MEMBANGUN INFRASTRUKTUR
Oleh: Yudi Ahmad Faisal[1].
Bandung sebagai salah satu kota favorit di Indonesia mempunyai banyak potensi ekonomi, sektor perekonomian utama di Bandung antara lain pariwisata, manufaktur, tekstil dan handmade fashion, lembaga pendidikan, teknologi, retail, jasa, keuangan, industri obat-obatan, dan makanan[2]. Pengembangan ekonomi ibu kota Jawa Barat ini diharapkan menjadi trigger pengembangan kota/kabupaten lainnya di Jawa Barat sehingga secara strategis mampu mendukung visi masyarakat Jawa Barat sebagai provinsi termaju di Indonesia dan mitra terdepan ibu kota negara.
Tantangan kedepan yang dihadapi
Aktualisasi dua karakter diatas secara konsisten, yaitu tangible dan intangible characteristics merupakan dua point strategis untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, pro masyarakat dan probisnis, yang mampu menstimulasi aktivitas bisnis untuk tumbuh dan berkembang, sehingga Bandung bisa menjelma menjadi sebuah zona nyaman (comfort zone). Hermawan Kartajaya[4] menformulasikan tiga langkah untuk mewujudkan zona nyaman, yang diformulasikan dalam three steps formula of marketing places. Pertama, menjadi tuan rumah yang baik (becoming a good host) yang terwujud melalui pemerintah
Namun upaya untuk membangun infrastruktur yang canggih dan bagus membutuhkan dana yang besar yang mustahil mengandalkan APBD (Angggaran Pendapatan Belanja Daerah) Jawa Barat an sich. Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta dalam diskusi “Membedah Masalah Infrastruktur di Indonesia” menyatakan bahwa proyek infrastruktur nasional 2005 – 2009 mencapai Rp.600 triliun, tetapi akibat keterbatasan anggaran pemerintah, kebutuhan dana infrastruktur tersebut tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh pemerintah. Perbandingan kontribusi anggaran pemerintah dengan pihak nonpemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) berkisar antara 20% berbanding 80%. Paskah menjelaskan sebagian sektor infrastruktur seperti telekomunikasi, jalan tol, dermaga, pelabuhan, dan bandara sudah menjadi komoditas komersial. Lain lagi menurut Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Bambang Susantono memperkirakan kebutuhan investasi infrastruktur yang bisa dipenuhi APBN hanya sebesar 38% atau Rp 225 triliun. Karena itu, diharapkan sekitar 62% atau Rp. 360 triliun bisa disumbangkan sektor non pemerintah[5] yang berdasarkan pengalaman berani untuk berinvestasi jika ada jaminan dari pemerintah.
Kondisi diatas sebenarnya telah dianalisis oleh seorang Professor di Harvard Business School. Menurut Benjamin C. Esty[6], tantangan terbesar kedepan dari sisi ekonomi yang dihadapi oleh negara muslim atau negara dengan populasi muslim terbesar adalah mendanai pembangunan infrastruktur. Pendapat ini tidak bisa disangkal kebenarannya, karena yang menjadi masalah negara-negara berkembang yang didominasi oleh negara muslim adalah masalah pengembangan infrastruktur, baik sektor komersial, seperti jalan tol, pusat bisnis dan pariwisata atau sektor pelayanan publik seperti rumah sakit, sarana dan prasana pendidikan dan fasilitas air bersih, dan lain-lain. Perusahaan keuangan lokal dan pemerintah daerah tidak akan mampu untuk mendanai semua proyek pembangunan infrastruktur, mereka membutuhkan mitra baik yang berskala nasional maupun global untuk menginjeksi dana guna merealisasikan proyek pembangunan infrastruktur.
Berdasarkan fakta tersebut, sukuk dapat dikembangkan menjadi alternatif pembiayaan sektor infrastruktur. Karakteristik keuangan syariah yang mensyaratkan adanya underlying asset transakti riil untuk setiap transaksii keuangan, sesuai dengan trend bahwa investor membutuhkan jaminan. Underlying asset merupakan salah satu jaminan sertifikat sukuk yang dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, menggunakan intrumen investasi berbasis syariah merupakan kebijakan strategis guna mendukung pembangunan sektor ekonomi berkelanjutan
INDUSTRI KEUANGAN ISLAM GLOBAL DAN NASIONAL
Keuangan Islam global tumbuh secara signifikan dalam masa sekarang ini, sejarah episode kemunculan perbankan Islam dimulai pada tahun 1963, ketika Mit Ghamr didirikan di Mesir dengan prinsip bagi hasil (profit sharing) yang berdasarkan prinsip-prinsip Syariah. Perkembangan keuangan Islam selanjutnya berlanjut dari tahun 1970 sampai 1990-an ketika keuangan Islam modern tumbuh dan berkembang dengan hadirnya sejumlah lembaga perbankan Islam.
