Pendahuluan
Perkembangan perbankan dan keuangan Islam telah menyebar keseluruh bagian dunia, tidak hanya negeri-negeri muslim, negeri-negeri barat pun tidak mau kalah dalam mengembangkan instrument keuangan Islam। Beragam motive baik orientasi material maupun orientasi spiritual dibalik upaya pengkajian dan pemasaran instrument keuangan Islam, namun perlu apresiasi yang mendalam karena kajian teoritis dan intelektual terhadap nilai-nilai Islam di bidang ekonomi telah membuka mata umat Islam akan pentingnya berijtihad dalam setiap kondisi dan waktu, kedinamisan nilai-nilai Islam inilah yang diharapkan bisa berfungsi sebagai way of life khususnya nilai-nilai Islam dalam setiap nafas kehidupan berekonomi.
Di dunia dewasa ini tidak kurang 1000 dari lembaga ekonomi dan keuangan yang mengintegrasikan konsep Shariah kedalam transaksi bisnis mereka. Dimulai dari perbankan, asuransi, unit trust, penggadaian, obligasi pemerintah, pasar modal, pasar uang, dan semua aktivitas ekonomi dan keuangan modern telah ada “label” Islam nya. Upaya dari para sarjana Islam ini dianggap telah berhasil memposisikan nilai-nilai Islam dalam perekonomian global, yang selama ini didominasi oleh barat.
Namun perkembangan ekonomi dan keuangan Islam pun tidak bebas dari kritik, masih banyak yang harus dibenahi baik dalam tataran praktis maupun dalam tataran konsep yang mendasari keberadaan ekonomi dan keuangan Islam. Kritik pun ada yang berusaha untuk mengangkat isu paling sensitif dan dominant dalam tararan konsep ekonomi dan keuangan Islam yaitu tentang definisi riba. Karena diindikasi bahwa praktek perbankan Islam kontemporer tidak jauh berbeda dengan saudara tuanya yaitu perbankan konvensional, semenjak kedua-duanya terlibat dalam bisnis perbankan yang mempunyai misi utama yaitu sebagai lembaga intermediasi[2].
Mempelajari perbankan Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah pemikiran tentang permasalahan riba, kemunculan ide pendirian perbankan yang dilandasi nilai-nilai Islam seiringan dengan perkembangan pemikiran tentang riba. Sehingga dengan menelusuri latar belakang sejarah mengenai riba dan kemunculan perbankan Islam akan mengantarkan kita kepada kepahaman apa itu Bank Islam.
Perdebatan tentang riba seakan tidak ada habisnya. Kontroversial permasalahan ini menjadi perdebatan intelektual yang sengit, para ulama berusaha merumuskan definisi riba yang dilarang oleh Al Quran baik secara tekstual maupun kontekstual, berusaha mengenali bentuk-bentuknya serta implikasi terhadap perekonomian secara umum. Untuk mengetahui perdebatan para ulama atau sarjana Islam ini terhadap riba, maka akan dibahas secara singkat mengenai proses kebangkitan Islam itu sendiri, proses kebangkitan pemikiran di dunia Islam khususnya. Pergumulan pemikiran di dunia Islam itu sendiri adalah kombinasi unik antara factor agama, politik dan ekonomi yang melebur kedalam sebuah system tersendiri[1].
Gerakan Revivalis
Ide utama pemikiran dari gerakan revivalis atau gerakan “tajdid” adalah proses pembaharuan untuk menghidupkan kembali semua struktur social, moral, dan agama kepada dasar aslinya yaitu al Quran dan Sunnah. Umat Islam pada awal kemunculan gerakan ini sedang mengalami masa kebekuan berpikir (jumud), sehingga abad pertengahan sebagaimana digambarkan oleh Rahman[2] adalah sebuah periode kemandegan intelektual yang cukup merata melanda seluruh dunia Islam. Uniknya penomena tersebut terjadi setelah kemunculan empat mazhab hukum Islam klasik[3], yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Hanbali dan Mazhab Syafi’i. Sehingga upaya-upaya kreatif ilmiah yang dinamis dan progressif seolah terhenti dan proses ijtihad seolah tidak terintegrasi kedalam budaya kreatif intelektual yang dinamis sekaligus progresif.
Selain kemandegan berpikir, zaman ini juga di-“rongrong” oleh factor eksternal yaitu penyerangan bangsa Mongol terhadap kekhalifahan Islam, seperti kekhalifahan Abassyiah pada abad ke XIII M.. Keadaan ini menimbulkan iklim politik anarkis dan menghancurkan struktur kehidupan social budaya masyarakat, menimbulkan disintegrasi dan kevakuman hukum[4].
