Baru-baru ini terdapat polemik dari sebuah tulisan dengan judul “Benarkah Dosa Riba Lebih Berat dari Berzina”. Konteks tulisan tersebut adalah menyoroti beberapa hadith yang menurut penelusuran penulisnya "sanadnya lemah dan matannya mungkar”. Saya anggap tulisan tersebut sebagai pemaparan berbedaan pendapat para ulama dalam menganalisis sebuah hadith baik dari sisi periwayatan (sanad) maupun dari sisi konteks ataupun isi hadith tersebut. Kita serahkan diskusi tentang hal tersebut kepada ahlinya terutama yang mengkaji ilmu hadith supaya tidak menjadi debat kusir orang-orang yang tidak kompeten. Saya lebih tertarik mengomentari pernyataan dalam tulisan tersebut bahwa Grand Syekh al-Azhar mengatakan bahwa bunga bank tidak termasuk riba.
Saya mencoba menelusuri referensi dari pernyataan tersebut, sepanjang yang saya tahu dan baca [seandainya ada referensi tambahan mohon diinfo-kan], saya tidak menemukan pernyataan tegas bahwa Sayyid tantawi mengatakan semua jenis bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan. Menurut hemat saya, tanpa penjelasan yang detail, pernyataan tersebut dapat menimbulkan penafsiran bahwa Sayyid Tanthawi meng-halal-kan mekanisme bunga secara umum di lembaga perbankan konvensional [termasuk bunga di sisi liabilitas maupun di sisi asset].
Berikut beberapa pernyataan Sayyid tantawi terkait dengan mekanisme perbankan modern yang saya ketahui, dan yang paling terkenal adalah sebuah fatwa yang ditandatangi oleh Sayyid Tantawi di tahun 2002.
Pada tahun tersebut, Direktur Utama the International Arab Banking Corporation bernama Dr. Hassan Abbas Zaki melayangkan pertanyaan kepada Sayyid Tantawi sebagai Imam Besar Al-Azhar, sebagai berikut:
“Yang terhormat Dr. Muhammad Sayyid Tantawi, Assalamua’laikum Warrahmatullahi Wabarokaatuh. Nasabah the International Arab Banking Corporation menyimpan dana dan tabungannya di bank, kemudian dana tersebut diinvestasikan dalam akvitias bisnis yang diperbolehkan, dan mendapatkan keuntungan yang didistribusikan kepada nasabah berdasarkan nilai [keuntungan] yang telah disepakati di awal beserta periode pemberian keuntungan. Mohon saran terkait dengan status hukum dari transaksi tersebut. Direktur Utama, Dr. Hassan Abbas Zaki”.
Permohonan fatwa tersebut dilengkapi oleh lampiran contoh dokumen perjanjian antara nasabah dengan pihak bank dimana dijelaskan bahwa seorang nasabah memiliki saldo awal awalnya LE 100.000 dan kemudian di tahun berikutnya rekeningnya bertambah menjadi LE110.000 dengan tingkat keuntungan sebesar 10%.
Atas permohonan fatwa tersebut, kemudian Sayyid Tantawi mengirimkan surat tersebut kepada Dewan Fatwa Al-Azhar untuk didiskusikan oleh anggota dewan fatwa lainyya pada 31 October 2002. Atas dasar musyawarah, akhirnya difatwakan bahwa menginvestasikan dana di bank yang menetapkan tingkat keuntungan (tuhaddid al-ribh muqaddaman) adalah secara hukum Islam diperbolehkan. (Teks lengkap fatwa tersebut baik bahasa Arab dan Inggris bisa dilihat dalam sebuah analisis ilmiah termasuk pro dan kontra oleh Mahmoud A. El-Gamal, “Interest and the Paradox of Contemporary Islamic Law and Finance” 27 Fordham Int’l L.J. (2003), http://www.ruf.rice.edu/~elgamal/files/interest.pdf).
Ada beberapa point penting terkait dengan fatwa diatas. Pertama, fatwa tersebut sangat spesifik mengomentari sisi liabilities (funding) terutama nasabah yang menyimpan uangnya dibank dalam bentuk tabungan atau deposit dengan maksud investasi dengan keuntungan 10%. Ini bisa dilihat dari isi fatwa yang menyatakan bahwa kontrak antara nasabah dengan pihak bank itu dianalogikan sebagai kontrak keagenan (wakalah) dan hubungan antara depositor dengan bank adalah hubungan seperti halnya dalam kontrak mudharabah. Yang membedakan dalam fatwa ini adalah bahwa dalam kontrak-kontrak tersebut menetapkan keuntungan diawal (tuhaddid al-ribh muqaddaman) diperbolehkan dengan alasan bahwa pihak bank telah melakukan analisis sedemikian rupa untuk menetapkan imbal hasil dalam sebuah produk investasi yang mereka rancang. Kesimpulan fatwa ini berbeda dengan para penganjur keuangan Islam (melalui sanggahan resmi yang diterbitkan oleh Islamic Fiqh Academy tahun 2003), misalnya dalam kontrak mudharabah, yang boleh ditentukan diawal adalah nisbah (rasio bagi hasil) tetapi bukan persentasi profit secara nominal dari pokok atau modal yang diinvestasikan. Selain itu, fatwa tersebut menyamakan kontrak pinjam meminjam (qard) dengan kontrak investasi bagi hasil (mudharabah) [sanggahan tentang fatwa Al-Azhar dari pihak yang kontra dapat dilihat dari tulisan Mahmoud El-Gamal diatas). Kedua, fatwa tersebut tidak menyinggung bunga bank di sisi asset (kredit). Ketiga, fatwa tersebut tidak menyinggung bunga yang terkait dengan kredit konsumtif disisi asset. Walhasil, ada banyak aspek bank sebagai lembaga intermediasi yang tidak termasuk dalam analisis fatwa Al-Azhar tersebut.
Pun demikian, pada tahun 1989, Sayyid Tantawi berpendapat bahwa tingkat keuntungan (return on profit) pada beberapa obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah (sovereign bonds) tidak termasuk kategori riba yang diharamkan menurut Al-Qur'an. Dengan alasan bahwa profit tersebut adalah bentuk bagi hasil dari uang yang diinvestasikan oleh pemerintah (bisa dilihat di Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return (Kluwer Law International, 1998) 46). Meskiipun banyak kritik terhadap pendapat ini, tetapi konteks pendapat ini pun bukan tentang mekanisme bunga bank secara umum tetapi tentang obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Sebagaimana yang disarankan oleh Sayyid Tantawi sendiri bahwa "tidaklah mungkin membicarakan transaksi perbankan secara umum dengan satu kalimat bahwa transaksi perbankan halal atau haram. Setiap pernyataan harus dijawab secara terpisah..dengan implikasi hukum yang berbeda pula". (Chibli Mallat, "Tantawi on Banking Operations in Egypt" in Islamic Legal Interpretation: Muftis and Their Fatwas, Khalid Mas'ud et al (Harvard University Press, 1996), 286-296).
Tulisan sederhana ini sebagai pengingat bagi diri saya sendiri untuk berhati-hati dalam melakukan generalisasi dari sebuah kekhususan.
Wallahu ‘alam bishowab.
Sydney, 25 Juni 2018
YAF
The Blog of Yudi-AF
"Learning to Think and Write"
Translate
Sunday, June 24, 2018
Thursday, May 31, 2018
Pandangan Ekonomi Islam Dawam Rahardjo
Suatu ketika di tahun 2003, saya menghadiri temu ilmiah nasional yang diselenggarakan disebuah kampus di daerah Kaliurang, Yogyakarta dihadiri para mahasiswa pengkaji dan aktivis ekonomi Islam dari seluruh penjuru tanah air. Acara tersebut menghadiahi saya peta gerakan termasuk diskursus ekonomi Islam di kampus-kampus. Disana pula untuk pertama kalinya, saya mengenal nama-nama seperti Adiwarman A. Karim, dan Syafii Antonio sebagai dua pendekar Ekonomi Islam Indonesia, dan Prof. Mubyarto sebagai begawan ekonomi Pancasila. Gayung pun bersambut, setiba di Bali saya kemudian mengafiliasikan organisasi yang saya pimpin dengan forum silaturahim studi ekonomi Islam (Fossei). Beberapa tahun kemudian, dalam sebuah training yang dipandu oleh Adiwarman A. Karim di kota Mataram, saya dihadiahi sebuah buku yang ditulis oleh Bang Adi, sebutan untuk Adiwarman Karim. Melalui buku inilah, untuk kali pertama, saya mengenal yang namanya Dawam Rahardjo sebagai penulis “Kata Pengantar”dengan judul “Menegakkan Syariat Islam di bidang Ekonomi”.
