Dengan menggunakan qiyas-an yang
sama, manfaatkanlah segala kemuliaan, dan “discount” pahala dan kebaikan langit
selama bulan Ramadhan, unless, kata
orang sini, kita akan melewati bulan ini dengan hampa, dan kesia-siaan. Sebuah
hadits memperingatkan kita bahwa “berapa banyak orang berpuasa yang tidak
mendapatkan apa-apa kecuali haus dan lapar”.
Para ulama besar kita, sebagai
pewaris para nabi (al-ulama warosatul
anbiyaa) telah meniti jalan keshalehan untuk diikuti sehingga puasa kita
tidak terjebak kedalam rutinitas hampa, tanpa makna, dan pahala. Imam
Al-Ghazali, salah satunya, penulis magnum opus “ihya ulumuddin” (menghidupkan
kembali agama) dalam salah satu tulisannya “Inner Dimensions of Islamic
Worship” menerangkan tiga derajat (tingkatan) berpuasa, yaitu shaum umuum (puasa umum), shaum khusus (puasa khusus), dan shaum khususil khusus (puasa paling
khusus). Tiga derajat ini dinisbatkan kepada sifat-sifat orang yang berpuasa.
Mereka yang berpuasa sekadar menahan diri dari makan dan minum, maka puasa
orang seperti ini sangat umum dan hanya sebatas menahan diri dari perbuatan
yang membatalkan puasa secara dzahir.
Lain lagi dengan orang saleh, mereka meningkatkan kualitas dan tingkatan puasa
dengan menahan semua organ tubuh dari perbuatan-perbuatan yang bisa
menjerumuskan kedalam kubangan dosa. Bagi mereka organ-organ tubuh bisa menjadi
pintu masuk yang menggerogoti keabsahan puasa. Mata, telinga, mulut, kemaluan,
tangan, kaki, dan semua unsur badan berpotensi membawa krikil-krikil dosa
jasmaniah dan merusak kualitas puasa.
Selanjutnya puasa paling khusus.
Puasa model ini dikerjakan oleh Para Nabi, Hamba Allah yang dekat dengan-Nya. Menurut
al-Ghazali, hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini. Tingkatan ini sudah
menaklukkan tantangan jasadiyah, dan hanya mengalihkan pikirannya untuk Sang
Maha Pencipta. Jikalau terlintas sedikit tentang orientasi duniawi dalam alam
pikirannya, maka dianggap menurunkan derajat tingkat ketiga ini. Dalam bahasa
Al-Ghazali, “Bila dalam diri kita telah tumbuh kerinduan untuk bertemu dengan
Allah SWT, dan bila keinginan kita untuk mendapatkan makrifat tentang keinginan-Nya
nyata dan lebih kuat daripada nafsu makan dan seksual, Anda berarti telah
menggandrungi taman makrifat ketimbang surga pemuas nafsu indrawi”.
Anggaplah bahwa puasa tingkatan
ketiga adalah perjalanan spiritual kita di anak tangga ke seribu. Untuk mendaki
jalan kesana, kita harus melalui anak tangga kesatu, kedua, dan seterusnya.
Al-Ghazali memberikan cara bagaimana kita memulai perjalanan spiritual untuk
mencapai derajat puasa orang-orang shaleh. Pertama, Menghindari dari
penglihatan yang dibenci oleh Allah SWT. Sebuah hadith menggambarkan pandangan
mata sebagai “panah beracun milik syetan”. Jika kita melepaskan anak panah ini dengan
penuh nafsu, maka kita memberi ruang syetan menggerogoti keimanan kita.
Kedua, Menjaga dan memelihara ucapan.
Dengan indah sebuah hadith menggambarkan puasa sebagai “a shield” atau perisai.
Perisai dari perkataan sia-sia, dusta, mengumpat, menyebarkan fitnah, berkata
kasar dan keji, dan melontarkan kata-kata permusuhan. “Jika ada orang yang
menyerang dan memakimu, katakanlah: Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa!”.
Benarlah firman sang Pencipta, “Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah
orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila
orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS.
Al Furqaan: 63). Lawanlah sikap pengecut dan penuh kedengkian, dengan akhlak
mulia. Lawanlah kata-kata dan prilaku kasar dengan kata-kata mulia dan penuh
kebaikan. Diceritakan dalam al-Qur’an bagaimana Allah memerintahkan Nabi Musa
dan Harun untuk menghadap Fir’aun dan tetap menjaga tutur kata yang lemah
lembut (qaulan layyinan), “Pergilah
kamu berdua kepada Fir’aun, sebab dia memerintah dengan sewenang-wenang.
