https://www.kemenag.go.id/files/www/file//2016/09/1473220569934409771.pdf
Sekapur
Sirih
Perbankan
Syariah berkembang dengan pesat dan menjadi salah satu pemain penting dalam
sistem keuangan global. Industri berbasiskan nilai-nilai Islam ini dianggap
sebagai industri yang terlalu besar untuk diabaikan (too big to be ignored)[1].
Aset global perbankan Syariah telah menyentuh angka diatas 1.7 trilyun dollar
Amerika dan diprediksi akan terus tumbuh 17.6% selama 4 tahun kedepan sehingga
menyentuh angka 3.4 trilyun dollar pada 2018 dengan didukung oleh lebih dari
220 institusi yang tersebar di 76 negara berbeda baik Negara mayoritas Muslim
maupun Non-Muslim[2].
Perkembangan pesat dalam dua dekade terakhir telah menarik perhatian berbagai
aktor-aktor arsitektur keuangan global non-negara (non-state actors) seperti International Monetary Fund (IMF), World
Bank, dan the Basel Committee on Banking Supervision (BCBS).
Secara
teoritis, perbankan Syariah harus mengikuti aturan-aturan relijius yang diderivasi
dari Shariah. Oleh karena itu, kesesuaian dengan syariah (Shariah compliance) merupakan fondasi pertama dalam struktur
teoritis yang kemudian meretas kedalam struktur minor seperti model instrumen
keuangan, jenis jasa dan transaksi keuangan, serta model pengawasan dan tata
kelola bank (banking governance),
sistem penentuan harga (pricing),
bahkan model marketing-nya pun harus
sesuai dengan nilai-nilai Islami.
Salah
satu tantangan dalam pengembangan industri keuangan Syariah global adalah aspek
harmonisasi Syariah. Disharmonisasi Syariah mampu menjadi penghambat
perkembangan industri ini, terutama ketika para pelaku industri dan pasar
berhadapan langsung dengan berbagai kontradiksi aspek-aspek ke-Syariah-an. Contohnya,
ketika Malaysia melalui Shariah Advisory Council (SAC) – Bank Negara Malaysia,
lembaga otoritas Syariah yang diberikan mandat memformulasikan aspek-aspek
Syariah dan melakukan harmonisasi Syariah, menyatakan bahwa bay al innah adalah halal. Sedangkan di Indonesia, sebagian ulama menyatakan bahwa akad
ini haram. Dua pendapat kontradiktif
tersebut jika terjadi pada pasar yang sama dalam satu jurisdiksi yang sama maka
akan mengakibatkan kegaduhan pasar akibat inkonsistensi ke-Syariah-an antara
lembaga keuangan Syariah yang beroperasi.
Tulisan
singkat ini menyajikan tinjauan teoritis formulasi harmonisasi Syariah dalam
industri perbankan dan keuangan, serta model harmonisasi Syariah di beberapa
Negara.
Pendekatan
Generik
Secara
historis, harmonisasi Syariah terutama dalam konteks fikih jarang terjadi. Hal
ini berdasarkan fakta historis bahwa terdapat beberapa mazhab fikih yang
mendasarkan hasil ijtihad mereka pada metodologi dan sumber-sumber yang
berbeda. Berbeda halnya dalam konteks
Industri perbankan Syariah, harmonisasi Syariah menjadi salah satu perdebatan
paling hangat sebagai prasyarat tumbuh kembangnya industri ini dalam konteks
global.
Khan
mengusulkan istilah fikih pasar (fiqh
market) sebagai metode untuk mencapai harmonisasi Syariah dalam konteks
dunia perbankan dan keuangan[3]. Menurutnya,
seorang ulama di dunia perbankan dan keuangan tidak harus mendasarkan
ijtihad-nya pada mazhab tertentu, tetapi boleh lintas mazhab. Model semacam
ini, menurutnya, akan memudahkan proses harmonisasi Syariah. Kesulitan akan
timbul ketika seorang ulama dihadapkan pada dua pendapat yang saling bertolak
belakang. Menurut Khan, pendapat yang harus diambil adalah pendapat yang
memudahkan.
Balz
mengusulkan ide ‘transnational law of
Islamic finance’. Menurutnya, dorongan pasar (market forces) telah mendorong tumbuh kembangnya hukum keuangan
Islam (Islamic financial law) tanpa
campur tangan Negara[4].