Dengan kapasitas Dawan Rahardjo sebagai presiden IIIT Indonesia (International Institute of Islamic Thought) pada saat itu, tidak heran Bang Adi meminta beliau untuk memberikan kata pengantar. IIIT dikenal dengan proyek “Islamization of Knowledge” yang diinisiasi oleh mendiang Ismail Raji Alfaruqi seorang intelektual Muslim di negeri Paman Sam keturunan Palestina. Keterlibatan Dawam Rahardjo di IIIT tidak terlepas dari wacana pemikiran beliau terutama menghadirkan pesan moral Islam dalam bidang ekonomi dan manajemen. Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang dimotori oleh IIIT seolah-olah senafas dengan warna pemikiran beliau selama ini. Dari perkenalan singkat melalui “Kata Pengantar” tersebut, saya mulai tertarik dengan pemikiran Dawam Rahardjo, dan mulai terbius dengan karya-karya beliau lainnya.
Dawam Raharjo dengan tegas berpandangan bahwa ekonomi Islam jangan terjebak pada pengembangan sector keuangan an sich. Pendekatan legalistic dengan menitikberatkan pada pelabelan Syariah dengan berkaca (mirroring) dan meniru (mimicking) keuangan konvensional bukanlah tujuan hakiki ekonomi Islam. Pengembangan ekonomi dan keuangan Islam wajib dikaitkan dengan tujuan-tujuan keadilan sosial (social justice) dan kesempatan berekonomi (economic opportunities) terutama masyarakat miskin. Pola pemikiran tersebut jika dilihat dari 3 arus besar metode pengembangan ekonomi keuangan Islam (ideal, pragmatis, dan liberal), beliau cenderung satu aliran dengan penganjur model idealis seperti Ahmad Al-Najjar pendiri institusi keuangan Syariah pertama di Mit Ghamr, Mesir. Mit Ghamr hadir di kawasan pemukiman orang-orang miskin untuk membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan. Orang-orang miskin yang menjadi target market Mit Ghamr adalah mereka-mereka yang tidak terakses oleh bank komersial karena dianggap sebagai “non-bank-able person”. Mit Ghamr bukanlah mesin pencetak profit bagi manajemen bank dan para pemilik saham (shareholders), tetapi sebagai institusi intermediasi sosial yang menjadi fasilitator bagi si kaya untuk berjumpa dengan si miskin baik dalam relasi sosial maupun relasi komersial. Fokus utama Mit Ghamr adalah pemberdayaan masyarakat (society empowerement). Mehmet Asutay menamakan model bank ini sebagai (Islamic) Social Bank, sebagai model yang paling dekat dengan konsepsi “homo-Islamicus”-nya ekonomi Islam, dimana manusia direpresentasikan bukan sekadar makhluk ekonomis pengejar keuntungan pribadi semata (self-interest), tetapi merupakan perpaduan yang seimbang antara makhluk relijius, sosial, dan ekonomi.
Sang begawan ekonomi Islam berpandangan bahwa untuk menghindari penekanan yang berlebihan pada model "legalistic economics" terutama melalui mirroring dan mimicking tersebut, ekonomi Islam harus mensinergikan tiga komponen utama (triple helix) material ekonomi Islam yaitu normativisme, positivisme, dan historis sosiologis. Pendekatan pertama merupakan konsekuensi logis dari menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pengetahuan utama dari disiplin ekonomi Islam. Pesan moral Islam yang termaktub dalam dwitunggal sumber normatif Islam tersebut harus digali dan dijadikan sebagai inspirasi dalam mengembangkan kelembagaan ekonomi Islam. Pendekatan kedua tidak terlepas dari proses validasi aspek normatif dengan menggunakan metode-metode sains mutakhir seperti matematika, statistik maupun ekonometrik. Sedangkan metode ketiga adalah metode historis sosiologis yaitu merangkum tradisi praktik ekonomi di jaman Nabi, para sahabat, dan peradaban Islam setelahnya. Dari ketiga material tersebut (Islamic economics triple helix) yang masih menjadi "home work" besar adalah metod terakhir.
Sang Professor Ekonomi Islam ini pun paham bahwa yang berkembang saat ini adalah “Islamic Legal Economics”, sebuah pendekatan yang didominasi oleh pendekatan hukum ekonomi Islam. Hal ini tidak terlepas dari berkembangnya kajian-kajian para pemikir ulama seperti Abu Yusuf, Abu Ubaid, Ibn Taymiyah, Al-Ghazali, dan ulama-ulama setelahnya yang menghasilkan dua jenis ilmu sekaligus, yaitu fiqh muamalah dan moral dan etika ekonomi. Dimana yang berkembang adalah kajian ekonomi fikih yang menjadi fondasi ekonomi Syariah dewasa ini yang memfokuskan diri pada ekonomi keuangan dan perbankan yang mengandung nilai instrumental yang tinggi.
Pada hari Kamis, 30 Mei 2018 bertepatan dengan hari ke-15 Bulan Ramadhan, kita kehilangan salah satu figur generasi awal dalam pengembangan diskursus ekonomi Islam tanah air. Innalillahi wainna ilaihi roojiun. Semoga karya-karya almarhum Dawam Rahardjo senantiasa menghiasi pemikiran ekonomi Islam dan menjadi amal jari'ah dan ilmu yang manfaat yang pahalanya tidak terputus meskipun ajal menjemput.
Terima kasih dan selamat jalan Dawam Rahardjo.
Sydney, 1 June 2018
Yudi Ahmad Faisal
Dengan kapasitas Dawan Rahardjo sebagai presiden IIIT Indonesia (International Institute of Islamic Thought) pada saat itu, tidak heran Bang Adi meminta beliau untuk memberikan kata pengantar. IIIT dikenal dengan proyek “Islamization of Knowledge” yang diinisiasi oleh mendiang Ismail Raji Alfaruqi seorang intelektual Muslim di negeri Paman Sam keturunan Palestina. Keterlibatan Dawam Rahardjo di IIIT tidak terlepas dari wacana pemikiran beliau terutama menghadirkan pesan moral Islam dalam bidang ekonomi dan manajemen. Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang dimotori oleh IIIT seolah-olah senafas dengan warna pemikiran beliau selama ini. Dari perkenalan singkat melalui “Kata Pengantar” tersebut, saya mulai tertarik dengan pemikiran Dawam Rahardjo, dan mulai terbius dengan karya-karya beliau lainnya.
Dawam Raharjo dengan tegas berpandangan bahwa ekonomi Islam jangan terjebak pada pengembangan sector keuangan an sich. Pendekatan legalistic dengan menitikberatkan pada pelabelan Syariah dengan berkaca (mirroring) dan meniru (mimicking) keuangan konvensional bukanlah tujuan hakiki ekonomi Islam. Pengembangan ekonomi dan keuangan Islam wajib dikaitkan dengan tujuan-tujuan keadilan sosial (social justice) dan kesempatan berekonomi (economic opportunities) terutama masyarakat miskin. Pola pemikiran tersebut jika dilihat dari 3 arus besar metode pengembangan ekonomi keuangan Islam (ideal, pragmatis, dan liberal), beliau cenderung satu aliran dengan penganjur model idealis seperti Ahmad Al-Najjar pendiri institusi keuangan Syariah pertama di Mit Ghamr, Mesir. Mit Ghamr hadir di kawasan pemukiman orang-orang miskin untuk membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan. Orang-orang miskin yang menjadi target market Mit Ghamr adalah mereka-mereka yang tidak terakses oleh bank komersial karena dianggap sebagai “non-bank-able person”. Mit Ghamr bukanlah mesin pencetak profit bagi manajemen bank dan para pemilik saham (shareholders), tetapi sebagai institusi intermediasi sosial yang menjadi fasilitator bagi si kaya untuk berjumpa dengan si miskin baik dalam relasi sosial maupun relasi komersial. Fokus utama Mit Ghamr adalah pemberdayaan masyarakat (society empowerement). Mehmet Asutay menamakan model bank ini sebagai (Islamic) Social Bank, sebagai model yang paling dekat dengan konsepsi “homo-Islamicus”-nya ekonomi Islam, dimana manusia direpresentasikan bukan sekadar makhluk ekonomis pengejar keuntungan pribadi semata (self-interest), tetapi merupakan perpaduan yang seimbang antara makhluk relijius, sosial, dan ekonomi.
Sang begawan ekonomi Islam berpandangan bahwa untuk menghindari penekanan yang berlebihan pada model "legalistic economics" terutama melalui mirroring dan mimicking tersebut, ekonomi Islam harus mensinergikan tiga komponen utama (triple helix) material ekonomi Islam yaitu normativisme, positivisme, dan historis sosiologis. Pendekatan pertama merupakan konsekuensi logis dari menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pengetahuan utama dari disiplin ekonomi Islam. Pesan moral Islam yang termaktub dalam dwitunggal sumber normatif Islam tersebut harus digali dan dijadikan sebagai inspirasi dalam mengembangkan kelembagaan ekonomi Islam. Pendekatan kedua tidak terlepas dari proses validasi aspek normatif dengan menggunakan metode-metode sains mutakhir seperti matematika, statistik maupun ekonometrik. Sedangkan metode ketiga adalah metode historis sosiologis yaitu merangkum tradisi praktik ekonomi di jaman Nabi, para sahabat, dan peradaban Islam setelahnya. Dari ketiga material tersebut (Islamic economics triple helix) yang masih menjadi "home work" besar adalah metod terakhir.