Menghadapi gejala yang demikian rusak tersebut, telah mengundang para sarjana muslim revivalis[5] untuk melakukan pembaharuan, diantaranya al-Ghazali (w. 1111 M), dengan karya masterpiece nya “Ihya Ulumuddin” yang secara literal berarti menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama, seolah Ghazali ingin menjawab tantangan zaman yang telah rusak struktur agama, moral dan social. Diikuti oleh Ibn Taimiyah (w. 1328 M), Ahmad Sirhandi (e. 1624 M), Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1792 M)[6] dan Shah Waliyullah Dihlawi (w. 1762 M)[7].
Gerakan revivalis ini berusaha untuk melakukan transformasi dan merekonstruksi pemikiran agama, pembaharuan social dan pembenahan moral yang telah rusak dan mereka anggap telah keluar dari cahaya al Quran dan sunnah. Rahman[8] menggambarkan secara umum karakteristik khas dari intelektual muslim abad XIV M, yaitu ilmuan yang tidak progresif (lambat), serba mengulang-ngulang (apakah taklid yand dimaksudkan Rahman?), tidak orisinil, suka menonjolkan keilmuannya dan dangkal pemikirannya.
Sehingga upaya para revivers ini difokuskan kepada rekonstruksi terhadap pemahaman agama dan rekonstruksi individual dan social dengan pembenahan moral. Proses yang konstruktif diperlihatkan mereka dengan berusaha mengintegrasikan ijtihad ke dalam budaya intelektual sarjana muslim, upaya ijtihad ini cukup menonjol terutama ketika mereka melakukan intrerpretasi secara komprehesif tentang maksud shariah dan membuang image tentang tertutupnya pintu ijtihad.
Setelah periode gerakan revival, pemikiran mereka sangat menonjol dalam menghiasi pemikiran sarjana muslim setelahnya, sehingga gerakan ini berpengaruh terhadap beberapa gerakan berikutnya, diantaranya gerakan modernis (modernism) dan gerakan neo-revivalis (neo-revivalism).
Gerakan Modernis
Umumnya, gerakan ini muncul pada paruh kedua abad XIX M. Gerakan Modernis berusaha untuk melakukan penyegaran kembali ajaran Islam yang komperensif dan universal sehingga bisa menjadi solusi bagi umat dan memberikan sumbangsih nilai secara proaktif terhadap kondisi zaman. Proses yang kentara dari gerakan ini adalah optimalisasi fungsi ijtihad sebagai sarana untuk memperoleh ide yang relevan dengan kondisi zaman dari al Quran dan Sunnah, yaitu dengan melakukan proses interpretasi al Quran dan Sunnah secara kontekstual dengan mempertimbangkan faktor budaya dan setting social-historis.
Gerakan ini berusaha membangun metodologi (epistemology) dalam memahami makna atau esensi dari nilai-nilai al Quran dan Sunnah. Menurut Rahman[9], para modernis dalam memahami sebuah fenomena tertentu selalu memperhatikan situasi dan kondisi yang melatarbelakangi munculnya penomena tersebut, baik dari segi moral, agama maupun setting social historis dalam menjawab berbagai problematika kehidupan. Dengan pemikiran semacam itu, lahirlah berbagai teori dari gerakan modernis untuk memahami dan menafsirkan al Quran dan Sunnah secara kontekstual. Diantaranya Rahman mengintrodusir teori tentang cara memahami dan menafsirkan al Quran yaitu Double Movement Theory (teori gerakan ganda), Muhammad Shahrur dengan Limitation Theory (teori batas atau hudud) dan masih banyak sarjana muslim modern lainnya.
Untuk memahami pemikiran para modernis ini, salah satu caranya adalah dengan melihat lebih dalam Double Movement Theory nya Rahman, teori ini terdiri dari dua gerakan, pertama dari gerakan yang khusus (particular) ke umum (general). Artinya, sebelum seorang mufassir mengambil hukum, harus dipahami terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat, dengan meneliti alasan-alasan hukumnya baik yang secara eksplisit maupun implicit. Memperhatikan Kondisi setting social masyarakat Arab yang berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata social maupun kehidupan keberagamaan pada saat al Quran diturunkan. Kemudian dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh al Quran. Dengan demikian yang pertama ini ingin memastikan apa sebenarnya cita-cita moral dari setiap pernyataan hukum al Quran. Yang kedua adalah dari yang umum ke khusus, artinya pesan atau prinsip al Quran yang ditemukan lewat gerakan pertama kemudian diproyeksikan, diformulasikan dan diterjemahkan pada konteks kekinian untuk menjawab permasalahan kontemporer. Inilah upaya Rahman sebagai salah seorang modernis dengan metode berpikirnya yang mengkombinasikan deduksi dengan induksi secara timbal balik sebagai upaya untuk menyegarkan nilai-nilai al Quran sehinga dapat hidup sepanjang zaman.