Kehadiran aktor-aktor keuangan Syariah global, seperti AAOIFI (Accounting
Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions) telah menjelma menjadi
sebuah aktor penting dalam konteks keseuaian Syariah global.
Pendekatan
Institutional
Pendekatan
institutional adalah pendekatan yang menekankan pada struktur institutional
dalam mengkaji, mengembangkan, dan memformulasikan harmonisasi nilai-nilai
Syariah antara industri perbankan Syariah global. Zaidi mengusulkan ide ‘a
universal Shariah board’atau Dewan Syariah Universal untuk melakukan
harmonisasi transaksi-transaksi keuangan Syariah di berbagai jurisdiksi yang
berbeda[5]. Menurutnya, dewan Syariah ini harus terpisah
dari baik pasar (market) maupun regulator atau pemerintah. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari konflik kepentingan (conflict
of interest) antara pertimbangan-pertimbangan pragmatis pasar dengan
pertimbangan-pertimbangan idealis relijius.
Ide tersebut hampir sesuai dengan eksistensi, fungsi dan peran yang
sekarang diemban oleh AAOIFI (Accounting Auditing Organisation of Islamic
Financial Institutions) dan IIFM (International Islamic Financial Markets
(IIFM) yang berbasis di Bahrain, dan IFSB (Islamic Financial Services Board)
yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia.
Menurut
Shaffaii[6],
standarisasi Syariah dalam konteks institutional harus memperhatikan tiga aspek
yang berbeda: (1) market discipline,
artinya para pelaku pasar harus mempunyai informasi yang konsisten, transparan,
dan terbuka tentang aspek-aspek kesesuaian Syariah; (2) pembentukan lembaga
pembuat standar Syariah yang berskala international seperti AAOIFI dan IFSB,
dan (3) diskusi-diskusi ulama baik tingkat regional maupun international untuk
mengkaji berbagai isu-isu mutakhir seputar perbankan dan keuangan Syariah,
seperti ‘Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara’ dalam lingkup Asia Tenggara.
Pendekatan
Campuran (Mixed Model)
Pendekatan
campuran mengkombinasikan pendekatan generik maupun institutional. Foster,
seorang ahli hukum Islam yang mengajar di School of Oriental and African
Studies (SOAS) – University of London, berpendapat bahwa pada tingkat
institutional, pendekatan terpusat (planned
approach) melalui Dewan Syariah baik tingkat nasional, regional, maupun
international diperlukan untuk mencapai tingkat kesamaan persepsi Syariah. Di
tingkat organik, pasar (market)
termasuk industri keuangan dan profesi yang berhubungan dengan hukum bisa
membuat usaha-usaha untuk melakukan unifikasi standar Syariah dalam berbagai
jurisdiksi yang berbeda[7]. Dalam konteks rekayasa keuangan Syariah (Islamic financial engineering), pendapat
Foster hampir sama dengan Zaidi, yaitu penggunaan fikih lintas mazhab untuk mempermudah
pasar mengadopsi nilai-nilai Syariah dalam transaksi bisnis mereka.
Perkembangan
Harmonisasi Syariah dalam Industri Perbankan dan Keuangan Global
Model
Indonesia
Indonesia
menganut model pendekatan institutional dalam mengembangan harmonisasi Syariah
dalam industri perbankan dan keuangan Syariah. Dewan Syariah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) mendapatkan mandat undang-undang sebagai lembaga yang
mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa-fatwa yang berhubungan dengan keuangan
dan perbankan Syariah. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah memerintahkan Bank Indonesia untuk mengadopsi fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia.
Sebagai
organisasi non-pemerintah, DSN-MUI tidak mendapatkan remunerasi baik dari
Negara maupun dari industri keuangan atas perannya dalam memformulasikan dan
mengembangkan fatwa-fatwa yang berhubungan dengan transaksi-transaksi di
industri keuangan.
Model
Malaysia
Di
Malaysia, the Islamic Banking Act 1983
dan the Central Bank of Malaysia Act 2009 meng-amanahkan pembentukan Shariah Advisory
Council (SAC) dalam struktur Bank Negara Malaysia (BNM, bank sentral) sebagai
sumber referensi utama yang mempunyai otoritas undang-undang dalam pembuatan
standar ke-Syariah-an di industri perbankan Syariah Malaysia. Lain halnya
dengan DSN MUI, SAC-BNM mempunyai keterkaitan secara formal dengan Negara.
