menjadi biang masalah. Misalnya percekcokan keluarga, tawuran masal, tawuran antar pelajar, konflik agama kadang-kadang didasari oleh asumsi, karena asumsi tidak membutuhkan proses yang membutuhkan kesabaran, sebaliknya mengungkap fakta dibutuhkan kesabaran, knowledge, dan keberanian.

Dalam skala makro, asumsi ini bisa menghancurkan peradaban manusia pada titik yang paling ekstrim. Karena ketika manusia secara kolektif dalam skala global telah berasumsi hidup dalam masyarakat yang benar, tidak perlu ada perbaikan yang drastic dan revolusionis terhadap kondisi sosial maka pada saat tersebut manusia berada pada tingkat ketidaksadaran akibat halusinasi dan kulminasi asumsi yang mereka pelihara dan pertahankan.

Pada skala mikro, solusi untuk menghindari halusinasi yang lahir dari asumsi tersebut bisa berkaca contohnya pada recipe dai yang pernah kondang di Indonesia, Aa Gym, yang mempopulerkan resep BAL (Benar, Akurat, dan Lengkap). Meskipun pada kenyataannya konsep ini sedikit mengalami kesulitan dalam aplikasinya terutama terkait dengan benar menurut siapa, dan derajat kevalidan sumber informasi tersebut (akurat), kalau kelengkapan juga bisa sangat subjektif terkait dari mana kita melihat kelengkapan tersebut. Tetapi paling tidak, resep awal ini akan menuntun kita untuk lebih bersabar dalam mengungkap fakta dan menghindari asumsi tanpa proses pembuktian. Dalam skala makro, solusi menghindari halusinasi tersebut tidak semudah di alam mikro, karena hubungannya bukan personal yang bersifat local, tetapi sudah menggurita, global, bahkan telah melahirkan infrastruktur yang solid plus dengan struktur institusi yang pendukungnya.  

Nah salah satu hot news yang menarik perhatian saya adalah phenomena masyarakat komersial (commercial society), mungkin jarang diantara kita yang mendengar istilah tersebut bahkan di dunia akademis seperti di Fakultas Ekonomi, karena memang phenomena tersebut bukan mainstream yang dijelaskan dan dikaji secara komprehensif di dunia pendidikan ataupun dieksplorasi dan dihadirkan oleh media.

Masyarakat komersial lahir dari rahim kapitalisme, dan selalu diidentikkan dengan masyarakat barat yang diasumsikan maju dari berbagai sisi terutama ekonomi. Para pendukung masyarakat komersial mengatakan bahwa ketika perdagangan menyebar keseluruh penjuru dunia, teknologi memudahkan manusia mendapatkan apa yang selama ini langka (scarcity) dan susah untuk didapatkan, produksi barang dan jasa dalam skala massif, institusi keuangan ikut menjadi agen pertumbuhan ekonomi dengan money creation dan revolutionary inventions-nya seperti kartu kredit, dan berbagai instrument keuangan, konklusi finalnya tidak ada kemajuan yang pernah diraih oleh sejarah manusia kecuali kemajuan ekonomi sekarang ini. Para pendukung masyarakat komersial mengklaim bahwa jenis masyarakat ini akan lebih menyebarkan nilai toleransi, menghargai liberty dan kebebasan, menghindari ekploitasi, meningkatkan keadilan ekonomi, dan melayani kebutuhan dasar orang lemah (David Schmidtz, 2010).

Notes kali ini akan melihat bagaimana phenomena tersebut dikritik oleh banyak western scholars sendiri dari berbagai aspek seperti aspek ekonomi, politik, budaya, dan analisis psikologi. Adalah Erich From salah satunya yang mengkaji essential meaning dari masyarakat tersebut tentu dari aspek psikoanalisis-nya. Kemegahanan materialistik terjaga dalam masyarakat komersial bukan penjamin kebahagiaan manusia di masa yang akan datang. Jika identitas manusia dilekatkan pada apa yang dimiliki (I am what I have), pertanyaannya siapakah saya jika saya kehilangan apa yang saya miliki (what I am If I lose what I have), itulah pertanyaan terbesar Fromm. lebih jauh lagi, identitas komersial pada titik ektrim akan mengancam manusia untuk akan selalu berupaya tidak kehilangan apa yang dia miliki meskipun hal itu menyengsarakan orang lain.

Contoh-contoh kontemporar menunjukan secara jelas bagaimana perang terjadi karena urusan komersial bukan semata-mata penegakkan demokrasi, perlakukan terhadap revolusi di Timur Tengah pun tidak sama satu sama lain, ada yang cepat ditanggapi oleh barat ada yang lambat, tergantung dari nilai ekonomis dan politik yang dikandungnya, perdagangan internasional pun ternyata tidak selamanya melahirkan apa diklaim selama ini oleh masyarakat komersial yaitu kebebasan melakukan kontrak perdagangan (freedom of contract), pihak dunia ketiga selalu menjadi pihak yang inferioruntuk memutuskan kontrak perdagangan, dan jutaan masalah lainnya yang perlu mendapat perhatian serius kita semua.

Konklusi dari notes ini saya quote perkataan Marx bahwa Capital is death sedangkan life is life.

London, 19 Maret 201