Baginya ekonomi Syariah adalah kapitalisme yang diarabkan (arabized capitalism), artinya kapitalisme yang menggunakan label Arab. Argumentasinya bertumpu pada pengadopsian ekonomi Syariah terhadap struktur institusi keuangan modern yang lahir dari rahim kapitalisme contohnya bank, lebih lanjut dia mengatakan bahwa kontrak kontrak yang dipakai dalam keuangan Islam tidak ada hubungannya dengan Islam, kontrak tersebut adalah jenis kontrak yang dipakai secara luas dalam dunia perdagangan, bedanya kontrak-kontrak tersebut menggunakan terminologi bahasa Arab.
Argumentasi Ulil tetap bertumpu pada penghindaran formalisasi Syariat, Agama adalah wilayah privasi, sedangkan ekonomi adalah wilayah publik. Dan tidak semestinya wilayah privasi dicampur dengan wilayah publik, sebagaimana yang menjadi tema besar gerakan Islam Liberal. Hal ini dengan mudah dikenali ketika dia mengatakan “Bagi saya, ekonomi syariah "goes beyond symbols and Arabic labels". Ekonomi syariah adalah soal prinsip-prinsip dasar”. Terhadap pernyataan ekonomi Islam harus lebih essensial tersebut saya sependapat, artinya sesungguhnya Ulil mengakui adanya ekonomi yang berdasarkan perspektif Islam, yang dia kritik adalah penggunaan simbol-simbol arab serta institusi keuangan yang pakai dan kontrak-kontrak Syariah yang diintegrasikan kedalam keuangan Syariah.
Sebelumnya kita harus paham bahwa kritikan-kritikan semacam ulil harus diposisikan sebagai bagian dari pergulatan intelektual untuk mencari format terbaik dari sistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Bersikap “open-minded” justru akan mentransformasikan kritikan menjadi sebuah energi untuk memperbaiki dan menyempurkan sistem ekonomi Syariah yang sedang dibangun ini. Sebagai pendukung ekonomi Syariah, saya mengakui bahwa banyak hal yang harus dicarikan argumentasi rasional maupun Syariah disana sini, termasuk penggunaan institusi keuangan modern seperti bank, pasar uang (money market), pasar modal (capital market), penggunaan fractional reserve requirement dalam perbankan Syariah, interest rate sebagai benchmark dalam menentukan harga produk-produk keuangan Syariah, dan lain sebagainya.
Dalam diskusi ini saya tidak akan menggunakan analisis ekonomi dan keuangan, ataupun analisis tentang uang (money), bunga (interest), modal (capital) dan untung (profit) yang menjadi 4 konsep dasar paling penting dalam ekonomi kontemporer yang banyak diperdebatkan para econom. Tetapi saya akan menggunakan argumentasi konsep yang dikritik ulil terutama masalah kontrak-kontrak yang katanya diarabkan semata. Hal tersebut semata-mata untuk membuat diskusi ini menjadi “nyambung” alias interconnected each other.
Untuk memperdebatkan produk fiqh, hal pertama harus diperhatikan adalah bahwa fiqih secara esensi bersifat multi interpretasi. Sehingga diharapkan diskusi ini akan terbuka untuk mencari format terbaik produk-produk yang landasi oleh semangat nilai-nilai Islam. Menurut Ulil prinsip dasar Islam dalam pertukaran barang, diringkaskan dalam satu ayat di Surah An Nisa: 29 dan dua hadis:
"Ya ayyuhal ladzina amanu la ta'kulu amwalakum bainakum bil bathil illa an takuna tijaratan 'an taradlin minkum..." Artinya dalam bahasa Ulil, “Hai orang-orang beriman, janganlah kalian memakan (atau memiliki) harta-harta di antara kalian dengan cara yang culas, kecuali melalui "tijarah" (pertukaran barang) yang didasarkan pada asas saling suka sama suka (taradlin).
Nabi bersabda dalam hadis sahih (saya lupa perawinya): "Al mukminuna 'ala syuruthihim illa syarthan ahalla haraman aw harrama halalan." Artinya: Orang-orang beriman (tetapi ini juga berlaku untuk semua orang, baik beriman atau tidak) terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim, Nabi melarang jual-beli yang mengandung tipuan (ba'i al gharar).
Ulil mengatakan bahwa yang paling penting adalah esensi bukan label, saya sependapat dengan pernyataan tersebut dengan beberapa pertimbangan (dalam konteks diskusi ini tidak relevan pertimbangan tersebut dihadirkan).