Diakhir tahun 1990 perkembangan keuangan syariah semakin mendunia, contohnya Islamic Development Bank menyiapkan dana US$ 1.5 milyar untuk mendanai proyek infrastruktur yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah di negara-negara anggota. Pada tahun 2000 pasar keuangan Islam global mulai membangun fondasi yang lebih kuat, perbankan Islam pun menyebar di lebih dari 70 negara yang melibatkan lebih dari 300 lembaga berbasis syariah[7]. Industri keuangan Islam modern didukung oleh sejumlah institusi internasional diantaranya standard setting body untuk sistem regulasi keuangan syariah untuk akuntansi, pengauditan dan sharia standard yaitu Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) yang berbasis di Bahrain, dan Islamic Financial Services Board (IFSB) yang berbasis di Malaysia sebagai lembaga standardisasi untuk urusan regulasi dan prinsip kehati-hatian untuk lembaga keuangan Islam. Trend struktur keuangan global pun berlanjut, ketika bursa saham Dow Jones di
Di Indonesia sendiri perkembangan keuangan dan bisnis syariah tidak hanya di sektor perbankan dengan hadirnya perbankan syariah, tetapi juga mencakup asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, bahkan Bursa Efek Jakarta (BEJ) telah me-launching Jakarta Islamic Index (JII) untuk mengumpulkan efek-efek yang menurut DSN MUI sesuai dengan syariah, data per desember 2007 Bapepam-LK telah mengeluarkan Daftar Efek Syariah (DES) untuk panduan investasi bagi pengelola reksa dana syariah. Dalam DES ada 20 efek syariah yang berbasis sukuk dan 164 saham syariah yang dikeluarkan perusahaan[9]. Selain itu di sektor regulasi, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) dan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI telah membuat Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan untuk industri keuangan syariah, pembentukan Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, dan unit kerja syariah di tingkat eselon II Bapepam LK. Hal tersebut merupakan sebuah sinyal bahwa industri keuangan syariah sedang tumbuh dan berkembangan seiring dengan komitmen regulator menyiapkan struktur regulasi untuk mendukung industri berdasarkan nilai-nilai syariah ini.
Pertumbuhan industri keuangan Islam baik dalam skala lokal, nasional, dan global tersebut merupakan bukti bahwa masyarakat keuangan telah mengapresiasi sistem ini dan dijadikan sebagai sistem yang terintegrasi dengan sistem mainstream, dan merupakan pilihan rasional atas kemampuan sistem ini dalam memberikan keuntungan yang berkesinambungan (sustainable results).
DEFINISI SUKUK
Sukuk yang sering diasosiasikan dengan obligasi syariah adalah sertifikat investasi. Tidak seperti obligasi umumnya atau yang sering disebut obligasi konvensional yang merupakan instrumen berbasiskan hutang (debt-based instrument) dengan mekanisme pembayaran bunga (interest), sukuk berbasiskan asset (asset-based instrument) dan merepresentasikan kepemilikan para pemegang sukuk (sukuk holders) terhadap sebuah asset (underlying asset). Pendapatan dibayarkan kepada investor berdasarkan proporsi kepemilikan mereka dalam sebuah asset, sertifikat ini didesain berdasarkan nilai-nilai syariah yang diinterpretasikan dari al Quran dan sumber hukum Islam lainnya.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomor 32/DSN-MUI/IX/2002, sukuk adalah intrumen investasi syariah berbentuk obligasi syariah (sukuk) yang merupakan
Struktur transaksi sukuk bervariasi berdasarkan mekanisme produk-produk keuangan Islam yang diderivasikan dari fiqh muamalah, seperti mudharabah, musyarakah, ijarah, Salam, Istishna, Murabahah, dan qordhul hasan[10].