Sang Professor Ekonomi Islam ini pun paham bahwa yang berkembang saat ini adalah “Islamic Legal Economics”, sebuah pendekatan yang didominasi oleh pendekatan hukum ekonomi Islam. Hal ini tidak terlepas dari berkembangnya kajian-kajian para pemikir ulama seperti Abu Yusuf, Abu Ubaid, Ibn Taymiyah, Al-Ghazali, dan ulama-ulama setelahnya yang menghasilkan dua jenis ilmu sekaligus, yaitu fiqh muamalah dan moral dan etika ekonomi. Dimana yang berkembang adalah kajian ekonomi fikih yang menjadi fondasi ekonomi Syariah dewasa ini yang memfokuskan diri pada ekonomi keuangan dan perbankan yang mengandung nilai instrumental yang tinggi.
Pada hari Kamis, 30 Mei 2018 bertepatan dengan hari ke-15 Bulan Ramadhan, kita kehilangan salah satu figur generasi awal dalam pengembangan diskursus ekonomi Islam tanah air. Innalillahi wainna ilaihi roojiun. Semoga karya-karya almarhum Dawam Rahardjo senantiasa menghiasi pemikiran ekonomi Islam dan menjadi amal jari'ah dan ilmu yang manfaat yang pahalanya tidak terputus meskipun ajal menjemput.
Terima kasih dan selamat jalan Dawam Rahardjo.
Sydney, 1 June 2018
Yudi Ahmad Faisal
Tuesday, March 20, 2018
Keuangan Syariah Jaman Now
Setelah krisis keuangan global (GFC) menghantam pusat-pusat keuangan dunia mulai dari London, New York, Tokyo, dan beberapa negara lainnya termasuk Indonesia dan berimplikasi sistemis terhadap perekonomian dunia secara umum, otoritas-otoritas keuangan mulai melirik sistem alternatif guna menambal kelemahan sistem dan regulasi keuangan dunia. Di akhir tahun 2008, The US Treasury Department di Amerika Serikat (setingkat Kementrian Keuangan) menyelenggarakan pelatihan keuangan Syariah untuk pertama kalinya diperuntukkan bagi staff di lingkungan pemerintahan negera Paman Sam tersebut. Beberapa bulan kemudian, sebuah surat kabar yang terbit di Vatican L’Osservatore Romano mengindikasikan bahwa keuangan konvensional harus belajar kepada keuangan Syariah terutama pasca krisis keuangan yang menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap “keampuhan” sistem keuangan konvensional dalam merespons gejolak resiko di pasar keuangan. Tahun 2009, Menteri keuangan Perancis, yang sekarang menjadi Direktur Eksekutif International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde, seolah-olah lupa dengan ideologi Laicite (sekularisme – ideologi pemisahan Agama dengan Negara) dan menyuarakan negaranya siap menjadi “The Capital of Islamic Finance” di dunia, sebuah klaim yang juga dilakukan oleh Negeri Ratu Elizabeth. Tahun 2006, sebuah asosiasi dunia derivatif dan swaps (ISDA) berbasis di New York yang membuat standard dokumentasi instrumen-instrumen keuangan yang dianggap toxic alias beracun karena dianggap menjadi salah satu biang dari krisis keuangan global mulai melirik keuangan Syariah dengan menjalin kerjasama dengan sebuah lembaga di Bahrain (IIFM) untuk mengembangkan standard instrument-instrumen derivatif yang sesuai dengan nilai-nilai Syariah. Beberapa peristiwa diatas hanya sebagian kecil dari berbagai peristiwa yang merefleksikan tumbuhnya perhatian dunia terhadap keuangan Syariah, dalam bahasa salah seorang staff IMF, keuangan Syariah adalah “too big to be ignored” alias terlalu besar untuk diabaikan.
Sebuah buku yang terbit di Edinburgh, Skotlandia menyarankan keuangan Syariah untuk memberikan suri teladan (uswatun hasanah) terhadap keuangan konvensional terutama dalam mengelola resiko keuangan jaman now. Sebuah harapan yang mudah-mudahan menjadi sebuah kenyataan. Saya pernah menulis sebuah catatan berjudul “Refleksi Kritis Terhadap Riset Ekonomi Keuangan Syariah: Iqbal, Nagaoka, dan Asutai”, salah satu point dalam tulisan saya tersebut adalah keynote speech-nya Professor Mehmet Asutai yang mengkritik industri keuangan Syariah modern yang cenderung “mimicry and mirroring” alias “ikut-ikutan” keuangan konvensional. Gejala ini berpotensi menghilangkan identitas alamiah keuangan Syariah yang sempat membuat takjub dunia keuangan seperti yang saya sampaikan di muqaddimah tulisan ini. Kritik tersebut bukan tanpa dasar analisis yang kuat, beberapa tahun sebelumnya, keuangan Syariah global pernah disapa badai isu ketidak-otentikan (non-Sharia compliance). Seorang ulama terkemuka di dunia keuangan Syariah bernama Mufti Taqi Usmani – pemimpin tertinggi dewan Syariah Accounting Auditing Organization of Islamic Financial Institutions (AAOIFI) yang berbasis di Bahrain mengatakan bahwa 80% obligasi syariah global (sukuk) tidak sesuai dengan Syariah. Pada tahun 2009, BBC mengeluarkan laporan dengan judul “How Sharia Compliant is Islamic Banking?” yang mengindikasikan adanya praktik jual beli fatwa (fatwa shopping) di industri keuangan Syariah untuk melegitimasi ke-Syariah-an sebuah produk yang akan dilaunching ke pasar. Praktik ini terjadi terutama dalam sebuah jurisdiksi dimana tidak ada standard Syariah yang diadopsi oleh industri keuangan dalam jurisdiksi tersebut, sehingga setiap bank mempunyai dewan Syariah sendiri yang juga berfungsi sebagai dewan fatwa yang mengeluarkan sertifikasi Syariah terhadap praktik keuangan institusi tersebut. Tahun ini, isu fatwa shopping kembali digaungkan melalui sebuah tulisan yang dipublikasikan di jurnal Arab Law Quarterly dengan judul “the Legal Implications of Fatwa Shopping in the Islamic Finance Industry: Problems, Perceptions, and Prospects”, sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang senior di kampus dimana saya sedang menyelesaikan studi di Australia.
Apa pelajaran dari semua peristiwa tersebut? Kembali ke tulisan awal saya dan kepada harapan bahwa keuangan Syariah harus memberikan suri teladan, ketertarikan dunia terhadap keuangan Syariah bukan disebabkan oleh kemampuan keuangan Syariah dalam memodifikasi keuangan konvensional dengan memberikan label Syariah semata, tetapi karena sifat alamiah keuangan Syariah terutama konsep bagi hasil dan bagi resiko sebagai proyek imajinasi keuangan modern yang lebih berkeadilan. Dalam rezim regulasi keuangan, dikenal istilah risk shifting and transfer, risk sharing, and risk taking. Dalam rezim yang pertama, resiko sebuah transaksi bisnis bisa di transfer maupun digeser ke pihak lain. Artinya ada pihak yang memprivatisasi keuntungan belaka dan menegasikan kondisi alamiah sebuah bisnis yaitu loss atau kerugian untuk ditransfer kepada pihak lain maupun kedalam lingkungan social yang lebih luas. Dalam dunia political economy ada sebuah adagium yang mengatakan “privatizing profits and socializing losses” (menurut pribahasa orang Sunda – hayang ngeunah sorangan, atau pingin enak sendiri, ketika untung diambil sendiri ketika rugi ditransfer atau digeser ke orang lain). Para penganjur keuangan Syariah di awal berdirinya mengatakan bahwa rezim transfer resiko bukan merupakan karakter alamiah keuangan Syariah. Rezim kedua dan ketiga merupakan karakter yang dianggap sebagai ciri khas keuangan Syariah, dimana para pelaku bisnis secara jantan siap menerima keuntungan maupun bertanggung jawab terhadap resiko yang muncul akibat dari proses mencari keuntungan tersebut. Lambat laun regulasi dunia diarahkan pada karakter khas ini. Saya ambil contoh ketika dunia derivatif konvensional yang kental dengan sistem transfer resiko (risk transfer), sedikit demi sedikit mengadopsi konsep ta’awun dan takaful atau bagi resiko. Pesan moral Shariah ini sangat kental sekali dalam konsep Central Counterparties (CCPs) yang digagas oleh negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-8 sebagai upaya untuk meregulasi over-the-counter derivatif yang dianggap sebagai biang kehancuran keuangan global satu dekade yang lalu.
