Translate
Thursday, December 24, 2009
Fiqh as it is
Thursday, December 17, 2009
Waqf and Privatization
The Education of Islamic Economics and Finance Worldwide
The surfacing of educational programmes in level of diploma, under and postgraduate on Islamic economics and finance seems to be a mushroom in the rain that expands to not only the muslim countries but also the westerns. The types of these educations vary based on its purposes. However, generally, there are three types of generic curriculums, which are focused on law approach, focused on economics approach, focused on finance and banking approach. The first and the latter are the most offered by these institutions. The rational is that the development of Islamic economics is heavily dominated by the Islamic banking and finance.
In case of United Kingdom, there are many higher educational institutions, which offer the programme such as Durham Islamic Finance Programme (DIFP) Durham University, ICMA Reading University, Loughborough University, Markfield Institute of Higher Education (MIHE) behind the Islamic foundation, Finance and Law with Islamic Finance Newcastle University. The programme also offered in Germany such as Ecole de Management Strasbourg, United States such as in Harvard Law School, Rice University, and so on.
In South East Asia region, the countries which are very serious about developing the programme of Islamic economics and finance are Malaysia and Indonesia. Malaysia has been established the programme seriously since the inception of the project of Islamization of Knowledge (IoK) by establishing the International Islamic University Malaysia which was supported by the Organization Islamic Conference (OIC) about thirty years ago. In the 2005, Bank Negara of Malaysia established the International Center for Education of Islamic Finance (INCEIF) as the official educational institution behind the financial authorities to foster the Islamic finance programme in the international level. The other one is Indonesia, which is trying to make sure its market of the high demand of Islamic economic and market. There are a lot of universities in Indonesia that offer the programme such as Indonesia University behind the Middle East Studies Programme, Islamic Finance Programme Trisakti University, Syariah Management Programme Padjajaran University, Faculty of Economics Airlangga University, State Islamic Universities, Bandung Islamic University, Tazkia Higher Educational Institution (STIE Tazkia), SEBI, and so on.
As a result the programme of Islamic economics and finance will be definitely different each others since the different purposes of its various curriculums.
Yudi AF
Wednesday, December 9, 2009
A highlight of contemporary sukuk: its characteristics
Financial Uncertainty
Ketika Anthony Giddens menulis The Consequences of Modernity, para pakar manajemen dibuat hopeless dan kalang-kabut, menurutnya akibat dari modernitas yang sangat cepat, dunia tempat kita hidup ini seperti truk besar sarat muatan yang meluncur tanpa rem. Meminjam statement Gede Prama bahwa para penganut teori masyarakat industrial – di mana banyak pakar manajemen meminjam pijakan – memang sedang dibuat runtuh oleh Anthony Giddens. Oleh karena itulah, bisa dimaklumi kalau manajemen sudah mulai kehilangan kepercayaan dirinya dalam menjelaskan perkembangan mutahir.
Pun dalam dunia manajemen bisnis dan keuangan, para pakar sedang dibuat bimbang dengan teori-teori yang selama ini mereka anggap mapan untuk mencapai kestabilan sektor keuangan ternyata tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Tidak tanggung-tanggung, krisis hampir terjadi dimana-mana hampir semua negara yang menerapkan sistem kapitalisme.
Roy Davies dan Glyn Davies (1996) dalam buku The History of Money from Ancient Time to Present Day, menguraikan sejarah kronologis krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut mereka, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa secara rata-rata, setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia. Krisis ekonomi telah terjadi sejak tahun 1907, 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1998-2001, 2008 – sekarang.
Fakta tersebut seolah mengekspresikan bahwa sistem keuangan yang dibangun adalah sistem keuangan yang penuh dengan ketidakpastian dan ketidakjelasan, alias uncertainty, alias gharar. Lebih-lebih sistem tersebut bersenyawa dengan sifat serakah manusia yang menginginkan keuntungan dengan segala cara dan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.
Tidaklah mengherankan kemudian terjadi krisis mortgage di Amerika Serikat, yang dibangun dari sistem financial uncertainty. Dimana hak tagih pinjaman perumahan dari warga Amerika Serikat, diderivasi menjadi security dalam beberapa level kemudian dijual di pasar sekunder layaknya sebuah komoditas real, sehingga nilai utang perumahan yang nilai awalnya $x menjadi $xxxxx dan dimiliki oleh berjuta-juta orang, sungguh fantastis cara kerja derivatif yang penuh dengan ketidakpastian dari aset yang diperjualbelikan.
Dari perspektif keuangan Islam, jangan sampai para pakar keuangan Islam membawa sistem keuangan Islam masuk menjadi salah satu penumpang dalam truk besar tanpa rem tadi dengan membuat struktur produk keuangan Islam yang secara esensi sama dengan produk derivatif konvensional yang terbukti sudah gagal dalam membawa kesejahteraan dan kestabilan sistem keuangan.