Artinya gerakan modernis berupaya berijtihad dengan menemukan pesan-pesan moral al Quran, atau berusaha menafsirkan al Quran secara kontekstual. Nuansa substance over form atau context over text sangat kental dalam tradisi pemikiran gerakan modernis, dimana gerakan ini menghindari penafsiran al Quran secara literal/bahasa/tekstual tetapi lebih kepada esensi/substansi/konteks dari pesan moral al Quran. Sehingga cap “golongan rasionalis” sangat kuat sekali disandang para modernis ini, yang sebagian besar pernah mengenyam pendidikan barat ini.
Gerakan Neo-Revivalis
Gerakan ini mulai muncul pada awal abad XX M sebagai respon atas penomena yang mereka anggap sebagai sekularisasi[10] melanda dunia Islam. Proses sekularisasi telah merasuki dunia Islam, sehingga gerakan pembaruan kembali bergulir dengan semangat untuk mengembalikan Shariah (hukum Islam) kedalam posisi sentral dalam semua aktivitas kehidupan umat Islam.
Daftar Pustaka
Muzaffar, Chandra. Islamic Resurgence: A Global View. In Taufik Abdullah and Sharon SIddique (ed). Islam and Society in Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 1986. pp. 5-39.
Rahman, Fazhur. Islam and Modernity: Transformation of an intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press. 1982.
Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation. E.J. Brill Leiden – New York – Koln, 1996.
Aslam, Mohammad Haneef. Islamic Economics: Worldview, System and Features. Slide Econ 5111 IIUM Institute of Islamic Banking and Finance. Semester II 2006/2007.
[1] Saeed, Abdullah. 1996.
[2] Fazlur Rahman. Islam and Modernity
[3] Saeed, Abdullah. 1996. hlm.9
[4] Idem.
[5] Idem.
[6] Terkenal sebagai pelopor “Gerakan Wahhabi” di Arab.
[7] Bersama dengan Sayyid Ahmad dari Rae Bareli di India.
[8] Rahman. Islam and Modernity
[9] Fazlur Rahman. Islam and Modernity.
[10] Sekularisme berasal dari bahasa latin dari kata saeculum mengkonotasikan ruang dan waktu artinya disini dan sekarang. Aktivitas Sekular berarti aktivitas sekarang dan pada saat ini yang mengindikasikan aktivitas kehidupan di dunia. Sedangkan sekularisme berarti sebuah ideology bahwa hanya dunia ini yang relevan dan nyata, sehingga kehidupan setelah dunia ini (akhirat) dianggap tidak relevan. Ideology ini berusaha secara gradual menghapuskan peran agama dalam kehidupan dunia. Seperti terjadi pada peradaban barat di era pencerahan (Cox, 1965). Sedangkan menurut Muzaffar (1986) sekularisasi menekankan pada paham liberalisasi, kebebasan bertindak dan menonjolkan kepentingan individu, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dimana paham ini telah masuk kedalam ide-ide politik, organisasi ekonomi, system pendidikan, dan teknologinya yang telah mempengaruhi Islam dalam bentuk ritual dan aturan-aturan tingkah laku tiap orang.
[1] Oleh: Yudi Ahmad Faisal, SE.,Pg.Dipl.IBF
Refer to Dr. Asyraf Layout “History and Development of Islamic Banking and Finance” in defining the outline of this writing
[2] Lembaga Intermediasi adalah menyalurkan uang dari surplus unit (pihak yang kelebihan uang) ke deficit unit (pihak yang kekurangan uang).
Ide utama pemikiran dari gerakan revivalis atau gerakan “tajdid” adalah proses pembaharuan untuk menghidupkan kembali semua struktur social, moral, dan agama kepada dasar aslinya yaitu al Quran dan Sunnah. Umat Islam pada awal kemunculan gerakan ini sedang mengalami masa kebekuan berpikir (jumud), sehingga abad pertengahan sebagaimana digambarkan oleh Rahman[2] adalah sebuah periode kemandegan intelektual yang cukup merata melanda seluruh dunia Islam. Uniknya penomena tersebut terjadi setelah kemunculan empat mazhab hukum Islam klasik[3], yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Hanbali dan Mazhab Syafi’i. Sehingga upaya-upaya kreatif ilmiah yang dinamis dan progressif seolah terhenti dan proses ijtihad seolah tidak terintegrasi kedalam budaya kreatif intelektual yang dinamis sekaligus progresif.
