Menanggapi Tulisan Bro. Rijalul Imam
“Politik, Poligami, Sekularisme, dan Islam”
Oleh: Bro. Yudi Ahmad Faisal
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas pro kontra interpretasi legalitas poligami secara detil, baik dalam konteks kekinian maupun tinjauan historis untuk melihat poligami dalam konteks zamannya. Saya khawatir ini justru akan menjebak saya semakin memperuncing perdebatan poligami dan akhirnya kemudian saya akan tergiring opini publik yang kontra terhadap poligami, yang dirancang oleh suatu kelompok politik tertentu untuk meraih suara 2009 (jika konsiderasi tersebut didasarkan pada tesis Bro Rijalul Imam). Tetapi perdebatan boleh tidaknya poligami haruslah tetap diselesaikan dengan cara yang arif dan bijaksana di kelak kemudian hari, sebagai solusi kebingungan ummat atas masalah ini.
Dalam tulisan Bro. Rijalul Imam, ada kalimat “disadari atau tidak, maraknya kecaman-kecaman atas ketidaksepakatan poligami yang dilontarkan elit-elit politik itu berkesan berani mengecam al-Qur’an”, kemudian kalimat “Partai Islam (atau yang berbasis Islam) ketika menghadapi isu ini nampak lebih sekuler”. Dari pernyataan pertama Bro. Rijalul Imam menekankan kecaman beberapa elit politik terhadap al-Quran, hal ini disadari atau tidak karena ketidaksetujuan Bro. Rijalul Imam terhadap kelompok yang kontra terhadap poligami, padahal poligami tersebut, menurutnya jelas-jelas diperbolehkan oleh agama dengan syarat orang yang berpoligami harus berlaku dan bertindak adil. Dugaan diatas semakin jelas jika kita perhatikan kalimat “yang jelas apapun latar belakangnya, kenyataannya dengan tindakan Rasulullah ini berarti Islam membolehkannya”. Kalimat kedua adalah didasarkan atas dugaan Bro. Rijalul bahwa telah terjadi kecenderungan proses sekuralisme dalam tubuh partai politik yang mendasarkan ideologinya pada Islam.
Saya sangat kaget membaca pernyataan Bro. Rijalul Imam terhadap dua kalimat tersebut, saya mencoba untuk menelusuri sebab timbulnya pernyataan tersebut, namun saya menyerah pada suatu kondisi dimana umat lagi-lagi dibingungkan dengan masalah “otoritas penafsir Quran dan Sunnah”, siapakah yang benar-benar punya hak untuk menyatakan bahwa interpretasi Saya lah yang paling benar?.
Akhirnya saya berusaha untuk menelaah kemudian membelah masalah tersebut menjadi dua konteks pendekatan, dengan maksud melihat duduk perkaranya secara jernih. Yaitu konteks Agama, dan konteks Politik.
Konteks Agama
Lagi-lagi ketika prinsip-prinsip agama bersentuhan atau mencoba berbaur dengan publik, selalu terjadi pro dan kontra, baik yang mendukung prinsip tersebut ataupun yang menolaknya. Kasus poligami sama seperti halnya kasus bunga bank yang dikategorikan sebagai riba, hal ini memicu perdebatan sengit diantara para ahli hukum Islam, apakah bunga bank, baik bunga simpanan ataupun bunga pinjaman termasuk riba yang diharamkan dalam Al-Quran?, ataukah bunga bank konvensional yang sekarang dominan menguasai operasional perbankan itu tidak termasuk riba karena berbagai alasan dan argumen, lagi-lagi argumen dan alasan tersebut merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah. Begitu juga pihak yang mengklaim bahwa bunga bank konvensional apapun jenisnya apapun besarnya dikategorikan sebagai riba yang dilarang Al-Quran dan Sunnah, lagi-lagi argumen dan klaim mereka merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah.
Perdebatan poligami pun terbelah menjadi dua argumen, yang membelanya dengan syarat adil, dan yang menolaknya dengan berbagai argumen. Salah satu ulama yang menolak poligami dilakukan pada zaman sekarang adalah Muhammad Abduh (1849-1905), Abduh membolehkan poligami hanya kalau sang istri tidak mampu memberikan keturunan. Poligami, kata dia, diperbolehkan karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang. Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat mati dalam peperangan. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu. Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-keluarganya. Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik.
Dalam konteks zamannya (Abduh meninggal tahun 1905), keadaan telah berubah. Poligami, papar Abduh, justru menimbulkan permusuhan, kebencian, dan pertengkaran antara para istri dan anak. Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.