Wallaho A'lam bishowab.
YAF
Menimbang Fungsi Perbankan Islam dalam Investasi
Secara umum, perbankan konvensional melaksanakan dua fungsi perbankan yaitu penghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk deposit dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit (loan). Sistem perbankan konvensional memproteksi dana deposan beserta keuntungannya (bunga) serta dalam banyak sistem dana deposan tersebut digaransi oleh pihak ketiga seperti Lembaga Penjamin Simpanan dalam kasus di Indonesia. Di lain pihak, peminjam dana atau debitur diwajibkan mengembalikan dana pinjaman beserta keuntungan bank (bunga pinjaman), selain itu debitur juga diwajibkan menyediakan jaminan (collateral) sebagai instrumen untuk mencegah terjadinya resiko kegagalan bayar di akhir masa pinjaman.
Jika mencermati fungsi dan mekanisme perbankan konvensional diatas, sebenarnya yang terjadi bukanlah implementasi dari fungsi perbankan sebagai mesin perekonomian (engine of economy), tetapi secara esensi fungsi perbankan tersebut bersifat pasif, mengingat mekanisme yang dijalankan tidak fleksibel dalam menghadapi fluktuasi perekonomian. Dengan kata lain, system perbankan konvensional telah mengasumsikan bahwa usaha yang dijalankan oleh debitur pasti menghasilkan keuntungan, asumsi ini kemudian diintegrasikan ke dalam system perbankan dimana dalam setiap transakti pinjaman debitur sudah dikunci agar mengembalikan uang pinjaman beserta bunganya. Mekanisme tersebut mengabaikan peminjam dengan orientasi produktif, karena dalam kasus terakhir debitur akan dihadapkan kedalam tiga kemungkinan yaitu untung (get positive return), balik modal (get no return), ataupun rugi (get negative return). Dalam teori modern tentang ventura (theory of venture), ketiga kemungkinan dalam bisnis tersebut dijelaskan secara rinci. Tetapi pihak perbankan konvensional tidak mengakomodasi hal tersebut, bahkan kalau ditelaah lebih dalam, pihak perbankan juga telah mengunci factor kegagalan dengan cara mentransfer resiko (risk transfer) kegagalan ke debitur dengan cara meminta jaminan yang nilainya lebih besar daripada dana yang dipinjam oleh debitur.
Mekanisme perbankan konvensional tersebut tidak akan dijumpai di perbankan Syariah, karena perbankan Syariah mempunyai mekanisme untuk mengakomodasi fluktuasi perekonomian. Mekanisme kerja perbankan Syariah sebagai fungsi intermediasi tidak berbeda dengan perbankan konvensional yaitu menghimpun dana dari masyarakat (surplus unit) dan menyalurkannya kembali ke masyarakat (deficit unit). Salah satu perbedaan yang sangat mencolok adalah bahwa di perbankan Syariah kecenderungan bisnis secara alami yaitu menghasilkan untung, tidak untung tidak rugi alias balik modal, dan rugi tersebut diakomodasi oleh mekanisme bagi untung dan bagi rugi (profit and loss sharing). Salah satu contoh praktisnya adalah produk mudharabah,yaitu suatu produk untuk membiayai bisnis dimana bank Syariah sebagai penyedia dana melakukan kontrak kerjasama (partnership contract) dengan nasabah peminjam atau klien sebagai pebisnis (mudharib) untuk melakukan suatu usaha tertentu. Dalam praktek tersebut tidak ada mekanisme menggaransi modal kembali plus keuntungannya kepada pihak bank (guaranteeing return of the principal). Jika usaha menguntungkan maka akan dialokasikan kepada bank dan pebisnis sesuai dengan nisbah (ratio bagi hasil) dari keuntungan yang didapat, jika rugi maka pihak bank akan menanggung kerugian tersebut berdasarkan kontribusi modal bank, sedangkan pihak pebisnis menanggung kerugian waktu, tenaga dan pikiran.
Praktik produk profit and loss sharing tersebut akan berdampak positif terhadap iklim investasi terutama sector riil di Indonesia. Selain itu, dengan produk tersebut akan dapat menjangkau semua elemen masyarakat. Baik level bawah yang selalu indentik sebagai kaum unbankable karena tidak mempunyai asset untuk dijadikan jaminan sebagai kunci untuk membuka akses terhadap perbankan, ataupun level menengah yang selalu dinamis dalam menciptakan ide-ide bisnis, bahkan level atas atau level high net worth individual (HNWI) yang “kebingungan” dalam menginvestasikan uangnya yang berlimpah.
