Meskipun
ekonomi global terus berkembang dalam beberapa dekade terakhir, tetapi jumlah
orang dengan tingkat penghasilan kurang dari dua dollar Amerika per hari masih
satu pertiga dari populasi dunia (data World Bank, IMF, OECD tahun 2015).
Ratusan juta orang tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan, akses
permodalan, pendidikan, air bersih, dll. Tumbuhnya perekonomian global ternyata
beriringan dengan meningkatnya kemiskinan global.
Dua
dekade terakhir juga memperlihatkan ketimpangan pendapatan yang luar
biasa. 225 orang terkaya di planet Bumi
diprediksi memiliki kekayaan setara dengan 40% populasi dunia[1].
Menurut Forbes, salah satu majalah terkemuka dunia yang selalu menghadirkan
daftar orang terkaya di jagat raya, jumlah milyuner di dunia bertambah dari 306
di tahun 2000 menjadi 946 di tahun 2007. Kekayaan bersih mereka diperkirakan
berjumlah 3.5 Trilyun Dollar[2].
Orang-orang “super-rich” ini diprediksi akan terus bertambah di tahun-tahun
mendatang (lihat laporan World Bank dan OECD).
Data-data
mutakhir tentang “inequality” atau ketimpangan bisa kita temui dalam berbagai bidang
selain ekonomi. Data-data tersebut harus dimaknai sebagai “fakta kehidupan”
yang sejatinya tidak terlepas dari berbagai bidang keilmuan yang relevan
seperti ekonomi, kajian agama, politik, sosial budaya, dll. Seaindainya hal
tersebut tidak bisa terwujud, paling tidak kajian-kajian tentang “inequality”
baik formal maupun informal menjadi alert
bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberlangsungan peradaban dan
kemanusiaan (stakeholders of civilisation
and humanity).
Pertanyaan
yang membutuhkan perhatian adalah “Apakah yang dimaksud dengan “inequality”? “Apakah
akar penyebab terjadinya “inequality”? Apakah mungkin inequality dapat
dihilangkan ataukah hanya dikurangi kadarnya?. Diskusi atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut paling tidak sebagai muqoddimah dalam diskursus yang lebih komprehensif tentang
tema-tema yang berkaitan dengan “inequality”.
Mencari definisi “Inequality”
Dalam
mendiskusikan “inequality”, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyamakan
persepsi tentang definisi “inequality”. Hemat saya, semua manusia harus
memiliki kesetaraan dalam mendapatkan kebutuhan dasar (basic needs), seperti pendidikan, kesehatan, kenyamanan, tempat
tinggal, pekerjaan, akses permodalan, kesempatan yang sama dalam hal
menyampaikan pendapat, dll (silakan Anda sebutkan). Dengan kesempatan yang
sama, pencapaian manusia terhadap suatu hal bisa berbeda-beda. Permasalahan
muncul ketika tidak semua manusia memiliki akses terhadap kebutuhan dasar ini (basic needs). Hilangnya kesempatan untuk
mendapatkan kebutuhan dasar ini bukan hanya ditemui di negara-negara berkembang
dan miskin, tetapi juga termasuk di negara-negara maju seperti di Amerika
Serikat.
Apakah Akar Penyebab ‘Inequality”
Salah
satu faktor yang sering didiskusikan sebagai akar penyebab terjadinya
ketimpangan adalah Kapitalisme. Kapitalisme tidak selalu diartikan sebagai
sebuah sistem ekonomi, tetapi lebih dari itu dia mencakup cara pandang dan nilai-nilai
bagaimana dunia ini harus dikelola. Dari Abad 17 sampai sekarang, paradigma
kapitalisme mengalir bagaikan air bah yang menghantam apapun yang dia lalui.
Francis Fukuyama melalui “The End of History” mengatakan bahwa kapitalisme
termasuk ideologi akhir jaman, yang tidak akan ada ideologi yang bisa
menyainginya. Kapitalisme menurut pandangan ini melakukan tiga upaya sistematis
yang senantiasa beriringan untuk mencapai tujuan-tujuannya, yaitu: (1) ekspansi
dalam bidang ekonomi, militer, dan budaya, (2) eksploitasi terhadap sumber daya
alam dan manusia, (3) dan ekpansi nilai-nilai demokrasi melalui promosi Negara
modern/nation state (lihat misalnya
Mantoux, 1906). Ekploitasi sumber daya alam dan manusia melahirkan kolonialisme
dan imprealisme, yang kemudian bermetamorposis menjadi globalisasi. Ekspansi
ekonomi melahirkan industrialisasi. Ekspansi nilai-nilai demokrasi melahirkan nation state. Tiga hal tersebut yaitu
globalisasi, nation state, dan industrialisasi
membentuk pilar kapitalisme. Interaksi ketiganya dipandang menjadi penyebab
terjadinya berbagai krisis global seperti perang, eksploitasi ekonomi dan
sumber daya manusia, kehancuran ekosistem dan lingkungan, kelaparan, dll. Negara-negara
kapitalis selalu mencari daerah geografis baru yang bisa dijadikan target
industrialisasi mereka. Mereka berusaha untuk mengontrol factor-faktor produksi
seperti tanah, sumber daya alam, modal, labour untuk motif keuntungan yang
tidak terbatas. (silakan
didiskusikan lebih lanjut mengenai thesis ini).
