Pun dalam memberikan informasi, Si Fulan
adalah orang yang sangat hati-hati. Dia selalu memegang salah satu ayat yang
tertuang dalam Al-Qur’an, sebuah kitab suci yang menerangi sudut-sudut kegalapan
peradaban manusia, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan
sampaikanlah perkataan yang sadid”
(Q.S. 33:70). Si Fulan sadar betul bahwa kata sadid dalam ayat tersebut bukan hanya bermakna “benar”, tetapi kata
tersebut dalam berbagai bentuknya bermuara pada makna menghalangi atau
membendung (dalam arti yang tidak sesuai, sehingga menghasilkan sesuatu yang
berguna). Sehingga sebuah ucapan tidak saja diharuskan sesuai dengan
kandungannya dan kenyataannya, tetapi harus menjamin sasarannya tidak
terjerumus ke dalam kesulitan.
Si Fulan selalu berusaha menjelaskan
segala sesuai dengan hikmah penuh kebijaksanaan. Baginya benarlah apa yang
dikatakan Al-Qur’an, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S.
An-Nahl, 125).
Si fulan
selalu berempatik dalam menyampaikan sesuatu, dan berusaha menyampaikan sesuatu
dengan bahasa mereka. Dia sadar betul arti penting prinsip “likulli maqam
maqal wa likulli maqal maqam”, setiap tempat ada ucapan yang sesuai
dan untuk setiap ucapan ada tempat yang sesuai. Pun dia sadar bahwa melanggar
prinsip tersebut bisa menyebabkan seseorang jatuh pada penyesalan. Pepatah Arab
melukiskannya dengan kalimat, “terpelesetnya kaki lebih baik daripada
terpelesetnya lidah”.
Ingatannya pun tertuju pada ayat lain
yang menjadi pendahuluan dalam bab tawadhu karya Imam Nawawi dalam kitab
Riyadhus Shalihin, “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan” (Q.S. Al-Furqan ayat 63). Imam Nawawi menjelaskan ayat
ini dalam konteks kesombongan seorang hamba Tuhan. Sombong adalah ketika
seseorang tidak memiliki sifat-sifat yang dijelaskan dalam ayat tersebut, berjalan
di muka bumi dengan petantang-petenteng, berbicara kasar, dan mengucapkan
sumpah serapah ketika berpapasan dengan orang-orang jahil yang menghardik
mereka. Itulah kebalikan dari sifat sifat yang disematkan kepada “ibadurrahman”
alias hamba yang Maha Penyayang.
Si Fulan terus dicari dan dicari.
Seandainya si Fulan ada, niscaya kedamaian ada di negeri kami.
Salam
Yudi Ahmad Faisal
No comments:
Post a Comment