Pada akhir tafsirnya, Abduh mengatakan dengan tegas poligami haram (qath’i) karena syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin dipenuhi manusia. Pernyataan Abduh kembali ditegaskan dalam fatwanya tentang hukum poligami yang dimuat di majalah Al-Manar edisi 3 Maret 1927/29 Sya’ban 1345, Juz I, jilid XXVIII, yaitu poligami hukumnya haram. Adapun QS An Nisaa ayat 3 bukan menganjurkan poligami, tetapi justru sebaliknya harus dihindari (wa laysa fii zaalika targhiib fii al-ta’diid bal fiihi tabghiid lahu). (Republika online: http://www.republika.co.id edisi jumat, 8 desember 2006).
Adapun ulama maupun cendekiawan muslim
“Menurut DR Ahmad Satori, Ketua umum Ikadi (Ikatan Dai
Satori mengisahkan seorang sahabat Gilan ibnu Ummayah ats Tsaqafi yang ketika itu memiliki 10 istri, ingin memeluk Islam bersama-sama seluruh istrinya. Rasul SAW memerintahkan Gilan untuk menceraikan yang enam. ''Talaklah yang enam, sisakan yang empat kalau kamu bisa berbuat adil.''
Ia menyebutkan, kata adil dalam ayat tersebut memiliki tiga makna; adil jatah, adil materi dan adil hati. Contoh adil materi, kalau istri diberi rumah seharga Rp 200 juta, maka istri kedua pun diberi rumah seharga yang sama. Kalau istri diajak jalan-jalan ke luar kota atau ke luar negeri maka istri pertama pun harus diberlakukan sama. ''Jadi tidak boleh ada perbedaan dalam pemberian materi."Sedang pakar hadis Prof Ali Musthafa Ya'qub menegaskan poligami adalah sesuatu yang sudah qath'i, sudah pasti dibolehkan dalam Islam. Dalam Alquran surat an-Nisa ayat 3, kata kerja yang digunakan dalam ayat tersebut adalah fi'il amr) yakni kata kerja perintah. "Adil adalah konsekuensi yang harus ditanggung bila seseorang berani berpoligami," ujarnya.
Ali mengakui, Rasulullah SAW berpoligami tidak didorong oleh nafsu syahawat. ''Tapi berdasarkan dorongan-dorongan yang bersifat sosial, dorongan dakwah. Jadi, poligami Rasulullah SAW itu motifnya adalah motif pendidikan, dakwah, sosial, dan motif penghormatan."
Ia mencontohkan ketika Rasulullah SAW menikahi putri Abu Bakar dan putri Umar bin Khaththab. "Dua orang ini adalah yang paling membela perjuangan Rasulullah SAW dan tidak ada penghormatan yang lebih besar bagi kedua orang itu, kecuali keduanya dijadikan sebagai keluarga nabi,'' tegasnya.
Prof Ali juga menegaskan dari pada seseorang melakukan maksiat dengan berpacaran atau selingkuh, maka poligami bagi orang seperti itu lebih baik.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof DR Nabila Lubis menyayangkan masih kurang dipahaminya poligami oleh umat Islam. Ia khawatir, hal ini bisa membuat bahan tertawaan oleh umat non Muslim. ''Padahal, poligami merupakan salah satu hukum yang sudah dibuat begitu rapih oleh Yang Mahakuasa untuk menjamin berbagai maslahat dalam masyarakat, " ujarnya.
Poligami, kata dia, diperbolehkan, tapi bukan dinyatakan wajib. Poligami hanya satu jalan keluar apabila terjadi salah satu masalah dalam perkawinan. Kalau pun terjadi, maka ada syarat-syaratnya,'' tegasnya. Tanpa ada satu alasan yang membenarkan dilakukannya poligami -- semisal sang istri tidak bisa memenuhi kewajibannya -- maka poligami di matanya berarti ia hanya mengikuti hawa nafsu.
Bila mengikuti sunah Rasul, maka Rasulullah berpoligami setelah istrinya, Khadijah RA meninggal dunia. Rasulullah juga bermonogami selama lebih
Pandangan yang sama diungkapkan salah seorang ketua PP Aisyiyah DR Masyitoh Chusnan. Memang dalam Alquran disebutkan berpoligami itu diperbolehkan. ''Hanya saja ada syaratnya. Syarat inilah yang kurang diperhatikan oleh para pelaku poligami. Alquran itu dengan jelas membolehkan poligami asal bisa berlaku adil. Kalau tidak bisa berbuat adil, artinya tidak boleh," ujarnya.”
