Secara umum, perbankan konvensional melaksanakan dua fungsi perbankan yaitu penghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk deposit dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit (loan). Sistem perbankan konvensional memproteksi dana deposan beserta keuntungannya (bunga) serta dalam banyak sistem dana deposan tersebut digaransi oleh pihak ketiga seperti Lembaga Penjamin Simpanan dalam kasus di Indonesia. Di lain pihak, peminjam dana atau debitur diwajibkan mengembalikan dana pinjaman beserta keuntungan bank (bunga pinjaman), selain itu debitur juga diwajibkan menyediakan jaminan (collateral) sebagai instrumen untuk mencegah terjadinya resiko kegagalan bayar di akhir masa pinjaman.
Jika mencermati fungsi dan mekanisme perbankan konvensional diatas, sebenarnya yang terjadi bukanlah implementasi dari fungsi perbankan sebagai mesin perekonomian (engine of economy), tetapi secara esensi fungsi perbankan tersebut bersifat pasif, mengingat mekanisme yang dijalankan tidak fleksibel dalam menghadapi fluktuasi perekonomian. Dengan kata lain, system perbankan konvensional telah mengasumsikan bahwa usaha yang dijalankan oleh debitur pasti menghasilkan keuntungan, asumsi ini kemudian diintegrasikan ke dalam system perbankan dimana dalam setiap transakti pinjaman debitur sudah dikunci agar mengembalikan uang pinjaman beserta bunganya. Mekanisme tersebut mengabaikan peminjam dengan orientasi produktif, karena dalam kasus terakhir debitur akan dihadapkan kedalam tiga kemungkinan yaitu untung (get positive return), balik modal (get no return), ataupun rugi (get negative return). Dalam teori modern tentang ventura (theory of venture), ketiga kemungkinan dalam bisnis tersebut dijelaskan secara rinci. Tetapi pihak perbankan konvensional tidak mengakomodasi hal tersebut, bahkan kalau ditelaah lebih dalam, pihak perbankan juga telah mengunci factor kegagalan dengan cara mentransfer resiko (risk transfer) kegagalan ke debitur dengan cara meminta jaminan yang nilainya lebih besar daripada dana yang dipinjam oleh debitur.
Mekanisme perbankan konvensional tersebut tidak akan dijumpai di perbankan Syariah, karena perbankan Syariah mempunyai mekanisme untuk mengakomodasi fluktuasi perekonomian. Mekanisme kerja perbankan Syariah sebagai fungsi intermediasi tidak berbeda dengan perbankan konvensional yaitu menghimpun dana dari masyarakat (surplus unit) dan menyalurkannya kembali ke masyarakat (deficit unit). Salah satu perbedaan yang sangat mencolok adalah bahwa di perbankan Syariah kecenderungan bisnis secara alami yaitu menghasilkan untung, tidak untung tidak rugi alias balik modal, dan rugi tersebut diakomodasi oleh mekanisme bagi untung dan bagi rugi (profit and loss sharing). Salah satu contoh praktisnya adalah produk mudharabah,yaitu suatu produk untuk membiayai bisnis dimana bank Syariah sebagai penyedia dana melakukan kontrak kerjasama (partnership contract) dengan nasabah peminjam atau klien sebagai pebisnis (mudharib) untuk melakukan suatu usaha tertentu. Dalam praktek tersebut tidak ada mekanisme menggaransi modal kembali plus keuntungannya kepada pihak bank (guaranteeing return of the principal). Jika usaha menguntungkan maka akan dialokasikan kepada bank dan pebisnis sesuai dengan nisbah (ratio bagi hasil) dari keuntungan yang didapat, jika rugi maka pihak bank akan menanggung kerugian tersebut berdasarkan kontribusi modal bank, sedangkan pihak pebisnis menanggung kerugian waktu, tenaga dan pikiran.
Praktik produk profit and loss sharing tersebut akan berdampak positif terhadap iklim investasi terutama sector riil di Indonesia. Selain itu, dengan produk tersebut akan dapat menjangkau semua elemen masyarakat. Baik level bawah yang selalu indentik sebagai kaum unbankable karena tidak mempunyai asset untuk dijadikan jaminan sebagai kunci untuk membuka akses terhadap perbankan, ataupun level menengah yang selalu dinamis dalam menciptakan ide-ide bisnis, bahkan level atas atau level high net worth individual (HNWI) yang “kebingungan” dalam menginvestasikan uangnya yang berlimpah.
Secara kontras, bank Syariah tidak memposisikan pinjaman sebagai utang nasabah yang harus dibayar plus “keuntungan” alias bunga tertentu, tetapi lebih kepada memfasilitasi pebisnis dengan modal (capital) thus perbankan Syariah memainkan peran aktif dalam perekonomian terutama dengan semangat mengakomodasi fluktuasi perekonomian terutama di sektor investasi. Artinya selain sebagai engine of economy, perbankan Syariah juga berfungsi sebagai mesin wirausaha (entrepreneurial engine). Implikasi fungsi kedua tersebut akan sangat luas dalam mendidik industri perbankan dan masyarakat terutama dalam upaya menciptakan atmosfer keadilan, kesetaraan (fair relationship), dan kebersamaan yang sangat diperlukan dalam upaya pembangunan Indonesia kedepan. Wallohu Alam bishowab.
Yudi Ahmad Faisal
Kandidat Chartered Islamic Finance Professional (CIFP) INCEIF
Dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung dan Anggota ISEFID KL
No comments:
Post a Comment