Selain kemandegan berpikir, zaman ini juga di-“rongrong” oleh factor eksternal yaitu penyerangan bangsa Mongol terhadap kekhalifahan Islam, seperti kekhalifahan Abassyiah pada abad ke XIII M.. Keadaan ini menimbulkan iklim politik anarkis dan menghancurkan struktur kehidupan social budaya masyarakat, menimbulkan disintegrasi dan kevakuman hukum[4].
Menghadapi gejala yang demikian rusak tersebut, telah mengundang para sarjana muslim revivalis[5] untuk melakukan pembaharuan, diantaranya al-Ghazali (w. 1111 M), dengan karya masterpiece nya “Ihya Ulumuddin” yang secara literal berarti menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama, seolah Ghazali ingin menjawab tantangan zaman yang telah rusak struktur agama, moral dan social. Diikuti oleh Ibn Taimiyah (w. 1328 M), Ahmad Sirhandi (e. 1624 M), Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1792 M)[6] dan Shah Waliyullah Dihlawi (w. 1762 M)[7].
Gerakan revivalis ini berusaha untuk melakukan transformasi dan merekonstruksi pemikiran agama, pembaharuan social dan pembenahan moral yang telah rusak dan mereka anggap telah keluar dari cahaya al Quran dan sunnah. Rahman[8] menggambarkan secara umum karakteristik khas dari intelektual muslim abad XIV M, yaitu ilmuan yang tidak progresif (lambat), serba mengulang-ngulang (apakah taklid yand dimaksudkan Rahman?), tidak orisinil, suka menonjolkan keilmuannya dan dangkal pemikirannya.
Sehingga upaya para revivers ini difokuskan kepada rekonstruksi terhadap pemahaman agama dan rekonstruksi individual dan social dengan pembenahan moral. Proses yang konstruktif diperlihatkan mereka dengan berusaha mengintegrasikan ijtihad ke dalam budaya intelektual sarjana muslim, upaya ijtihad ini cukup menonjol terutama ketika mereka melakukan intrerpretasi secara komprehesif tentang maksud shariah dan membuang image tentang tertutupnya pintu ijtihad.
Setelah periode gerakan revival, pemikiran mereka sangat menonjol dalam menghiasi pemikiran sarjana muslim setelahnya, sehingga gerakan ini berpengaruh terhadap beberapa gerakan berikutnya, diantaranya gerakan modernis (modernism) dan gerakan neo-revivalis (neo-revivalism).
Gerakan Modernis
Umumnya, gerakan ini muncul pada paruh kedua abad XIX M. Gerakan Modernis berusaha untuk melakukan penyegaran kembali ajaran Islam yang komperensif dan universal sehingga bisa menjadi solusi bagi umat dan memberikan sumbangsih nilai secara proaktif terhadap kondisi zaman. Proses yang kentara dari gerakan ini adalah optimalisasi fungsi ijtihad sebagai sarana untuk memperoleh ide yang relevan dengan kondisi zaman dari al Quran dan Sunnah, yaitu dengan melakukan proses interpretasi al Quran dan Sunnah secara kontekstual dengan mempertimbangkan faktor budaya dan setting social-historis.
Gerakan ini berusaha membangun metodologi (epistemology) dalam memahami makna atau esensi dari nilai-nilai al Quran dan Sunnah. Menurut Rahman[9], para modernis dalam memahami sebuah fenomena tertentu selalu memperhatikan situasi dan kondisi yang melatarbelakangi munculnya penomena tersebut, baik dari segi moral, agama maupun setting social historis dalam menjawab berbagai problematika kehidupan. Dengan pemikiran semacam itu, lahirlah berbagai teori dari gerakan modernis untuk memahami dan menafsirkan al Quran dan Sunnah secara kontekstual. Diantaranya Rahman mengintrodusir teori tentang cara memahami dan menafsirkan al Quran yaitu Double Movement Theory (teori gerakan ganda), Muhammad Shahrur dengan Limitation Theory (teori batas atau hudud) dan masih banyak sarjana muslim modern lainnya.