Ulil mengatakan bahwa kontrak-kontrak yang menggunakan bahasa Arab tersebut yang berjumlah 18 adalah kontrak duniawi semata yang menggunakan istilah-istilah bahasa Arab. Saya sependapat itu adalah kontrak duniawi untuk kehidupan manusia di bumi, tetapi kontrak tersebut mempunyai makna/esensi yang dalam untuk mendukung perdagangan yang adil yang tidak culas, yang suka sama suka (b.arab: taradlin, b.inggris: mutual consent), untuk menghindari perdagangan yang mengandung penipuan (bay’al gharar).
Karena diskusi ini hanya seputar produk fiqh, maka diskusi ini hanya akan menghadirkan argumentasi seputar penggunaan produk fiqih tersebut dalam institusi keuangan Syariah.
Ulil mengatakan bahwa perdagangan haruslah didasarkan suka sama suka (taradlin), dan tidak mengandung penipuan yang dia istilahkan sebagai bay’ al gharar. Bagi saya penipuan berarti asymmetric information (artinya ada informasi yang ditutupi oleh salah satu dua orang yang bertransaksi sehingga jika salah satu pihak mengetahui informasi yang ditutupi tersebut akan menggugurkan asumsi suka sama suka) atau istilahnya tadlis. Sedangkan Bay al gharar saya mengistilahkan dengan jual beli yang mengandung ketidakpastian bagi kedua belah pihak (uncertainty for both parties), meskipun gharar juga bisa berarti penipuan (deceit). Ulama fiqih memberi contoh jual beli gharar ini terjadi dalam bentuk ketidakpastian bagi kedua belah pihak akan kualitas, kuantitas, harga, maupun waktu pengiriman barang yang diperjual belikan.
Untuk memberikan argumentasi mengapa kontrak-kontrak berbahasa arab tersebut begitu penting dalam menjaga supaya jual beli selalu mengandung kepastian, anti penipuan dan suka sama suka. Saya ambil salah satu contoh dari sekian banyak produk keuangan Syariah yaitu takaful. Penggunaan nama takaful lebih aman secara terminology daripada asuransi Syariah, karena ada sebagian pihak yang keberatan dengan nama asuransi Syariah yang katanya mengandung contradictio in terminis. Kenapa harus takaful yang berbahasa arab ini untuk menggantikan asuransi kovensional. Apa yang salah dengan asuransi konvensional, apakah asuransi konvensional mengandung unsur bay al gharar atau transaksi yang bisa menabrak nilai-nilai suka sama suka.
Seandainya Ulil mau sedikit belajar tentang apa sebenarnya asuransi konvensional, beliau akan mudah mengenali bahwa asuransi konvensional berdasarkan perspektif legal formal adalah kontrak pertukaran (contract of exchange) dimana produk yang diberdagangkan adalah “proteksi”, harga untuk proteksi tersebut adalah premi yang harus dibayar secara periodik oleh pembeli asuransi. Menurut Ulil, transaksi jual beli haruslah menghindari gharar alias penipuan ataupun dalam konteks asuransi ketidakpastian akan produk yang diperjualbelikan. Dari sekian banyak kelemahan asuransi secara legal formal, sekarang pertanyaan mudahnya, kalau memang itu adalah transaksi jual beli, kapan terjadi transfer kepemilikan (transfer of ownership) produk yang dibeli oleh pembeli premi. Apakah akan terjadi pemindahan kepemilikan, ataukah pemindahan kepemilikan produk proteksi itu terjadi jika ada kondisi lain yang datang (conditional). Dalam praktek asuransi konvensional, contohnya asuransi kecelakaan, pemindahan kepemilikan produk proteksi itu akan terjadi jika terjadi kecelakaan, jika tidak terjadi kecelakaan maka tidak akan terjadi pemindahanan kepemilikan.
Pertanyaaan kedua saya, kalau tidak terjadi pemindahan kepemilikan produk proteksi tersebut, kenapa itu disebut kontrak pertukaran. Apakah dalam transaksi tersebut mengandung ketidakpastian ataupun penipuan? Seandainya Ulil bisa menjawab pertanyaaan-pertanyaan tersebut saya bersedia untuk melanjutkan diskusi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut semata-mata untuk membuat diskusi ini apple to apple alias nyambung atau interconned each other.