Lagi-lagi dalam konteks agama kita menghadapi kendala kemampuan akal dalam merespons maksud Al-Quran secara tepat, dalam kasus poligami saja kita mendapati beberapa pendapat yang berkembang, baik yang melarang maupun yang memperbolehkannya. Masing-masing pihak bersandar pada nash tertentu tetapi yang dominan adalah peran akal dalam menerjemahkan nash tersebut. Itulah hasil ijtihad manusia, dan hasil ijtihad tidak equivalen dengan Al-Quran itu sendiri, dalam ijtihad ada campur tangan pemikiran manusia dalam menyimpulkan sebuah hukum. Oleh karenanya, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Muhammad Akram Laldin (pengamat syariah dan fiqh) “In the case of utmost professional integrity and diligence of the interpreter, the result of Ijtihad is always “right” with respect to ijtihad”. Maksud dari pernyataan ini sebenarnya untuk mengakomodasi setiap hasil ijtihad sehingga tidak menyebabkan konflik yang makin meruncing akibat perbedaan hasil ijtihad, dengan mengatakan bahwa setiap hasil ijtihad akan dinilai “benar” sebagai penghormatan terhadap ijtihad itu sendiri. Kemudian dia menyebutkan hadits nabi yang terkenal dalam menjembatani hasil ijtihad yang berbeda-beda tersebut: “jika hakim (ahli hukum Islam) membuat keputusan tepat maka baginya dua pahala, jika hakim memutuskan kemudian salah, maka baginya satu pahala).
Dulu, Imam Syafii mengkritik konsep istihsân mazhab Abu Hanifah. Kalau cara dan argumentasi Imam Syafii itu kita gunakan sekarang, dia bisa dipakai untuk mengkritik konsep qiyâsh yang diajarkan Imam Syafii sendiri. Jadi ijtihad selalu membuka peluang kritik.
Apa arti semua itu? Dalam konteks menyikapi perbedaan penafsiran Al-Quran, maka kita harus mengembangkan sikap tawâdlu` atau rendah hati dan terus menerus mengupayakan pencerahan intelektual ummat, yang salah satunya bisa diraih melalui media itjihad. Dalam hal ini saya sependapat dengan Kang Djalaluddin Rahmat yang mengatakan “bahwa semua fikih mengandung unsur manusia di dalamnya. Karena itu, semua fikih mengandung unsur kesalahan. Anda tentu tahu ucapan seorang ulama: fikih dia benar, tapi mengandung kemungkinan keliru (ra’yî shawâb wa yahtamilul khata’); begitu juga sebaliknya. Saya tidak tahu sejak kapan aliran mushawwibûn itu tersingkir dari masyarakat dan diambil-alih aliran mukhatti’ûn. Tapi tampaknya, aliran yang suka menyalah-nyalahkan orang itu muncul sejak adanya aliran pembaharuan yang juga suka menyalah-nyalahkan”.
Atas dasar pemikiran tersebut, Saya “bingung nih” atas dasar apa Bro. Rijalul Imam menyatakan ‘disadari atau tidak, maraknya kecaman-kecaman atas ketidaksepakatan poligami yang dilontarkan elit-elit politik itu berkesan berani mengecam al-Qur’an”. Mengecam dalam arti karena mereka tidak setuju dengan poligami atau mengecam karena mereka mempermainkan isu ini menjadi isu politik? Untuk alasan pertama, yaitu mengecam karena mereka mengikuti pendapat Poligami tidak diperbolehkan pada zaman ini, kayaknya kecaman tersebut “keras sekali” dalam konteks keagamaan dan cenderung kurang tepat. Sedangkan mengecam bahwa mereka sengaja mempermainkan nash AlQuran yang masih dalam perdebatan untuk dijadikan komoditas politik yang menguntungkan golongan politik tertentu, maka maka saya sependapat dengan Bro. Rijalul Imam, harus dikecam habis-habisan sampai titik darah penghabisan. (militan bangeut yah?? J).