Kemudian berkatalah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut (qaulan layyinan) semoga dia akan menjadi
ingat atau menjadi takut [kepada Tuhan]” (Q.S. 20: 43-44). Di ayat yang lain
dikatakan, “Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Lawanlah kejahatan dengan
sesuatu yang lebih baik, maka orang yang di antara engkau dan dia ada
permusuhan itu akan menjadi seolah-olah kawan yang sangat akrab” (Q.S. Fushilat
[41]: 34). Nabi memperingatkan kita, “man yuhramu al-rifqu yuhramu al-khair”
(siapa yang jauh dari sikap lemah lembut ia jauh dari kebaikan” (HR. Muslim). Dikatakan
dalam hadith yang lain, “sesungguhnya Allah yang Maha Lembut menyukai
kelembutan. Kelembutan yang menghasilkan sesuatu yang tidak dihasilkan oleh
kekerasan” (HR. Muslim).
Ketiga, Menjaga pendengaran. Menjaga
pendengaran dari segala sesuatu yang tercela; karena setiap sesuatu yang
dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk didengarkan. Al-Qur’an tidak
membedakan antara orang yang suka mendengar (yang haram) dengan mereka yang
suka memakan (yang haram), "Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan
yang tiada halal." (QS.5: 42). Cara terbaik adalah menjauhi pengumpat atau
berdiam diri. 'Jika engkau (tetap duduk bersama mereka), sungguh, engkaupun
seperti mereka ..." (Q.s. 4: 140). Itulah mengapa Nabi Muhammad
memperingatkan kita, "Yang mengumpat dan pendengarnya, berserikat dalam
dosa." (HR. At Tirmidzi).
Kelima, Menjaga Sikap Perilaku. Setiap
bagian dari organ kita bagaikan satu kesatuan yang mengukur baik atau tidaknya
perilaku kita. Mereka masing-masing akan bersaksi dihadapan pengadilan langit
apa yang telah mereka lakukan didunia ini. Alangkah baiknya jika kita resapi
syair lagu almarhum Chrisye.
“Akan datang hari
Mulut dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa
Tak ada suara
Dari mulut kita
Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita
Bila harinya
Tanggung jawab, tiba...
Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya
Sempurna
Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu
Yang hina”
Keenam, Menghindari memenuhi
kepuasan jasmaniah secara berlebihan. Ketujuh, Menuju Allah SWT dengan Rasa
takut dan Pengharapan. Puasa, kata seorang bijak, harus menghadirkan hati kita
seolah olah berayun antara takut (khauf)
dan harap (raja’). Tiada ada yang
mengetahui apakah amal kita diterima atau tidak, kecuali Sang Pencipta Hati dan
Sang Pembuka Rahasia Hati. Diceritakan, Dari al Hasan bin Abil Hasan al Bashri,
bahwa suatu ketika melintaslah sekelompok orang sambil tertawa terbahak bahak.
Hasan al Bashri lalu berkata, 'Allah swt. telah menjadikan Ramadhan sebagai
bulan perlombaan. Di saat mana Para hamba Nya saling berlomba dalam beribadah.
Beberapa di antara mereka sampai ke titik final lebih dahulu dan menang,
sementara yang lain tertinggal dan kalah. Sungguh menakjubkan mendapati orang
yang masih dapat tertawa terbahak bahak dan bermain di antara (keadaan) ketika
mereka yang beruntung memperoleh kemenangan, dan mereka yang merugi memperoleh
kesia-siaan. Demi Allah, apabila hijab tertutup, mereka yang berbuat baik akan
dipenuhi (pahala) perbuatan baiknya, dan mereka yang berbuat cela juga dipenuhi
oleh kejahatan yang diperbuatnya." Dari al Ahnaf bin Qais, bahwa suatu
ketika seseorang berkata kepadanya, "Engkau telah tua; berpuasa akan dapat
melemahkanmu." Tetapi al Ahnaf bahkan menjawab, "Dengan berpuasa,
sebenarnya aku sedang mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang. Bersabar
dalam menaati Allah SWT. tentu akan lebih mudah daripada menanggung siksa Nya."
Demikianlah shaum Ramadhan
mengajarkan kita untuk meniti anak tangga menuju kesadaran spiritualitas
tertinggi. Tingkatan yang harus melalui jalan-jalan keshalehan sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali. Harapan kita semua, Ibadah Shaum Ramadhan memberikan
inspirasi untuk kebaikan di Negara Kita. Haji Abdul Karim Malik Amrullah
(HAMKA) mengibaratkan Indonesia sebagai sebongkah tanah surga yang Tuhan
lemparkan ke dunia. Akan lebih baik, jika tanah surga ini dihuni oleh
orang-orang dengan akhlak surgawi.
Wallohu ‘alam bishowab.
Sydney, 22 Mei 2017
Yudi Ahmad Faisal
No comments:
Post a Comment