Pasar sukuk telah berkembang secara signifikan dalam satu dekade terakhir[11]. Perkembangan sukuk negara dan korporat global bertambah dari tahun ke tahun, sampai dengan akhir oktober 2007 total emisi sukuk mencapai hampir US$ 40 Milyar[12], angka ini diperkirakan akan berkembang secara fantastis dalam beberapa tahun kedepan. Penerbitan sukuk masih didominasi oleh sukuk korporat dengan kapitalisasi emisi lebih dari US$ 30 milyar dollar dibandingkan dengan sukuk negara, karena sukuk negara baru diterbitkan sekitar tahun 2001 oleh Otoritas Moneter Bahrain (Bahrain Monetary Agency)[13].
Gencarnya penerbitan sukuk tidak hanya dilakukan oleh negara-negara mayoritas penduduk muslim, seperti Malaysia, Pakistan, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Brunei, Arab Saudi, Mesir, Jordania, dll tetapi juga oleh negara-negara yang berpenduduk muslim minoritas seperti Inggris, Jerman, Singapura, Korea Selatan, Hongkong, dan Jepang[14]. Bahkan Malaysia telah menjadi pusat keuangan Islam dunia dengan menempati urutan pertama penyerap terbesar sukuk global kemudian diikuti oleh Inggris, dan sisanya oleh negara-negara lainnya.
Karakteristik keuangan Islam yang mensyaratkan adanya underlying asset transakti riil untuk setiap transaksii keuangan akan menarik dana Timur Tengah ke negara-negara yang siap menyediakan underlying asset. Pasca tragedi World Trade Center 11 September 2001 sentimen anti Amerika Serikat semakin meningkat di dunia Islam, investor yang berasal dari negara-negara kaya petro dollar mengalihkan dananya ke Inggris melalui London Metal Exchange, dan menjadikan tembaga dan metal lainnya sebagai underlying asset. Kondisi tersebut disebabkan negara-negara Asia belum mempersiapkan regulasi dan struktur sistem keuangan secara optimal, kecuali Malaysia yang telah mengembangkan sistem keuangan Islam, sehingga dana-dana yang “eksodus” dari Amerika Serikat banyak yang parkir di negeri Jiran ini. Selain itu adanya kesadaran relijius para investor yang berasal dari Timur Tengah yang notabene beragama Islam untuk menginvestasikan dananya dalam jangka panjang melalui instrumen keuangan yang berbasis syariah[15].
Merespon perubahan (change) merupakan instuisi tingkat tinggi yang terintegrasi dalam konsep pemasaran. Hermawan Kartajaya dalam The Sustainable Market-ing Enterprise[16] mengingatkan betapa pentingnya mengintegrasikan sebuah perubahan (change), baik perubahan teknologi, political-legal, ekonomi, socio-kultural, dan pasar kepada strategi jangka panjang sehingga bisa membuat sebuah entitas bisnis sustaini dan memberikan keuntungan yang berkelanjutan (sustainable results). Setiap negara atau perusahaan harus adaptif dan merespons setiap perubahan yang terjadi dengan melakukan repositioning bisnis dan arah kebijakan negara atau perusahaan. Perubahan peta investasi dunia saat ini menggambarkan perubahan lingkungan bisnis global, keadaan harus direspons sehingga bisa membawa manfaat bukan sebaliknya perubahan membawa madharat. Perubahan struktur keuangan dunia saat ini harus disikapi secara efektif dan cepat oleh para pengambil kebijakan Jawa Barat maupun kota Bandung untuk memperkuat struktur investasi sehingga mampu memberikan manfaat dan kesejahteraan masyarakat.
Proyek infrastruktur yang berhasil bangun oleh Malaysia adalah Light Rail Transport System II (LRT II), sebuah monorail canggih yang menjadi icon kemutakhiran pembangunan dan pengembangan infrastruktur transportasi publik, LRT II ini membelah kota hutan Kuala Lumpur sepanjang 29km dari Lembah Subang ke Gombak. Proyek ini dilakukan oleh Projek Usahama Transit Automatik Sdn. Bhd. (PUTRA), proyek mencakup pendesainan, pengonstruksian, pengoperasian, pemeliharaan, pembangunan stasiun, dan pengelolaan iklan sepanjang koridor LRT II PUTRA. Proyek yang merupakan kerjasama antara PUTRA dengan Pemerintah Malaysia ini diestimasikan menelan biaya RM 4.35 miliar[17] atau sekitar Rp.11.745 triliun (RM 1 = IDR 2700). Dalam proyek ini PUTRA membiayai sebagian dana pembuatan LRT II melalui obligasi syariah (Islamic bonds)[18] dengan menggunakan akad skema ijarah dan istishna[19].