Satu lagi, Saya masih mencoba untuk mengerti tetapi gagal terhadap pernyataan Bro. Rijalul Imam bahwa “Partai Islam (atau yang berbasis Islam) ketika menghadapi isu ini nampak lebih sekuler”. Tesis penulis tentang penomena ini lebih “mengerikan” daripada tesis pertama, dalam tesis ini seolah-olah mengatakan bahwa partai islam yang berideologi Islam nampak lebih sekuler. Saya yakin Bro. Rilalul Imam mempunyai bukti-bukti dan analisis sehingga sampai pada kesimpulan ini. Penomena ini kalaupun benar jelas-jelas merupakan ancaman bagi kelangsungan “keberagamaan” di Indonesia, khususnya ummat Islam. Kalau dahulu sekularisme menampakan diri secara sembunyi-sembunyi, undercover, laten alias tidak terlihat. Maka sekarang sekuralisme menampakkan diri terang-terangan, dengan mempublikasikan sikap sekuralismenya kepada media untuk diketahui oleh masyarakat umum. Kalau dulu Alm. Nurcholis Madjid menyatakan “Islam Yes, Partai Islam No”, ungkapan tersebut bagi penentang sekuralisme menyatakan seolah-olah beliau mau memisahkan nilai-nilai Islam dari panggung politik, bagi mereka yang pro mengatakan Islam jangan dibawa ke panggung politik, nama islam jangan dijadikan sebagai komoditas politik, justru sebaliknya tanpa nama Islam pun, ruh Islam bisa masuk kedalam sendi-sendi politik. Maka sekarang berdasarkan tesis Bro. Rijalul Imam, penomena sekularisme menjadi dahsyat lagi, menjadi “Sekuralisme Yes, Partai Islam Yes”. Karena yang mempertontonkan sekuralisme jelas-jelas partai Islam. Saya kira, pernyataan Bro. Rijalul Imam tentang hal ini perlu dipertajam argumentasinya sehingga tidak “mengambang” sebagaimana sekarang dipahami oleh penulis, alasan partai Islam cenderung sekuler harus disertai dengan fakta dan analisis yang komprehesif sehingga pernyataan itu menjadi jelas sudut pandang dan cakupannya (punteun Jal, upami tiasa eta oge, abdi nuju tertarik pisan kana masalah politik dan ekonomi yeuh). Jika partai Islam sekarang cenderung sekuler maka yang terjadi adalah contradictio in terminis. Sebuah hasil pemikiran yang bertolak belakang, sehingga berdasarkan hukum klasik dunia pemikiran hal tersebut tidak valid. Karena sebagaimana yang dipahami oleh penulis, Islam dengan sekuler itu sesuatu yang bertolak belakang, keduanya dibangun berdasarkan worldview yang berbeda, yang pertama mendasarkan worldview secara comperehesif and universal antara here and hereafter yang terintegrasi secara utuh, berdasarkan wahyu (Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan sekuler menyatakan bahwa “only this world is real. Hence, any reference to the ‘hereafter’ is irrelevant”.
Masalah Islam dan sekularisme ini sudah panjang lebar dikemukakan oleh Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya "Islam and Secularism". Kesimpulan beliau adalah “Sekularisme adalah memusuhi Islam dan proses sekularisasi memang ditujukan untuk melawan Islam. Oleh sebab itu istilah-istilah seperti sekularisme, sekularisasi, dan sekular itu sendiri tidak boleh dihubung-hubungkan dan dikait-kaitkan dengan Islam. Bahkan terjemahan perkataan sekularisme dalam bahasa Arab seperti 'ilmaniyyah' atau 'almaniyyah' adalah tidak tepat sama sekali, karena tidak ada padanannya dalam konsepsi Islam. Begitu juga pemikir Islam yang lain seperti Prof. Dr. Yusuf al-Qaradawi, menyatakan pendapat yang sama bahawa “sekularisme dan sekularisasi itu berbeda dengan Islam dan akan sentiasa berkonfrantasi dengan Islam, (buku "al-Islam wa al-'Ilmaniyyah Wajhan li Wajhin").
Konteks Politik
Dalam konteks politik
Dalam konteks politik pernyataan-pernyataan Bro. Rijalul Imam sah-sah saja, selama ada analisis dan tidak cenderung menjustifikasi atau menebak-nebak. Analisis dan argumentasi adalah hal yang wajar dalam dunia intelektual.
Jadi menurut penulis, sesuatu yang berhubungan dengan agama harus disikapi dengan hikmah, dengan hati-hati karena penafsiran nilai agama terhadap lingkungan publik sangat sensitif dan rentan terjadi gesekan, yang bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak “musuh Islam” untuk memecah belah ummat.
Yang dikhawatirkan adalah Politik mempoligami Islam dan Sekuler, ini terjadi ketika partai politik mempergunakan nama Islam sebagai komoditas politik untuk menarik simpati, tetapi sekuler dalam implementasi program politiknya ataupun dalam pemikirannya. Naudubillahi min da’a lika. Wallohu a’lam bishowab.
No comments:
Post a Comment