Secara kontras, bank Syariah tidak memposisikan pinjaman sebagai utang nasabah yang harus dibayar plus “keuntungan” alias bunga tertentu, tetapi lebih kepada memfasilitasi pebisnis dengan modal (capital) thus perbankan Syariah memainkan peran aktif dalam perekonomian terutama dengan semangat mengakomodasi fluktuasi perekonomian terutama di sektor investasi. Artinya selain sebagai engine of economy, perbankan Syariah juga berfungsi sebagai mesin wirausaha (entrepreneurial engine). Implikasi fungsi kedua tersebut akan sangat luas dalam mendidik industri perbankan dan masyarakat terutama dalam upaya menciptakan atmosfer keadilan, kesetaraan (fair relationship), dan kebersamaan yang sangat diperlukan dalam upaya pembangunan Indonesia kedepan. Wallohu Alam bishowab.
Yudi Ahmad Faisal
Kandidat Chartered Islamic Finance Professional (CIFP) INCEIF
Dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung dan Anggota ISEFID KL
Membicarakan penggunaan terminology memang sangat menarik, ada kalanya diskusi tentang konteks dan teks selalu menimbulkan kontroversi. Katanya teks selalu gagal dalam memahami realitas yang sangat kompleks, sedangkan konteks dikatakan terlalu menghamba kepada kepentingan rasionalitas, sehingga ketika teks di kontekstualisasikan selalu ada unsur pemikiran manusia yang sangat mendominasi hasil dari sebuah pemikiran terhadap sesuatu.
Dalam bidang teologi, perbincangan antara teks dan konteks selalu sengit. Bagi mereka yang pro terhadap tekstualisme dalam menerjemahkan Al Qur’an misalnya, beranggapan bahwa dalam menerjemahkan al Qur’an harus selalu merujuk kepada makna bahasa dan penjelasan para ulama terhadap historical background dari perkembangan makna tersebut. Bagi mereka yang pro penerjemahan secara kontekstual, Al Qur’an harus selalu berdialektika dengan dunia kontemporer atau kekinian. Oleh karenanya penerjemahan Al Qur’an harus selalu dikontekstualisasikan dengan setting kontemporer.
Dalam dunia ekonomi dan keuangan Islam, perdebatan antara teks dan konteks termasuk hal yang tidak bisa terhindarkan. Teks direpresentasikan dengan istilah “form”, sedangkah konteks dengan istilah “substance”, sehingga ada kalanya penulis atau pengamat ekonomi dan keuangan Islam memberikan judul yang bombastis tentang perkembangan ini. Misalnya judul “form vs substance”, yang membicarakan mengenai perdebatan intelektual tentang pengkreasian produk-produk berbasis Syariah, apakah cukup dengan mengambil produk dari fiqh (Islamic commercial law) sehingga disebut sebagai fiqh based product, ataukah perlu dikombinasikan dengan unsur lain seperti maqoshid as Syariah (tujuan-tujuan Syariah). Bagi mereka yang pro dengan pendekatan kedua, merasa bahwa dengan hanya mengembangkan produk berdasarkan pendekatan fiqh maka akan menjurus kepada kekuan, karena tidak bisa berdialektika dengan realitas diluar definisi dan batasan fiqh itu sendiri terutama realitas sosio-ekonomi.
Contoh perdebatan mengenai form vs substance contohnya bisa kita temukan dalam perdebatan mengenai produk bay al innah (jual & beli kembali) ataupun produk tawarruq.
to be continued..
tpp
Friday, June 12, 2009
Waktu # Uang Bagian 1
Pertanyaan sederhana untuk menjawab hipotesis diatas adalah "Apakah hidup Anda Bergantung kepada Uang?", jika dalam hidup selama ini, Anda kekurangan uang dan Anda merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut, maka jawaban Anda "Ya", jika dalam hidup selama ini kekurangan uang yang Anda alami dirasa tidak mempengaruhi kualitas kehidupan Anda, berarti Anda tidak bergantung kepada uang.
Dalam berbagai cara orientasi terhadap uang ini diwujudkan bahkan dalam kehidupan relijius, contohnya "niat" dalam melaksanakan sholat dhuha adalah untuk mempermudah mendapatkan "rizki" alias uang, niat sholat Tahajud untuk dimudahkan mendapatkan deal-deal bisnis, posisi/jabatan yang mapan, untuk dimudahkan mendapatkan kesempatan bersekolah, dll. bukankah "innamal a'maalu binniyyat" bahwa segala bentuk amalan tergantung kepada niat, jika dalam beribadah selama ini niat Anda adalah selain mengharap keridhoan Allah (Seeking Pleasure of God) maka itulah kualitas ibadah Anda, serajin apapun Anda Sholat Tahajud, sesering apapun Anda melaksanakan sholat berjamaah di Mesjid.