Tahap pertama mekanisme pembiayaan proyek ini adalah kontrak jual beli dengan skema istishna[20] selama masa konstruksi yaitu sekitar 4 tahun, dimana PUTRA memesan barang manufaktur untuk diserahkan dikemudian hari, dengan harga dan metode pembayaran yang disepakati. Kemudian kontrak istishna ini dibeli oleh perusahaan sindikasi melalui pembiayaan sindikasi[21] (Gabungan antara Bank Islam Malaysia Berhad, Commerce International Mechant Bankers Berhad dan Commerce MGI Sdn. Berhad) dan kemudian sindikasi pembiayaan setuju untuk menjual barang yang timbul dari kontrak ini ke PUTRA di harga basis plus mark-up. Pada tahap kedua, setelah fasilitas istishna selesai, artinya LRT II telah dibangun. Asset LRT II kemudian dijual kepada perusahaan sindikasi yang kemudian menyewakan kembali kepada PUTRA menggunakan skema ijarah[22] dalam jangka waktu 11 tahun.
Dua fasilitas pembiayaan diatas disiapkan melalui SPV (Special Purpose Vehicle) sebuah perusahaan yang dibentuk dan bekerja atas nama sindikasi pembiayaan dan bertanggung jawab terhadap proses transaksi pembelian, penjualan dan penyewaan serta penerbitan sukuk. SPV dibentuk untuk menfasilitasi sukuk.
Penerbitan sukuk al ijarah dimulai melalui mekanisme kontrak jual beli (bai’) asset (seperti jalan tol, transportasi publik, gedung centra bisnis dan fasilitas pariwisata atau sektor pelayanan publik seperti rumah sakit, sarana dan prasana pendidikan dan fasilitas air bersih) oleh pemerintah kepada suatu perusahaan yang ditunjuk, misalnya PT XYZ, untuk jangka waktu tertentu dengan janji (promise) membeli kembali setelah jangka waktu tersebut berakhir.
Kontrak jual beli ini pada saat bersamaan diikuti dengan kontrak penyewaan (ijarah) kembali aset tersebut oleh PT XYZ kepada pemerintah selama jangka waktu tersebut (back to back lease). Dalam mekanisme ini, PT XYZ diperlukan sebagai Special Purpose Vehicle (SPV), yaitu perusahaan yang khusus didirikan dalam penerbitan sukuk.
Sukuk al ijarah dapat diterbitkan oleh PT XYZ kepada para investor yang meminati instrumen investasi syariah di Pasar Modal Syariah (Islamic Capital Market) dengan bantuan lembaga keuangan nasional atau internasional yang berfungsi sebagai arranger atau underwriter. Dana dari penjualan sukuk tersebut dapat digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur.
Setelah diterbitkan di pasar perdana, sukuk tersebut dapat diperdagangkan di pasar sekunder sebagai instrumen investasi. Hasil investasi yang diperoleh investor berasal dari pembayaran sewa oleh pemerintah kepada PT XYZ, dimana penentuan besarnya sewa dan hasil investasi tersebut ada kandungan bagi-hasil yang telah ditentukan sesuai dengan kondisi pasar.
KESIMPULAN
Dengan dana ratusan triliun rupiah yang siap diinvestasikan oleh para investor Timur Tengah, merupakan sebuah peluang besar memanfaatkan dana-dana tersebut untuk membiayai proyek infrastruktur Jawa Barat, khususnya kota Bandung. Implementasi sukuk telah berhasil membuat beberapa proyek infrastruktur di beberapa negara, potensi besar ini merupakan peluang yang harus disikapi dengan cermat dan efektif sehingga mampu memperkuat tangible characteristics kota Bandung yang berimplikasi terhadap penguatan struktur ekonomi kota Bandung yang bisa membawa kesejahteraan terhadap masyarakat.
Perubahan paradigma sumber modal harus bisa diubah seiring dengan perubahan peta keuangan dunia, dimana investor Timur Tengah tengah gencar menginvestasikan dananya dalam instrumen keuangan berbasis syariah.