Untuk menutup tulisan ini, saya teringat sebuah diskusi dengan seorang kawan, bahwa Keuangan Syariah “Jaman Now” harus percaya diri dengan sifat alamiah instrument-instrumen keuangan Syariah yang diderivasi dari kitab-kitab klasik fiqh muamalah maupun dengan melakukan ijtihad untuk menemukan mekanisme baru dalam merespons tantangan transaksi keuangan kontemporer dengan melakukan proses saintifikasi atau tes empiris terhadap mekanisme-mekanisme Syariah berdasarkan metodologi ilmiah terkini, dan menghindari proses duplikasi, mirroring, maupun mimicking keuangan konvensional yang hanya memberikan label secara lahiriyah tetapi substansinya tidak sesuai dengan nilai-nilai maupun pesan moral Syariah.
Wallohu ‘alam bishowab.
Sydney, Maret 2018
Yudi Ahmad Faisal
Sebuah buku yang terbit di Edinburgh, Skotlandia menyarankan keuangan Syariah untuk memberikan suri teladan (uswatun hasanah) terhadap keuangan konvensional terutama dalam mengelola resiko keuangan jaman now. Sebuah harapan yang mudah-mudahan menjadi sebuah kenyataan. Saya pernah menulis sebuah catatan berjudul “Refleksi Kritis Terhadap Riset Ekonomi Keuangan Syariah: Iqbal, Nagaoka, dan Asutai”, salah satu point dalam tulisan saya tersebut adalah keynote speech-nya Professor Mehmet Asutai yang mengkritik industri keuangan Syariah modern yang cenderung “mimicry and mirroring” alias “ikut-ikutan” keuangan konvensional. Gejala ini berpotensi menghilangkan identitas alamiah keuangan Syariah yang sempat membuat takjub dunia keuangan seperti yang saya sampaikan di muqaddimah tulisan ini. Kritik tersebut bukan tanpa dasar analisis yang kuat, beberapa tahun sebelumnya, keuangan Syariah global pernah disapa badai isu ketidak-otentikan (non-Sharia compliance). Seorang ulama terkemuka di dunia keuangan Syariah bernama Mufti Taqi Usmani – pemimpin tertinggi dewan Syariah Accounting Auditing Organization of Islamic Financial Institutions (AAOIFI) yang berbasis di Bahrain mengatakan bahwa 80% obligasi syariah global (sukuk) tidak sesuai dengan Syariah. Pada tahun 2009, BBC mengeluarkan laporan dengan judul “How Sharia Compliant is Islamic Banking?” yang mengindikasikan adanya praktik jual beli fatwa (fatwa shopping) di industri keuangan Syariah untuk melegitimasi ke-Syariah-an sebuah produk yang akan dilaunching ke pasar. Praktik ini terjadi terutama dalam sebuah jurisdiksi dimana tidak ada standard Syariah yang diadopsi oleh industri keuangan dalam jurisdiksi tersebut, sehingga setiap bank mempunyai dewan Syariah sendiri yang juga berfungsi sebagai dewan fatwa yang mengeluarkan sertifikasi Syariah terhadap praktik keuangan institusi tersebut. Tahun ini, isu fatwa shopping kembali digaungkan melalui sebuah tulisan yang dipublikasikan di jurnal Arab Law Quarterly dengan judul “the Legal Implications of Fatwa Shopping in the Islamic Finance Industry: Problems, Perceptions, and Prospects”, sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang senior di kampus dimana saya sedang menyelesaikan studi di Australia.
Apa pelajaran dari semua peristiwa tersebut? Kembali ke tulisan awal saya dan kepada harapan bahwa keuangan Syariah harus memberikan suri teladan, ketertarikan dunia terhadap keuangan Syariah bukan disebabkan oleh kemampuan keuangan Syariah dalam memodifikasi keuangan konvensional dengan memberikan label Syariah semata, tetapi karena sifat alamiah keuangan Syariah terutama konsep bagi hasil dan bagi resiko sebagai proyek imajinasi keuangan modern yang lebih berkeadilan. Dalam rezim regulasi keuangan, dikenal istilah risk shifting and transfer, risk sharing, and risk taking. Dalam rezim yang pertama, resiko sebuah transaksi bisnis bisa di transfer maupun digeser ke pihak lain. Artinya ada pihak yang memprivatisasi keuntungan belaka dan menegasikan kondisi alamiah sebuah bisnis yaitu loss atau kerugian untuk ditransfer kepada pihak lain maupun kedalam lingkungan social yang lebih luas. Dalam dunia political economy ada sebuah adagium yang mengatakan “privatizing profits and socializing losses” (menurut pribahasa orang Sunda – hayang ngeunah sorangan, atau pingin enak sendiri, ketika untung diambil sendiri ketika rugi ditransfer atau digeser ke orang lain). Para penganjur keuangan Syariah di awal berdirinya mengatakan bahwa rezim transfer resiko bukan merupakan karakter alamiah keuangan Syariah. Rezim kedua dan ketiga merupakan karakter yang dianggap sebagai ciri khas keuangan Syariah, dimana para pelaku bisnis secara jantan siap menerima keuntungan maupun bertanggung jawab terhadap resiko yang muncul akibat dari proses mencari keuntungan tersebut. Lambat laun regulasi dunia diarahkan pada karakter khas ini. Saya ambil contoh ketika dunia derivatif konvensional yang kental dengan sistem transfer resiko (risk transfer), sedikit demi sedikit mengadopsi konsep ta’awun dan takaful atau bagi resiko. Pesan moral Shariah ini sangat kental sekali dalam konsep Central Counterparties (CCPs) yang digagas oleh negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-8 sebagai upaya untuk meregulasi over-the-counter derivatif yang dianggap sebagai biang kehancuran keuangan global satu dekade yang lalu.
Untuk menutup tulisan ini, saya teringat sebuah diskusi dengan seorang kawan, bahwa Keuangan Syariah “Jaman Now” harus percaya diri dengan sifat alamiah instrument-instrumen keuangan Syariah yang diderivasi dari kitab-kitab klasik fiqh muamalah maupun dengan melakukan ijtihad untuk menemukan mekanisme baru dalam merespons tantangan transaksi keuangan kontemporer dengan melakukan proses saintifikasi atau tes empiris terhadap mekanisme-mekanisme Syariah berdasarkan metodologi ilmiah terkini, dan menghindari proses duplikasi, mirroring, maupun mimicking keuangan konvensional yang hanya memberikan label secara lahiriyah tetapi substansinya tidak sesuai dengan nilai-nilai maupun pesan moral Syariah.
Wallohu ‘alam bishowab.
Sydney, Maret 2018
Yudi Ahmad Faisal
Tuesday, August 1, 2017
Praktik Keuangan Ribawi dan Dana Haji
Praktik Keuangan Ribawi dan Dana Haji
Yudi Ahmad Faisal
Polemik dan keberatan penggunaan dana haji selain untuk membayar ongkos naik haji disebabkan oleh kurangnya literasi masyarakat terhadap sistem keuangan dan perbankan. Selama ini selama berpuluh-puluh tahun, sebagian besar dana setoran haji disimpan oleh Kemenag di bank-bank nasional. Kenapa disimpan di perbankan, karena tidak ada mekanisme penyimpanan uang dalam jumlah besar selain di perbankan. Bisa saja disimpan di pasar modal (direct finance), tetapi resikonya lebih tinggi dan tidak liquid (tidak bisa dicairkan kapan saja). Lebih-lebih akibat dari kebijakan kuota haji, maka setiap calon jamaah haji yang telah menyetor uang untuk dapat antrian haji harus menunggu 13 sampai 29 tahun untuk berangkat haji. Artinya sebelum uang tersebut dibayarkan kepada pihak-pihak operator penyelenggara haji seperti pesawat, penginapan, transportasi, dll, maka otomatis uang ini akan diendapkan terlebih dahulu di bank.
Kalau kita mau merujuk kepada Fatwa MUI tahun 2004 tentang pengharaman bunga bank konvensional, maka selama ini, dana haji yang disimpan di bank-bank nasional telah ikut serta menyuburkan praktik keuangan ribawi di tanah air. Undang-undang No 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji adalah bentuk proteksi atau perlindungan terhadap calon jamaah haji. UU ini “mengharamkan” penempatan dana milik umat pada instrumen konvensional. Artinya, semua dana haji harus disimpan dalam instrumen keuangan berbasis Syariah baik deposito di bank-bank Syariah ataupun sukuk (seringkali disebut sebagai obligasi Syariah). Selain itu, UU ini juga mengamanahkan berdirinya BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji), yang diharapkan dapat mengoptimalkan dana tunggu para calon jemaah haji yang telah dibayarkan. BPKH diberikan kewenangan untuk menempatkan dan menginvestasikan dana haji berdasarkan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan dan nilai manfaat. Eksekusi UU No.34/2014 oleh pemerintah Jokowi secara otomasi akan meningkatkan praktik keuangan Syariah di Indonesia. Dana haji yang selama ini “parkir" di perbankan konvensional, harus ditarik dan simpan di instrument-instrumen keuangan Syariah. Dengan demikian dapat dipastikan dalam beberapa tahun kedepan, pangsa pasar industri Syariah terutama asset perbankan Syariah dan kapitalisasi sukuk (obligasi syariah) akan meningkat secara signifikan.