Faktor
kedua yang seringkali dicap sebagai penyebab terjadinya “inequality” adalah sistem
ekonomi yang salah kaprah. Ini merupakan irisan dari ideologi kapitalisme itu
sendiri. Wall Street Journal dalam
edisi “Boom in Financial Markets Parallels Rise in Share for Wealthiest
Americans (December 10, 2007) menyatakan bahwa 1% pendapatan orang kaya Amerika
Serikat melebihi 50% pendapatan populasi penduduk Amerika Serikat. Lebih lanjut
dikatakan bahwa kekayaan the 1% richest
Americans bertambah secara signifikan terutama melalui industri keuangan. Studi
yang dilakukan oleh University of Chicago tahun 2004 menunjukkan bahwa para
bankers Wall Street diperingkat 50%
teratas dari the 1% richest Americans.
Sistem
keuangan global tidak didisain sebagai mesin penggerak ekonomi sektor riil yang
pro terhadap berbagai golongan ekonomi masyarakat, tetapi sebagai mesin
pencipta kekayaan bagi para bankers, golongan masyarakat tertentu terutama
menengah keatas, dan orang-orang “super-rich” yang ingin melipatgandakan
uangnya tanpa melalui sektor riil. Dibuatlah instrumen-instrumen keuangan yang
rumit termasuk didalamnya instrumen spekulatif. Sejarah pun membuktikan bahwa
para Wall Street professional ini bertanggung jawab terhadap runtuhnya ekonomi
AS pada 2008 (lihat misalnya Johnson & Kwak, 13 Bankers: the Wall Street
Takeover and the Next Finanical Meltdown). Mereka menciptakan sebuah “global
casino” dimana akumulasi dana yang mereka kumpulkan dari masyarakat tidak dialokasikan
kepada sektor ekonomi riil, sektor yang bersentuhan langsung dengan transaksi
ekonomi masyarakat secara umum, tetapi melalui sektor keuangan (financial
markets). Lebih dari 70% aliran pendanaan disalurkan melalui sektor keuangan
yang penuh dengan instrumen keuangan “beracun” misalnya derivatif, ie. Credit
Default swaps, Mortgage backed securitisation (silakan di google dengan
keywords “leverage during financial crisis 2008”). Cara kerja “global casino”
ini sangat rumit yang melibatkan bankir, lawyers, dan para jenius
lulusan-lulusan universitas ternama dunia (lihat bukunya Michael Lewis dengan
judul the Big Short, tentang pengakuan mantan professional Wall Street, seorang
jenius polos yang menciptakan mekanisme matematis rumit untuk mendapat keuntungan
luar biasa dari instrumen-instrumen keuangan beracun tersebut). Akibat ulah
permainan spekulatif para bankir ini, pasar keuangan Amerika mengalami
kehancuran yang menyebabkan krisis keuangan global dan merambah ke berbagai
Negara (untuk mengetahui alasan dampak sistemis kegagalan ekonomi Amerika
terhadap berbagai Negara lainnya, cari di google dengan keywords systematic
risks and financial globalisation). Pemerintah Amerika melalui kebijakan “too
big to fails” mengeluarkan dana (bailouts) untuk menahan kebangkrutan beberapa
pemain keuangan global diantaranya CitiGroup (yang kartu kreditnya sangat
populer di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia) menyebabkan publik
Amerika menanggung beban hutang the 1%
richest Americans melalui penyesuaian pajak maupun pemotongan anggaran
berbagai fasilitas sosial lainnya. Sebuah ironi jaman modern, dimana 1% terkaya
Amerika mendapatkan “infaq” dari seluruh populasi Amerika. Masyarakat yang
tidak tahu menahu tentang cara kerja industri keuangan harus menanggung hutang
akibat ketamakan para bankir-bankir Wall Street ini. Contoh diatas merupakan
salah satu diskursus yang berkembang di dunia akademis sebagai penyebab
“inequality” terutama dalam spectrum ekonomi keuangan.
Adakah Solusi terhadap Penomena
“Inequality” ini?
Penomena
“inequality” merupakan bagian dari sejarah umat manusia itu sendiri. Dalam
berbagai peradaban dunia, phenomena ini selalu muncul dan jadi perhatian para
pemangku kepentingan pada jamannya masing-masing. Dari mulai agama, Negara,
sampai kajian ekonomi dan sosial budaya, “inequality” ini selalu menjadi pusat
perhatian.