Salah satu instrumen investasi yang sedang popular dalam industri keuangan Islam adalah sukuk. Beberapa model sukuk bisa dikembangkan sebagai upaya membiayai pembangunan infrastruktur di kota Bandung, diantaranya adalah sukuk al ijarah.
Adiwarman A. Karim. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Edisi ketiga. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2006.
Benyamin C. Esty. The Equate Project: An Introduction to Islamic Project Finance. The Journal of Project Finance. Winter 2000.
DMO dan Islamic Finance Information Service (IIFS).
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomor 32/DSN-MUI/IX/2002.
Hamdan Mohd. Bintang. The Putra LRT II Project: A Cash Study on al Ijarah Financing. International Islamic Capital Market Conference ’97. 15 – 16 July 1997.
Hermawan Kartajaya. Hermawan Karjaya on Marketing. Editor: Yuswohady dkk. Cetakan ke-3: Mei 2003.
Mohammed Obaidullah. Islamic Financial Services. Islamic
Saeful Azhar Rosly. Critical Issues on Islamic Banking and Financial Market. Dinamas Publishing. 2005.
Kompas. Kolom Keuangan dan Bisnis. Kamis 6 Desember 2007. Hal. 21.
Seputar Indonesia. Kolom Ekonomi dan Bisnis. Kamis, 6 Desember 2007.
Government
Rodney Wilson. Islamic Bonds: Your Guide to Issuing, Structuring and Investing in Sukuk. - Overview of the Sukuk Market. http://www.euromoneybooks.com
Website Resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Http://Www.jabarprov.go.id
[1] Mahasiswa Pasca Sarjana Institute of Islamic Banking and Finance (IiBF) International Islamic University
Alamat: Jl. Pelita 3 No.70 RT/RW 03/03 Cipadung Cibiru Bandung 40614 Jawa Barat
Email: yudiaf@gmail.com, HP: 081320770481, Fax: 022.7809679
[2]
[3] Website Resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Http://Www.jabarprov.go.id
[4] Hermawan Kartajaya. 2003.
[5] Seputar Indonesia. Kolom Ekonomi dan Bisnis. Kamis, 6 Desember 2007.
[6] Benyamin C. Esty. 2000.
[7] Benjamin C. Esty. 2000
[8] Benjamin C. Esty. 2000
[9] Kompas. Kolom Keuangan dan Bisnis. Kamis 6 Desember 2007.. Hal. 21
[10] Rodney Wilson.
[11] Government
[12] DMO dan Islamic Finance Information Service (IIFS)
[13] Majalah Gatra Edisi Khusus Lebaran. No. 48 Tahun XIII. 11 – 24 Oktober 2007.
[14] Idem.
[15] Benyamin C. Esty. 2000. Tantangan diawal penerbitan sukuk adalah mengembangkan struktur keuangan Islam yang tidak hanya konsisten dengan prinsip syariah tetapi juga menarik penyedia modal internasional (west-based international capital providers), tantangan ini berhasil dijawab ketika keuangan Islam tidak hanya diterima oleh negara-negara berpenduduk mayoritas muslim tetapi juga oleh negara-negara barat dan non muslim seperti Inggris, Jerman, jepang, Singapura, Hongkong, Amerika Serikat, dll.
[16] Hermawan Kartajaya. 2002.
[17] Hamdan Mohd. Bintang. 1997.
[18] Saiful Azhar Rosly. 2005. Hal. 435
[19] Hamdan Mohd. Bintang. 1997.
[20] Menurut M. Obaidullah (2005), akad istishna merupakan kontrak manufaktur, dan merupakan akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual. Pembayaran dilakukan secara cicilan dan barang diserahkan pada akhir periode pembiayaan. Baca selengkapnya Hal. 99
[21] Menurut Adiwarman A. Karim (2006), pembiayaan sindikasi adalah pembiayaan yang diberikan oleh lebih dari satu lembaga keuangan bank untuk satu objek pembiayaan tertentu. Pada umumnya, pembiayaan ini diberikan bank kepada korporasi yang memiliki nilai transakti yang sangat besar.
[22] Menurut M. Obadillah (2005), dalam ijarah kontrak, pihak yang memiliki barang menyewakan barang tersebut kepada penyewa dengan harga rental dan waktu yang disepakati bersama.
No comments:
Post a Comment