Sydney, 2 Agustus 2017
Monday, July 31, 2017
Memimpikan Regulasi Dana Haji yang Pro Umat
Debat makin menghangat tentang rencana pemerintah menggunakan sebagian dana setoran haji sebagai salah satu sumber pendanaan proyek infrastruktur. Berbagai opini dan sikap mulai dari sinis, skeptik maupun optimis seolah-olah sedang "bertarung" berusaha mempengaruhi publik Indonesia termasuk saya sendiri.
Dalam teori regulasi, ada yang disebut dengan “captive theory” dimana regulasi dibuat untuk melindungi kepentingan segelintir orang (private interests) yang memiliki motif komersial dari regulasi tersebut. Lain lagi dengan “public interest theory”, dimana regulasi dibuat untuk melindungi kepentingan publik secara umum. Dan yang terakhir adalah “economic theory of regulation” atau sering juga disebut sebagai “Chicago theory of regulation” karena penggagasnya George J. Stigler kebetulan dari University of Chicago, yang membuat irisan antara teori pertama dan teori kedua dengan menyuguhkan analisis ekonomi, dimana tujuan utama sebuah regulasi adalah menghindari ekonomi dari kehancuran (market failures). Jika kestabilan ekonomi tercapai maka regulasi dianggap telah berhasil menyelamatkan dua kepentingan tersebut.
Regulasi Haji di Indonesia tidaklah seumur jagung, secara historis, regulasi dana haji pertama bisa dilihat dalam peraturan pelaksanaan haji Pemerintah Kolonial Belanda. Tahun 1960-an, Orde Lama dibawah pimpinan Sukarno mengeluarkan aturan pengelolaan dana haji harus dilakukan oleh Kementrian Agama. Secara de jure, otoritas pengelolaan dana haji oleh Kementrian Agama bertahan sampai dilantiknya Badan Pengelola Pelaksana Keuangan Haji (BPKH) oleh Presiden Jokowi tahun 2017 ini. Pergeseran dari regulasi ke regulasi dimulai dari Pemerintahan Kolonial Belanda, ORLA, ORBA, Orde Reformasi, Jaman SBY sampai dengan sekarang selalu menyimpan tanda tanya besar terkait dengan “transparansi” dan "akuntabilitas" pengelolaan dana haji, wabilkhusus disimpan dimana selama ini dana haji Indonesia, dan seandainya disimpan dalam bentuk deposito di perbankan konvensional, kemana dan untuk apa “bunga” deposito tersebut dialokasikan. Pertanyaan berikutnya berapa Bunga dari hasil simpanan dana haji ini, katanya antara 3-9% per tahun. Kata “antara”, bagaikan kata seksi bagi para pencari keuntungan (rent seekers) melalui manipulasi dari celah-celah kekurangan aturan yang ada. Apa pertimbangan pemberian bunga “antara” tersebut. Dari statement sederhana tersebut, tidaklah aneh kemudian New York Times (2010) melaporkan hasil investigasi jurnalisme mereka dimana terdapat “mata-mata” yang senantiasa mengikuti kemana dana haji akan disimpan dan digunakan.
Dana haji Indonesia adalah dana yang sangat “fantastis”, bagaikan gudang gula, diantara pemukiman semut yang sedang kelaparan. Menurut data Kemenag, masa tunggu terpanjang keberangkatan haji adalah 29 tahun dan yang terpendek adalah 11 tahun. Tahun ini, kuota haji sekitar 221.000 orang, dimana setiap calon jamaah harus menyetor 25 juta rupiah untuk dapat nomor antrian. Jika angka kuota dikalikan dengan minimal setoran awal tsb, maka total uang muka dana haji tahun 2017 sebesar 5.5 trilyun. Misal jika lama antrian kita asumsikan 10 tahun saja, dan dana 5.5 trilyun tersebut disimpan di deposito perbankan konvensional dengan suku bunga 5% per tahun, maka bunga dari uang muka calon jamaah haji yang daftar tahun 2017 adalah sebesar 2.75 trilyun dalam 10 tahun. Jika tahun 2018, 2019, dan seterusnya sampai 15 tahun kedepan dihitung, maka katanya setoran awal calon jamaah haji yang mengendap di Kementrian Agama bisa mencapai kurang lebih 83 trilyun.
Dana yang sangat besar tersebut tidaklah mungkin disimpan di “gudang-gudang” di dalam Kementrian Agama. Selama ini, sebagian besar dana haji disimpan di perbankan konvensional dan sebagian kecil di bank Syariah dengan imbalan bunga dan bagi hasil “antara” 3-9% per tahun. Menurut teori, bank adalah lembaga keuangan intermediasi yang menarik dana dari masyarakat (surplus units) dan disalurkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan pinjaman (deficit units). Dari teori tersebut, kita tahu bahwa sebenarnya setoran dana haji telah digunakan oleh bank-bank tersebut dalam bentuk pinjaman-pinjaman untuk dialokasikan ke berbagai pihak. Jadi sebelum polemik pemanfaatan dana haji untuk proyek infrastruktur muncul, selama ini dana haji telah menjadi “source of funding” alias sumber pendanaan berjuta-juta bisnis, penggunaan konsumtif, dll oleh berjuta-juta rakyat Indonesia. Dengan kata lain, selama ini dana haji adalah salah satu “engine of growth” alias mesin partumbuhan ekonomi Indonesia. Seandainya sebagian setoran dana haji digeser dari perbankan konvensional ke sukuk negara (obligasi Syariah) yang diterbitkan pemerintah untuk membiaya berbagai proyek, tetap tidak menghilangkan fungsinya sebagai salah satu mesin pendanaan aktivitas perekonomian Indonesia. Tetapi opsi kedua ini saya anggap mampu memberikan kepastian imbal hasil daripada disimpan di perbankan konvensional yang hasilnya “antara” 3-9% per tahun yang sangat rentan terhadap manipulasi dan korupsi diantara celah “antara” tersebut. Selain itu, penggunaan dana haji untuk proyek infrastruktur akan mengurangi ketergantungan terhadap investasi asing. Selama ini investor asing mendominasi kepemilikan obligasi pemerintah Indonesia (sovereign bond holders). Anggap saja, penggunaan dana haji yang sebagiannya untuk dana infrastruktur akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap hutang asing dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi Indonesia.
Hemat saya, manfaat dana haji bagi perekonomian Indonesia dan masyarakat tidak perlu dipertanyakan lagi, yang jadi pertanyaan besar adalah “apakah bunga dan imbal hasil dana haji tersebut digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan jamaah haji semata, ataukah di “captive” (dibajak) oleh kepentingan tertentu. Tentu kita boleh bertanya seperti ini, dengan pertimbangan bahwa dari tahun ke tahun fasilitas perjalanan haji jamaah Indonesia sepertinya "biasa-biasa" saja tidak ada perubahan berarti. Disinilah pentingnya pengelolaan haji yang manageable, tranparan, dan akuntabel. Undang undang No.34 tahun 2014 yang mengamanatkan pembentukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menjadi sangat penting perannya untuk mengembalikan manfaat penggunaan dana haji kembali kepada jamaah haji.
Diharapkan dengan adanya BPKH, dana haji bisa dikelola dengan aman, halal, dan menguntungkan baik bagi jamaah haji itu sendiri maupun untuk masyarakat secara umum. Dana haji yang dikelola secara professional bisa digunakan untuk membeli pemondokan haji bintang ‘enam’ baik di Mekah maupun di Madinah, membuat fasilitas hotel transit di Bandara, pesawat terbang khusus, ataupun sebuah institusi keuangan Syariah. Ini bukanlah sebuah otopia semata alias mimpi disiang bolong, tetapi sesuatu yang sangat realistis. Lihat misalnya pengelolaan dana haji di Malaysia. Tabung Haji adalah institusi keuangan yang secara khusus mengelola dana haji Malaysia sejak 1960-an, dan telah menghasilkan sesuatu yang masih dalam mimpi jamaah haji Indonesia seperti yang saya sebutkan diatas.