Untuk memahami pemikiran para modernis ini, salah satu caranya adalah dengan melihat lebih dalam Double Movement Theory nya Rahman, teori ini terdiri dari dua gerakan, pertama dari gerakan yang khusus (particular) ke umum (general). Artinya, sebelum seorang mufassir mengambil hukum, harus dipahami terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat, dengan meneliti alasan-alasan hukumnya baik yang secara eksplisit maupun implicit. Memperhatikan Kondisi setting social masyarakat Arab yang berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata social maupun kehidupan keberagamaan pada saat al Quran diturunkan. Kemudian dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh al Quran. Dengan demikian yang pertama ini ingin memastikan apa sebenarnya cita-cita moral dari setiap pernyataan hukum al Quran. Yang kedua adalah dari yang umum ke khusus, artinya pesan atau prinsip al Quran yang ditemukan lewat gerakan pertama kemudian diproyeksikan, diformulasikan dan diterjemahkan pada konteks kekinian untuk menjawab permasalahan kontemporer. Inilah upaya Rahman sebagai salah seorang modernis dengan metode berpikirnya yang mengkombinasikan deduksi dengan induksi secara timbal balik sebagai upaya untuk menyegarkan nilai-nilai al Quran sehinga dapat hidup sepanjang zaman.
Artinya gerakan modernis berupaya berijtihad dengan menemukan pesan-pesan moral al Quran, atau berusaha menafsirkan al Quran secara kontekstual. Nuansa substance over form atau context over text sangat kental dalam tradisi pemikiran gerakan modernis, dimana gerakan ini menghindari penafsiran al Quran secara literal/bahasa/tekstual tetapi lebih kepada esensi/substansi/konteks dari pesan moral al Quran. Sehingga cap “golongan rasionalis” sangat kuat sekali disandang para modernis ini, yang sebagian besar pernah mengenyam pendidikan barat ini.
Gerakan Neo-Revivalis
Gerakan ini mulai muncul pada awal abad XX M sebagai respon atas penomena yang mereka anggap sebagai sekularisasi[10] melanda dunia Islam. Proses sekularisasi telah merasuki dunia Islam, sehingga gerakan pembaruan kembali bergulir dengan semangat untuk mengembalikan Shariah (hukum Islam) kedalam posisi sentral dalam semua aktivitas kehidupan umat Islam.
Daftar Pustaka
Muzaffar, Chandra. Islamic Resurgence: A Global View. In Taufik Abdullah and Sharon SIddique (ed). Islam and Society in Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 1986. pp. 5-39.
Rahman, Fazhur. Islam and Modernity: Transformation of an intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press. 1982.
Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation. E.J. Brill Leiden – New York – Koln, 1996.
Aslam, Mohammad Haneef. Islamic Economics: Worldview, System and Features. Slide Econ 5111 IIUM Institute of Islamic Banking and Finance. Semester II 2006/2007.
[1] Saeed, Abdullah. 1996.
[2] Fazlur Rahman. Islam and Modernity
[3] Saeed, Abdullah. 1996. hlm.9
[4] Idem.
[5] Idem.
[6] Terkenal sebagai pelopor “Gerakan Wahhabi” di Arab.
[7] Bersama dengan Sayyid Ahmad dari Rae Bareli di India.
[8] Rahman. Islam and Modernity
[9] Fazlur Rahman. Islam and Modernity.
[10] Sekularisme berasal dari bahasa latin dari kata saeculum mengkonotasikan ruang dan waktu artinya disini dan sekarang. Aktivitas Sekular berarti aktivitas sekarang dan pada saat ini yang mengindikasikan aktivitas kehidupan di dunia. Sedangkan sekularisme berarti sebuah ideology bahwa hanya dunia ini yang relevan dan nyata, sehingga kehidupan setelah dunia ini (akhirat) dianggap tidak relevan. Ideology ini berusaha secara gradual menghapuskan peran agama dalam kehidupan dunia. Seperti terjadi pada peradaban barat di era pencerahan (Cox, 1965). Sedangkan menurut Muzaffar (1986) sekularisasi menekankan pada paham liberalisasi, kebebasan bertindak dan menonjolkan kepentingan individu, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dimana paham ini telah masuk kedalam ide-ide politik, organisasi ekonomi, system pendidikan, dan teknologinya yang telah mempengaruhi Islam dalam bentuk ritual dan aturan-aturan tingkah laku tiap orang.
[1] Oleh: Yudi Ahmad Faisal, SE.,Pg.Dipl.IBF
Refer to Dr. Asyraf Layout “History and Development of Islamic Banking and Finance” in defining the outline of this writing
[2] Lembaga Intermediasi adalah menyalurkan uang dari surplus unit (pihak yang kelebihan uang) ke deficit unit (pihak yang kekurangan uang).
No comments:
Post a Comment