Sehingga anggota SAC-BNM mendapatkan remunerasi dari Negara.
Model
Bahrain
Sebagai
Negara yang menjadi tuan rumah bagi AAOIFI (Accounting Auditing Organisation of
Islamic Financial Institutions), industri keuangan Syariah di Negara ini
menjadikan standar ke-Syariah-an yang diformulasikan oleh AAOIFI sebagai
pedoman yang harus diikuti oleh semua institusi keuangan Syariah yang
beroperasi di Bahrain.
Model
Inggris
Sebagai Negara Barat dengan Muslim
minoritas, Inggris termasuk salah satu Negara non-Muslim yang gencar
mempromosikan keuangan Syariah baik untuk pasar domestik maupun internasional.
Negara ini tidak mengadopsi unsur-unsur Syariah dalam hukum positif mereka.
Dalam konteks industri perbankan dan keuangan Syariah Inggris, Negara melalui Financial Conduct Authority (FCA)
sebelumnya bernama Financial Services
Authority (FSA) tidak mewajibkan bank Syariah dan institusi keuangan
Syariah lainnya untuk mengadapsi fatwa-fatwa transaksi keuangan Syariah dari
organisasi atau otoritas tertentu[8]
seperti halnya di Indonesia, Malaysia, dan Bahrain. Selain itu, regulasi dan
aturan hukum di Inggris, tidak mewajibkan bank dan institusi keuangan Syariah
untuk membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi mereka.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh FCA berjudul ‘Islamic Finance in the UK:
Regulation and Challenges”, FCA menyatakan bahwa sebagai Negara sekuler,
Inggris tidak berniat untuk terlibat secara langsung dalam penentuan
aspek-aspek Syariah di industri perbankan dan keuangan Syariah-nya. Mereka akan
mempersilahkan pasar (market) untuk
mengadopsi berbagai fatwa tentang transaksi keuangan Syariah baik yang
dilakukan oleh lembaga fatwa lokal, maupun lembaga fatwa internasional seperti
Fiqh Academy di Jeddah, Saudi Arabia, atau AAOIFI di Bahrain.
Simpulan
Tulisan
diatas secara singkat telah mengelaborasi struktur ataupun model pengembangan
harmonisasi nilai-nilai Syariah dalam industri perbankan dan keuangan Syariah
di beberapa Negara. Model-model yang dikembangkan terutama ditujukkan untuk
mengatasi resiko Syariah, terutama disharmonisasi Syariah dalam satu
jurisdiksi, yang mampu mengakibatkan inkonsistensi aspek-aspek ke-Syariah-an
dan menghambat perkembangan industri perbankan Syariah baik dalam skala
nasional, regional, maupun global.
-->
[1]
Maher Hassan and Jemma Dridi, ‘the effects of the Global Crisis on Islamic and
Conventional Banks: A comparative Study’ (2010) 10 (201) International
Monetary Fund Working Paper. <
http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2010/wp10201.pdf> (8 September
2014)
[2]
Ernst and Young report, World Islamic Banking Competitiveness Report 2013-2014,
(16 October 2014).
[3] Khan and L. Ali, Contemporary Ijtihad : Limits and Controversies,
(Edinburgh University Press, 2011) 47
[4]
Kilian Balz, ‘Islamic Law as the Governing law under the Rome Convention:
Universalist Lex Mercantoria vs. the Regional Unification of Law’ (2001) 8(1) Yearbook
of Islamic and Middle Eastern Law Online 73-85.
[5]
Abbas Jamal Zaidi, ‘Shariah Harmonization, Regulation and Supervision’ Islamic
International Rating Agency, presented in AAOIFI-World Bank Islamic Banking and
Finance Conference, Bahrain 10-11 November
[6] Suapi
Shaffaii, ‘How Shariah Governance Empowers Islamic Finance’ (2008) 5(36)
Islamic Finance News
[7]
Nicholas H.D. Foster, ‘Islamic Finance Law as an Emergent Legal System’ (2007)
21(2) Arab Law Quarterly 170-188, 178-184.
No comments:
Post a Comment