Dalam
konteks agama misalnya, kitab suci umat Islam Al-Qur’an menyebutkan bahwa
“Jangan sampai harta itu berputar diantara orang-orang kaya saja diantara
kamu”. Secara literal, menurut pemahaman orang awam seperti saya, ayat ini mengindikasikan
bahwa Al-Qur’an menekankan konsep distribusi pendapatan yang lebih adil dan
merata dalam sebuah struktur masyarakat. Pertanyaan bagaimana mekanisme untuk
mencapai distribusi pendapatan yang adil dalam konteks tersebut, dijawab para
ahli dengan mengkaji konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan tata
nilai ekonomi, seperti konsep pelarangan riba,
zakat, infaq, wakaf, shadaqoh, etika bisnis dalam perspektif Islam, termasuk
aspek political economy yaitu bagaimana peran Negara terhadap sebuah
perekonomian, dll. Semua kajian-kajian tersebut bermuara pada pertanyaan bagaimana
menciptakan sebuah masyarakat adil dan makmur termasuk didalamnya keadilan
dalam distribusi pendapatan.
Dari
sudut pandang yang lain, menciptakan pemerataan pembangunan dan pendapatan
dapat dilihat dari diskurus antara kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme
menekankan para mekanisme pasar untuk mencapai pembangunan termasuk pemerataan
pendapatan, sedangkan sosialisme menekankan pada mekanisme Negara maupun
struktur sosial kolektif untuk mencapai pemerataan tersebut. (silakan hal ini
juga menjadi bahan diskusi).
Dari
sudut pandang peran negara dan peran masyarakat sipil, apakah masalah
ketimpangan ini menjadi tanggung jawab Negara saja atau termasuk juga
organisasi sipil, atau masyarakat sipil melalui berbagai macam NGO atau
ormas-ormas. Ahmad Dahlan, sebagai contoh, memberikan contoh solutif peran
masyarakat sipil dalam mengurangi “inequality”. Keberadaan sekolah-sekolah,
rumah sakit, panti-panti Asuhan, dan amal usaha lainnya menunjukkan upaya Ahmad
Dahlan untuk memberikan akses kebutuhan dasar (basic needs) kepada masyarakat.
Ahmad Dahlan telah berhasil atau menambal “absent”nya Negara terhadap
pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar ataupun kaum mustadafiin
lainnya.
Dalam
konteks sosial budaya, permasalahan ketimpangan bermuara pada dua tesis besar
yaitu ketimpangan structural dan kultural. Ketimpangan structural adalah
ketimpangan yang diakibatkan oleh sebuah sistem eksploitatif yang secara
sistematis menciptakan hilangnya akses terhadap kebutuhan kebutuhan dasar
manusia. Obat mujarab untuk menghilangkan ketimpangan model ini adalah dengan
mengganti sistem yang telah menciptakan ketimpangan tersebut (pertanyaan
lanjutan untuk pernyataan ini adalah, bagaimana mengganti sistem tersebut?). Sedangkan
ketimpangan kultural adalah ketimpangan yang muncul akibat prilaku personal
manusia yang menyebabkan ketimpangan tersebut. Contohnya H.J. Boeke, ahli sosilogi dan antropologi ekonomi di Universitas
Leiden, berpendapat bahwa sebab musabab miskinnya masyarakat pedesaan di Jawa
adalah kekalahan mereka dalam persaingan ekonomi akibat dari mentalitas rendah
dalam aktifitas ekonomi. Solusi terhadap ketimpangan jenis ini adalah
mentransformasi cara pandang masyarakat terhadap kerja. Bagaimana cara
mentransformasinya dan media apa yang digunakan, kembali menuntut otak kita
untuk memikirkannya.
‘Ala Kulli Hal
Diskusi
“connecting dots …” sebagai momen yang tepat untuk mendiskusikan isu-isu “inequality”
yang saya sampaikan diatas. Selamat berdiskusi.
Salam.
Yudi
Ahmad Faisal
Sydney 19
June 2016
[1] Jerome C Glenn and Theodore J Gordon, State of the Future 2007, Millennium Project / World Federation
of UN Associations, 2007, Bhttp://www.acunu.
org/millennium/sof2007-exec-summ.pdf
[2] For
2007, see: Forbes, ‘The World’s Richest People’, 3 August 2007, Bhttp://
www.forbes.com/2007/03/06/billionaires-new-richest_07billionaires_cz_lk_af_
0308billieintro.html. For 2000, see: Bhttp://www.forbes.com/lists/home.
jhtml?passListId10&passYear2000&passListTypePerson
No comments:
Post a Comment