Tidak ada keraguan lagi bahwa tujuan penggunaan dana haji harus dikembalikan untuk kemaslahatan umat. Alangkah indahnya jika pengelolaan dana haji yang professional mampu mensubsidi dan mengurangi biaya haji, sehingga dengan biaya tersebut pergi haji bukan lagi barang mahal, tetapi terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Lebih jauh lagi, pengelolaan dana haji yang professional mampu melahirkan pelayanan (service) haji sekelas pelayanan bintang "enam". Inilah saya kira ketika regulasi digunakan untuk kepentingan publik. Tantangan selanjutnya, sejauh mana “BPKH” diberikan “power” and “authority” oleh UU dalam mengelola dana ini. Dan sejauh mana pula, “BPKH” mampu melindungi dirinya dari “mata-mata” yang senantiasa mengikuti kemana dana haji akan disimpan dan digunakan. Jadi menurut hemat saya, polemik dana haji bukan dalam pemanfaatannya termasuk untuk tujuan proyek infrastruktur pemerintah, tetapi kepada tata kelola (governance) institusi yang diberikan otoritas oleh Undang-Undang untuk mengelola dana haji. Pengelolaan yang shiddiq, amanah, fathonah, dan tablig merupakan impian kita. Sehingga regulasi yang diarahkan oleh dana haji ini selain mampu merefleksikan kepentingan dan kemaslahatan jamaah haji juga kepentingan ekonomi umat secara umum.
Wallohu a’lam bishowab.
Sydney, 31 July 2017
Yudi Ahmad Faisal
#islam #indonesia #islamiceconomics #eksyar
Dalam teori regulasi, ada yang disebut dengan “captive theory” dimana regulasi dibuat untuk melindungi kepentingan segelintir orang (private interests) yang memiliki motif komersial dari regulasi tersebut. Lain lagi dengan “public interest theory”, dimana regulasi dibuat untuk melindungi kepentingan publik secara umum. Dan yang terakhir adalah “economic theory of regulation” atau sering juga disebut sebagai “Chicago theory of regulation” karena penggagasnya George J. Stigler kebetulan dari University of Chicago, yang membuat irisan antara teori pertama dan teori kedua dengan menyuguhkan analisis ekonomi, dimana tujuan utama sebuah regulasi adalah menghindari ekonomi dari kehancuran (market failures). Jika kestabilan ekonomi tercapai maka regulasi dianggap telah berhasil menyelamatkan dua kepentingan tersebut.
Regulasi Haji di Indonesia tidaklah seumur jagung, secara historis, regulasi dana haji pertama bisa dilihat dalam peraturan pelaksanaan haji Pemerintah Kolonial Belanda. Tahun 1960-an, Orde Lama dibawah pimpinan Sukarno mengeluarkan aturan pengelolaan dana haji harus dilakukan oleh Kementrian Agama. Secara de jure, otoritas pengelolaan dana haji oleh Kementrian Agama bertahan sampai dilantiknya Badan Pengelola Pelaksana Keuangan Haji (BPKH) oleh Presiden Jokowi tahun 2017 ini. Pergeseran dari regulasi ke regulasi dimulai dari Pemerintahan Kolonial Belanda, ORLA, ORBA, Orde Reformasi, Jaman SBY sampai dengan sekarang selalu menyimpan tanda tanya besar terkait dengan “transparansi” dan "akuntabilitas" pengelolaan dana haji, wabilkhusus disimpan dimana selama ini dana haji Indonesia, dan seandainya disimpan dalam bentuk deposito di perbankan konvensional, kemana dan untuk apa “bunga” deposito tersebut dialokasikan. Pertanyaan berikutnya berapa Bunga dari hasil simpanan dana haji ini, katanya antara 3-9% per tahun. Kata “antara”, bagaikan kata seksi bagi para pencari keuntungan (rent seekers) melalui manipulasi dari celah-celah kekurangan aturan yang ada. Apa pertimbangan pemberian bunga “antara” tersebut. Dari statement sederhana tersebut, tidaklah aneh kemudian New York Times (2010) melaporkan hasil investigasi jurnalisme mereka dimana terdapat “mata-mata” yang senantiasa mengikuti kemana dana haji akan disimpan dan digunakan.
Dana haji Indonesia adalah dana yang sangat “fantastis”, bagaikan gudang gula, diantara pemukiman semut yang sedang kelaparan. Menurut data Kemenag, masa tunggu terpanjang keberangkatan haji adalah 29 tahun dan yang terpendek adalah 11 tahun. Tahun ini, kuota haji sekitar 221.000 orang, dimana setiap calon jamaah harus menyetor 25 juta rupiah untuk dapat nomor antrian. Jika angka kuota dikalikan dengan minimal setoran awal tsb, maka total uang muka dana haji tahun 2017 sebesar 5.5 trilyun. Misal jika lama antrian kita asumsikan 10 tahun saja, dan dana 5.5 trilyun tersebut disimpan di deposito perbankan konvensional dengan suku bunga 5% per tahun, maka bunga dari uang muka calon jamaah haji yang daftar tahun 2017 adalah sebesar 2.75 trilyun dalam 10 tahun. Jika tahun 2018, 2019, dan seterusnya sampai 15 tahun kedepan dihitung, maka katanya setoran awal calon jamaah haji yang mengendap di Kementrian Agama bisa mencapai kurang lebih 83 trilyun.
Dana yang sangat besar tersebut tidaklah mungkin disimpan di “gudang-gudang” di dalam Kementrian Agama. Selama ini, sebagian besar dana haji disimpan di perbankan konvensional dan sebagian kecil di bank Syariah dengan imbalan bunga dan bagi hasil “antara” 3-9% per tahun. Menurut teori, bank adalah lembaga keuangan intermediasi yang menarik dana dari masyarakat (surplus units) dan disalurkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan pinjaman (deficit units). Dari teori tersebut, kita tahu bahwa sebenarnya setoran dana haji telah digunakan oleh bank-bank tersebut dalam bentuk pinjaman-pinjaman untuk dialokasikan ke berbagai pihak. Jadi sebelum polemik pemanfaatan dana haji untuk proyek infrastruktur muncul, selama ini dana haji telah menjadi “source of funding” alias sumber pendanaan berjuta-juta bisnis, penggunaan konsumtif, dll oleh berjuta-juta rakyat Indonesia. Dengan kata lain, selama ini dana haji adalah salah satu “engine of growth” alias mesin partumbuhan ekonomi Indonesia. Seandainya sebagian setoran dana haji digeser dari perbankan konvensional ke sukuk negara (obligasi Syariah) yang diterbitkan pemerintah untuk membiaya berbagai proyek, tetap tidak menghilangkan fungsinya sebagai salah satu mesin pendanaan aktivitas perekonomian Indonesia. Tetapi opsi kedua ini saya anggap mampu memberikan kepastian imbal hasil daripada disimpan di perbankan konvensional yang hasilnya “antara” 3-9% per tahun yang sangat rentan terhadap manipulasi dan korupsi diantara celah “antara” tersebut. Selain itu, penggunaan dana haji untuk proyek infrastruktur akan mengurangi ketergantungan terhadap investasi asing. Selama ini investor asing mendominasi kepemilikan obligasi pemerintah Indonesia (sovereign bond holders). Anggap saja, penggunaan dana haji yang sebagiannya untuk dana infrastruktur akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap hutang asing dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi Indonesia.
Hemat saya, manfaat dana haji bagi perekonomian Indonesia dan masyarakat tidak perlu dipertanyakan lagi, yang jadi pertanyaan besar adalah “apakah bunga dan imbal hasil dana haji tersebut digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan jamaah haji semata, ataukah di “captive” (dibajak) oleh kepentingan tertentu. Tentu kita boleh bertanya seperti ini, dengan pertimbangan bahwa dari tahun ke tahun fasilitas perjalanan haji jamaah Indonesia sepertinya "biasa-biasa" saja tidak ada perubahan berarti. Disinilah pentingnya pengelolaan haji yang manageable, tranparan, dan akuntabel. Undang undang No.34 tahun 2014 yang mengamanatkan pembentukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menjadi sangat penting perannya untuk mengembalikan manfaat penggunaan dana haji kembali kepada jamaah haji.
Diharapkan dengan adanya BPKH, dana haji bisa dikelola dengan aman, halal, dan menguntungkan baik bagi jamaah haji itu sendiri maupun untuk masyarakat secara umum. Dana haji yang dikelola secara professional bisa digunakan untuk membeli pemondokan haji bintang ‘enam’ baik di Mekah maupun di Madinah, membuat fasilitas hotel transit di Bandara, pesawat terbang khusus, ataupun sebuah institusi keuangan Syariah. Ini bukanlah sebuah otopia semata alias mimpi disiang bolong, tetapi sesuatu yang sangat realistis. Lihat misalnya pengelolaan dana haji di Malaysia. Tabung Haji adalah institusi keuangan yang secara khusus mengelola dana haji Malaysia sejak 1960-an, dan telah menghasilkan sesuatu yang masih dalam mimpi jamaah haji Indonesia seperti yang saya sebutkan diatas.