Yang saya sampaikan diatas baru sebatas perspektif legal formal, belum berbicara implikasi ekonomi secara umum dari produk tersebut.Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau ada umur kita panjang, insyaallah kita akan sambung lagi untuk diskusi yang sangat bermanfaat ini.
Taman Harmonis,
YAF
Argumentasi Ulil tetap bertumpu pada penghindaran formalisasi Syariat, Agama adalah wilayah privasi, sedangkan ekonomi adalah wilayah publik. Dan tidak semestinya wilayah privasi dicampur dengan wilayah publik, sebagaimana yang menjadi tema besar gerakan Islam Liberal. Hal ini dengan mudah dikenali ketika dia mengatakan “Bagi saya, ekonomi syariah "goes beyond symbols and Arabic labels". Ekonomi syariah adalah soal prinsip-prinsip dasar”. Terhadap pernyataan ekonomi Islam harus lebih essensial tersebut saya sependapat, artinya sesungguhnya Ulil mengakui adanya ekonomi yang berdasarkan perspektif Islam, yang dia kritik adalah penggunaan simbol-simbol arab serta institusi keuangan yang pakai dan kontrak-kontrak Syariah yang diintegrasikan kedalam keuangan Syariah.
Sebelumnya kita harus paham bahwa kritikan-kritikan semacam ulil harus diposisikan sebagai bagian dari pergulatan intelektual untuk mencari format terbaik dari sistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Bersikap “open-minded” justru akan mentransformasikan kritikan menjadi sebuah energi untuk memperbaiki dan menyempurkan sistem ekonomi Syariah yang sedang dibangun ini. Sebagai pendukung ekonomi Syariah, saya mengakui bahwa banyak hal yang harus dicarikan argumentasi rasional maupun Syariah disana sini, termasuk penggunaan institusi keuangan modern seperti bank, pasar uang (money market), pasar modal (capital market), penggunaan fractional reserve requirement dalam perbankan Syariah, interest rate sebagai benchmark dalam menentukan harga produk-produk keuangan Syariah, dan lain sebagainya.
Dalam diskusi ini saya tidak akan menggunakan analisis ekonomi dan keuangan, ataupun analisis tentang uang (money), bunga (interest), modal (capital) dan untung (profit) yang menjadi 4 konsep dasar paling penting dalam ekonomi kontemporer yang banyak diperdebatkan para econom. Tetapi saya akan menggunakan argumentasi konsep yang dikritik ulil terutama masalah kontrak-kontrak yang katanya diarabkan semata. Hal tersebut semata-mata untuk membuat diskusi ini menjadi “nyambung” alias interconnected each other.
Untuk memperdebatkan produk fiqh, hal pertama harus diperhatikan adalah bahwa fiqih secara esensi bersifat multi interpretasi. Sehingga diharapkan diskusi ini akan terbuka untuk mencari format terbaik produk-produk yang landasi oleh semangat nilai-nilai Islam. Menurut Ulil prinsip dasar Islam dalam pertukaran barang, diringkaskan dalam satu ayat di Surah An Nisa: 29 dan dua hadis:
"Ya ayyuhal ladzina amanu la ta'kulu amwalakum bainakum bil bathil illa an takuna tijaratan 'an taradlin minkum..." Artinya dalam bahasa Ulil, “Hai orang-orang beriman, janganlah kalian memakan (atau memiliki) harta-harta di antara kalian dengan cara yang culas, kecuali melalui "tijarah" (pertukaran barang) yang didasarkan pada asas saling suka sama suka (taradlin).
Nabi bersabda dalam hadis sahih (saya lupa perawinya): "Al mukminuna 'ala syuruthihim illa syarthan ahalla haraman aw harrama halalan." Artinya: Orang-orang beriman (tetapi ini juga berlaku untuk semua orang, baik beriman atau tidak) terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim, Nabi melarang jual-beli yang mengandung tipuan (ba'i al gharar).
Ulil mengatakan bahwa yang paling penting adalah esensi bukan label, saya sependapat dengan pernyataan tersebut dengan beberapa pertimbangan (dalam konteks diskusi ini tidak relevan pertimbangan tersebut dihadirkan).