Tidak ada keraguan lagi bahwa tujuan penggunaan dana haji harus dikembalikan untuk kemaslahatan umat. Alangkah indahnya jika pengelolaan dana haji yang professional mampu mensubsidi dan mengurangi biaya haji, sehingga dengan biaya tersebut pergi haji bukan lagi barang mahal, tetapi terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Lebih jauh lagi, pengelolaan dana haji yang professional mampu melahirkan pelayanan (service) haji sekelas pelayanan bintang "enam". Inilah saya kira ketika regulasi digunakan untuk kepentingan publik. Tantangan selanjutnya, sejauh mana “BPKH” diberikan “power” and “authority” oleh UU dalam mengelola dana ini. Dan sejauh mana pula, “BPKH” mampu melindungi dirinya dari “mata-mata” yang senantiasa mengikuti kemana dana haji akan disimpan dan digunakan. Jadi menurut hemat saya, polemik dana haji bukan dalam pemanfaatannya termasuk untuk tujuan proyek infrastruktur pemerintah, tetapi kepada tata kelola (governance) institusi yang diberikan otoritas oleh Undang-Undang untuk mengelola dana haji. Pengelolaan yang shiddiq, amanah, fathonah, dan tablig merupakan impian kita. Sehingga regulasi yang diarahkan oleh dana haji ini selain mampu merefleksikan kepentingan dan kemaslahatan jamaah haji juga kepentingan ekonomi umat secara umum.
Wallohu a’lam bishowab.
Sydney, 31 July 2017
Yudi Ahmad Faisal
#islam #indonesia #islamiceconomics #eksyar
Saturday, July 8, 2017
Pada Suatu Masa, Ketika Dunia Tanpa Bunga (Interest)
Pada Suatu Masa, Ketika Dunia tanpa Bunga (Interest)
[Disarikan dari Tulisan Alex Mayyasi]
Pada suatu masa, ketika dunia tanpa pasar keuangan dan asuransi, membebankan bunga (interest) ketika meminjamkan uang kepada teman atau saudara sama seperti halnya tindakan pemerasan (extorting). David Graeber dalam bukunya yang berjudul “Debt: The First 5000 Years (2011)”, pada masa tersebut, kehidupan ekonomi masyarakat seperti sebuah jaringan hutang bersama (a web of mutual debts). Dalam kondisi ini, masyarakat berbagi dan saling meminjamkan uang dilandasi oleh kepercayaan tanpa pernah dilandasi oleh kewajiban membayar bunga atas hutang pokok yang dipinjam. Pada masa ini, secara kultural, membebankan bunga (interest) atas pinjaman adalah perbuatan yang immoral.
Pada suatu masa, rentenir dianggap sebagai penjelmaan sifat-sifat setan, karena telah melakukan dosa bunga (the sin of usury). Pada masa ini, bunga, berapapun besarannya (kecil atau besar), tetap dianggap sebagai penjelmaan sifat keserakahan setan dalam transaksi ekonomi. Dalam terminologi injil, pinjaman dianggap “saudara kandung” sebuah amalan kebaikan, sehingga diistilahkan dalam terminologi Inggris sebagai “a charitable loan” untuk menolong tetangga, saudara, keluarga yang sedang dilanda kesulitan keuangan.
Pada suatu masa, pelarangan terhadap bunga (usury laws) adalah bentuk proteksi social (social protection) untuk mengurangi kesenjangan ekonomi (inequality) terutama antara para pemilik tanah, bangsawan, dan golongan kaya gereja. Hukum ini memudahkan kalangan yang secara ekonomi lemah dan masyarakat yang membutuhkan pertolongan mendapatkan hutang (debt) dengan murah, tanpa harus membayar bunga. Meskipun dalam kondisi tersebut selalu hadir, pihak-pihak yang menawarkan hutang dengan imbalan bunga tertentu, terutama rentenir (loan sharks) ataupun Yahudi-Yahudi kaya (wealthy Jews), mereka sadar bahwa perbuatan mereka adalah melanggar hukum dan dianggap sebagai penjelmaan setan dalam kehidupan berekonomi. Menurut Mayyasi, dalam tulisan yang saya sarikan ini, hukum pelarangan bunga (usury laws) merupakan salah satu hukum tertua didunia yang diwariskan dari kebudayaan dan peradaban kuno, seperti India, Mesopotamia, dan Yunani. Bahkan Aristoteles dalam bukunya “Politics” menggambarkan bunga dengan “kelahiran uang dari uang (the birth of money from money).
Begitulah pada suatu masa, ketika moralitas memutuskan untuk “menistakan” bunga.
Sydney, Juli 2017
Lihat juga bacaan menarik ttg hukum pelarangan bunga:
Edward L. Glaeser and José Scheinkman, "Neither A Borrower Nor A Lender Be: An Economic Analysis of Interest Restrictions and Usury Laws"(1998) The Journal of Law & Economics, Vol. 41, No. 1, pp. 1-36
http://www.jstor.org/stable/10.1086/467383…
[Disarikan dari Tulisan Alex Mayyasi]
Pada suatu masa, ketika dunia tanpa pasar keuangan dan asuransi, membebankan bunga (interest) ketika meminjamkan uang kepada teman atau saudara sama seperti halnya tindakan pemerasan (extorting). David Graeber dalam bukunya yang berjudul “Debt: The First 5000 Years (2011)”, pada masa tersebut, kehidupan ekonomi masyarakat seperti sebuah jaringan hutang bersama (a web of mutual debts). Dalam kondisi ini, masyarakat berbagi dan saling meminjamkan uang dilandasi oleh kepercayaan tanpa pernah dilandasi oleh kewajiban membayar bunga atas hutang pokok yang dipinjam. Pada masa ini, secara kultural, membebankan bunga (interest) atas pinjaman adalah perbuatan yang immoral.
Dalam salah satu cerita kebijaksanaan (wise stories) yang dikompilasikan oleh Kardinal Perancis bernama Jacques de Vitry pada awal tahun 1200, seorang rentenir yang sedang sekarat (a dying moneylender) menyumpah anak dan istrinya untuk mengikatkan satu pertiga dari kekayaannya [terutama emas] di lehernya dan menguburkannya dengan emas-emas tersebut. Keluarganya mengabulkan permintaan rentenir tersebut. Tetapi kemudian, keluarganya menggali kembali kuburannya dan memutuskan untuk memindahkan emas-emas tersebut untuk membebaskan rentenir tersebut dari “terror yang dilakukan oleh syetan [terhadap mayat tersebut] dengan memasukan koin-koin emas panas kedalam mulut sang rentenir”.
Pada suatu masa, rentenir dianggap sebagai penjelmaan sifat-sifat setan, karena telah melakukan dosa bunga (the sin of usury). Pada masa ini, bunga, berapapun besarannya (kecil atau besar), tetap dianggap sebagai penjelmaan sifat keserakahan setan dalam transaksi ekonomi. Dalam terminologi injil, pinjaman dianggap “saudara kandung” sebuah amalan kebaikan, sehingga diistilahkan dalam terminologi Inggris sebagai “a charitable loan” untuk menolong tetangga, saudara, keluarga yang sedang dilanda kesulitan keuangan.
Pada suatu masa, pelarangan terhadap bunga (usury laws) adalah bentuk proteksi social (social protection) untuk mengurangi kesenjangan ekonomi (inequality) terutama antara para pemilik tanah, bangsawan, dan golongan kaya gereja. Hukum ini memudahkan kalangan yang secara ekonomi lemah dan masyarakat yang membutuhkan pertolongan mendapatkan hutang (debt) dengan murah, tanpa harus membayar bunga. Meskipun dalam kondisi tersebut selalu hadir, pihak-pihak yang menawarkan hutang dengan imbalan bunga tertentu, terutama rentenir (loan sharks) ataupun Yahudi-Yahudi kaya (wealthy Jews), mereka sadar bahwa perbuatan mereka adalah melanggar hukum dan dianggap sebagai penjelmaan setan dalam kehidupan berekonomi. Menurut Mayyasi, dalam tulisan yang saya sarikan ini, hukum pelarangan bunga (usury laws) merupakan salah satu hukum tertua didunia yang diwariskan dari kebudayaan dan peradaban kuno, seperti India, Mesopotamia, dan Yunani. Bahkan Aristoteles dalam bukunya “Politics” menggambarkan bunga dengan “kelahiran uang dari uang (the birth of money from money).
Begitulah pada suatu masa, ketika moralitas memutuskan untuk “menistakan” bunga.
Sydney, Juli 2017
Yudi Ahmad Faisal
Lihat juga bacaan menarik ttg hukum pelarangan bunga:
Edward L. Glaeser and José Scheinkman, "Neither A Borrower Nor A Lender Be: An Economic Analysis of Interest Restrictions and Usury Laws"(1998) The Journal of Law & Economics, Vol. 41, No. 1, pp. 1-36
http://www.jstor.org/stable/10.1086/467383…
Monday, July 3, 2017
"Kapitalisme adalah Akar Terorisme"?