Ulil mengatakan bahwa kontrak-kontrak yang menggunakan bahasa Arab tersebut yang berjumlah 18 adalah kontrak duniawi semata yang menggunakan istilah-istilah bahasa Arab. Saya sependapat itu adalah kontrak duniawi untuk kehidupan manusia di bumi, tetapi kontrak tersebut mempunyai makna/esensi yang dalam untuk mendukung perdagangan yang adil yang tidak culas, yang suka sama suka (b.arab: taradlin, b.inggris: mutual consent), untuk menghindari perdagangan yang mengandung penipuan (bay’al gharar).
Karena diskusi ini hanya seputar produk fiqh, maka diskusi ini hanya akan menghadirkan argumentasi seputar penggunaan produk fiqih tersebut dalam institusi keuangan Syariah.
Ulil mengatakan bahwa perdagangan haruslah didasarkan suka sama suka (taradlin), dan tidak mengandung penipuan yang dia istilahkan sebagai bay’ al gharar. Bagi saya penipuan berarti asymmetric information (artinya ada informasi yang ditutupi oleh salah satu dua orang yang bertransaksi sehingga jika salah satu pihak mengetahui informasi yang ditutupi tersebut akan menggugurkan asumsi suka sama suka) atau istilahnya tadlis. Sedangkan Bay al gharar saya mengistilahkan dengan jual beli yang mengandung ketidakpastian bagi kedua belah pihak (uncertainty for both parties), meskipun gharar juga bisa berarti penipuan (deceit). Ulama fiqih memberi contoh jual beli gharar ini terjadi dalam bentuk ketidakpastian bagi kedua belah pihak akan kualitas, kuantitas, harga, maupun waktu pengiriman barang yang diperjual belikan.
Untuk memberikan argumentasi mengapa kontrak-kontrak berbahasa arab tersebut begitu penting dalam menjaga supaya jual beli selalu mengandung kepastian, anti penipuan dan suka sama suka. Saya ambil salah satu contoh dari sekian banyak produk keuangan Syariah yaitu takaful. Penggunaan nama takaful lebih aman secara terminology daripada asuransi Syariah, karena ada sebagian pihak yang keberatan dengan nama asuransi Syariah yang katanya mengandung contradictio in terminis. Kenapa harus takaful yang berbahasa arab ini untuk menggantikan asuransi kovensional. Apa yang salah dengan asuransi konvensional, apakah asuransi konvensional mengandung unsur bay al gharar atau transaksi yang bisa menabrak nilai-nilai suka sama suka.
Seandainya Ulil mau sedikit belajar tentang apa sebenarnya asuransi konvensional, beliau akan mudah mengenali bahwa asuransi konvensional berdasarkan perspektif legal formal adalah kontrak pertukaran (contract of exchange) dimana produk yang diberdagangkan adalah “proteksi”, harga untuk proteksi tersebut adalah premi yang harus dibayar secara periodik oleh pembeli asuransi. Menurut Ulil, transaksi jual beli haruslah menghindari gharar alias penipuan ataupun dalam konteks asuransi ketidakpastian akan produk yang diperjualbelikan. Dari sekian banyak kelemahan asuransi secara legal formal, sekarang pertanyaan mudahnya, kalau memang itu adalah transaksi jual beli, kapan terjadi transfer kepemilikan (transfer of ownership) produk yang dibeli oleh pembeli premi. Apakah akan terjadi pemindahan kepemilikan, ataukah pemindahan kepemilikan produk proteksi itu terjadi jika ada kondisi lain yang datang (conditional). Dalam praktek asuransi konvensional, contohnya asuransi kecelakaan, pemindahan kepemilikan produk proteksi itu akan terjadi jika terjadi kecelakaan, jika tidak terjadi kecelakaan maka tidak akan terjadi pemindahanan kepemilikan.
Pertanyaaan kedua saya, kalau tidak terjadi pemindahan kepemilikan produk proteksi tersebut, kenapa itu disebut kontrak pertukaran. Apakah dalam transaksi tersebut mengandung ketidakpastian ataupun penipuan? Seandainya Ulil bisa menjawab pertanyaaan-pertanyaan tersebut saya bersedia untuk melanjutkan diskusi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut semata-mata untuk membuat diskusi ini apple to apple alias nyambung atau interconned each other.
Yang saya sampaikan diatas baru sebatas perspektif legal formal, belum berbicara implikasi ekonomi secara umum dari produk tersebut.Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau ada umur kita panjang, insyaallah kita akan sambung lagi untuk diskusi yang sangat bermanfaat ini.
Taman Harmonis,
YAF
No comments:
Post a Comment