Dalam sebuah kesempatan, Paus Francis, Pemimpin tertinggi Kristern Katolik, menjawab pertanyaan seorang wartawan tentang terorisme, “terorisme tumbuh ketika tidak ada pilihan [bagi masyarakat], dan selama perekonomian dunia dipusatkan pada penghambaan terhadap uang (the god of money) bukan pada manusia [mencari solusi bagi permasalahan ekonomi manusia]”. Lebih lanjut Paus menjawab “inilah inti dari terorisme, atas semua [nilai-nilai] kemanusiaan”. Bagi Paus Francis, ketika manusia dalam kondisi lemah secara ekonomi, tanpa pekerjaan, dan kelaparan, maka sangat mudah bagi mereka untuk terjerumus kedalam kriminalitas termasuk perbuatan-perbuatan anarkis dan melawan hukum.
Pernyataan tersebut seolah-olah mengingatkan bahwa masalah terorisme merupakan cerminan dua permasahan inti dunia saat ini, yaitu keserakahan “the have” (mereka yang sedang dipuncak piramida kekayaan dunia) dan akibat dari keserakahan tersebut yaitu ketimpangan ekonomi (economic inequality) yang sangat ektrim. Kalau diturunkan ke dalam tingkat sebuah negara, dua kondisi tersebut melahirkan dua sikap "terorisme" sekaligus, pertama "kekerasan demi kekerasan", "eksploitasi demi eksploitasi", "pengkhianatan demi pengkhianatan", "korupsi demi korupsi" dilakukan oleh “the have” demi mengejar ambisi penguasaan sumber-sumber kekayaan, dan kedua penguasaan kekayaan negara secara membabi buta akan memaksa terjadinya ketimpangan ekonomi (economic inequality) yang sangat ekstrim terutama mereka yang tidak punya akses terhadap kue kekayaan tersebut. Kondisi ketimpangan ekonomi ini pula yang akan memaksa manusia yang lemah secara ekonomi terjerumus pada perilaku-perilaku teror. Thomas Piketty, penulis buku klasik sekaligus sebagai magnum opus-nya Capital in the Twenty First Century bahkan secara vulgar menyebutkan bahwa “inequality” (ketimpangan) ekonomi adalah faktor dibalik kemunculan phenomena terorisme global.
Terlepas berbagai perdebatan akar atau sebab musabah terorisme, saya kira patut dengan sangat untuk dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan negara kita terkait akar-akar terorisme dari perspektif ekonomi ini. Frey dan Luechinger (How to Fight Terrorism: Alternatives to Deterrence, 2003) mengatakan bahwa untuk mereduksi terorisme adalah dengan meningkatkan “opportunity cost” ditengah-tengah masyarakat. Opportunity cost ini adalah stimulan ekonomi yang memberikan alternatif ekonomi di tengah-tengah masyarakat seperti pekerjaan ataupun partisipasi ekonomi yang lebih luas. Bahkan Krieger dan Meirrieks (“Terrorism in the Worlds of Welfare Capitalism”, 2010) berpendapat bahwa akar terorisme di Eropa Barat berkurang dengan meningkatnya fasilitas publik seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Walhasil, jika kita menarik kesimpulan bahwa akar terorisme adalah ketimpangan ekonomi yang disebabkan oleh kapitalisme, maka pertanyaan bagi kita semua adalah bagaimana mewujudkan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" sehingga akar-akar perilaku teror bisa direduksi sedemian rupa. Tanpa keadilan sosial termasuk keadilan ekonomi di negeri kita, rasanya sulit untuk mengurangi akar-akar tindakan kriminalitas atau bahkan perilaku teror.
Saya mengingatkan diri sendiri akan sebuah pesan moral yang ditermaktub dalam penggalan ayat Qur'an Surat al-Hasyr [59]: 7, "supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja". Terlepas dari berbagai versi tafsiran ayat tersebut secara utuh, bagi saya rangkaian kalimat tersebut memberikan pesan moral tentang pentingnya distribusi kekayaan secara adil diantara sesama manusia. Biarlah pesan moral ini senantiasa menjadi visi bersama guna mencapai keadilan sosial dan ekonomi sebagaimana yang kita dicita-citakan bersama.
Sydney, 2 July 2017
Yudi Ahmad Faisal
Referensi:
https://www.wsj.com/articles/pope-francis-urges-poles-to-embrace-migrants-on-final-day-of-visit-1469963264
http://uk.reuters.com/article/uk-pope-islam-idUKKCN10B0Z1
https://www.commondreams.org/news/2016/08/02/pope-francis-capitalism-terrorism-against-all-humanity
http://www.independent.co.uk/news/world/middle-east/inequality-is-behind-the-rise-of-isis-says-author-thomas-piketty-a6754786.html
Pernyataan tersebut seolah-olah mengingatkan bahwa masalah terorisme merupakan cerminan dua permasahan inti dunia saat ini, yaitu keserakahan “the have” (mereka yang sedang dipuncak piramida kekayaan dunia) dan akibat dari keserakahan tersebut yaitu ketimpangan ekonomi (economic inequality) yang sangat ektrim. Kalau diturunkan ke dalam tingkat sebuah negara, dua kondisi tersebut melahirkan dua sikap "terorisme" sekaligus, pertama "kekerasan demi kekerasan", "eksploitasi demi eksploitasi", "pengkhianatan demi pengkhianatan", "korupsi demi korupsi" dilakukan oleh “the have” demi mengejar ambisi penguasaan sumber-sumber kekayaan, dan kedua penguasaan kekayaan negara secara membabi buta akan memaksa terjadinya ketimpangan ekonomi (economic inequality) yang sangat ekstrim terutama mereka yang tidak punya akses terhadap kue kekayaan tersebut. Kondisi ketimpangan ekonomi ini pula yang akan memaksa manusia yang lemah secara ekonomi terjerumus pada perilaku-perilaku teror. Thomas Piketty, penulis buku klasik sekaligus sebagai magnum opus-nya Capital in the Twenty First Century bahkan secara vulgar menyebutkan bahwa “inequality” (ketimpangan) ekonomi adalah faktor dibalik kemunculan phenomena terorisme global.
Terlepas berbagai perdebatan akar atau sebab musabah terorisme, saya kira patut dengan sangat untuk dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan negara kita terkait akar-akar terorisme dari perspektif ekonomi ini. Frey dan Luechinger (How to Fight Terrorism: Alternatives to Deterrence, 2003) mengatakan bahwa untuk mereduksi terorisme adalah dengan meningkatkan “opportunity cost” ditengah-tengah masyarakat. Opportunity cost ini adalah stimulan ekonomi yang memberikan alternatif ekonomi di tengah-tengah masyarakat seperti pekerjaan ataupun partisipasi ekonomi yang lebih luas. Bahkan Krieger dan Meirrieks (“Terrorism in the Worlds of Welfare Capitalism”, 2010) berpendapat bahwa akar terorisme di Eropa Barat berkurang dengan meningkatnya fasilitas publik seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Walhasil, jika kita menarik kesimpulan bahwa akar terorisme adalah ketimpangan ekonomi yang disebabkan oleh kapitalisme, maka pertanyaan bagi kita semua adalah bagaimana mewujudkan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" sehingga akar-akar perilaku teror bisa direduksi sedemian rupa. Tanpa keadilan sosial termasuk keadilan ekonomi di negeri kita, rasanya sulit untuk mengurangi akar-akar tindakan kriminalitas atau bahkan perilaku teror.
Saya mengingatkan diri sendiri akan sebuah pesan moral yang ditermaktub dalam penggalan ayat Qur'an Surat al-Hasyr [59]: 7, "supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja". Terlepas dari berbagai versi tafsiran ayat tersebut secara utuh, bagi saya rangkaian kalimat tersebut memberikan pesan moral tentang pentingnya distribusi kekayaan secara adil diantara sesama manusia. Biarlah pesan moral ini senantiasa menjadi visi bersama guna mencapai keadilan sosial dan ekonomi sebagaimana yang kita dicita-citakan bersama.
Sydney, 2 July 2017
Yudi Ahmad Faisal
Referensi:
https://www.wsj.com/articles/pope-francis-urges-poles-to-embrace-migrants-on-final-day-of-visit-1469963264
http://uk.reuters.com/article/uk-pope-islam-idUKKCN10B0Z1
https://www.commondreams.org/news/2016/08/02/pope-francis-capitalism-terrorism-against-all-humanity
http://www.independent.co.uk/news/world/middle-east/inequality-is-behind-the-rise-of-isis-says-author-thomas-piketty-a6754786.html
Subscribe to:
Posts (Atom)