Translate

Thursday, May 31, 2018

Pandangan Ekonomi Islam Dawam Rahardjo

Suatu ketika di tahun 2003, saya menghadiri temu ilmiah nasional yang diselenggarakan disebuah kampus di daerah Kaliurang, Yogyakarta dihadiri para mahasiswa pengkaji dan aktivis ekonomi Islam dari seluruh penjuru tanah air. Acara tersebut menghadiahi saya peta gerakan termasuk diskursus ekonomi Islam di kampus-kampus. Disana pula untuk pertama kalinya, saya mengenal nama-nama seperti Adiwarman A. Karim, dan Syafii Antonio sebagai dua pendekar Ekonomi Islam Indonesia, dan Prof. Mubyarto sebagai begawan ekonomi Pancasila. Gayung pun bersambut, setiba di Bali saya kemudian mengafiliasikan organisasi yang saya pimpin dengan forum silaturahim studi ekonomi Islam (Fossei). Beberapa tahun kemudian, dalam sebuah training yang dipandu oleh Adiwarman A. Karim di kota Mataram, saya dihadiahi sebuah buku yang ditulis oleh Bang Adi, sebutan untuk Adiwarman Karim. Melalui buku inilah, untuk kali pertama, saya mengenal yang namanya Dawam Rahardjo sebagai penulis “Kata Pengantar”dengan judul “Menegakkan Syariat Islam di bidang Ekonomi”.


Dengan kapasitas Dawan Rahardjo sebagai presiden IIIT Indonesia (International Institute of Islamic Thought) pada saat itu, tidak heran Bang Adi meminta beliau untuk memberikan kata pengantar. IIIT dikenal dengan proyek “Islamization of Knowledge” yang diinisiasi oleh mendiang Ismail Raji Alfaruqi seorang intelektual Muslim di negeri Paman Sam keturunan Palestina. Keterlibatan Dawam Rahardjo di IIIT tidak terlepas dari wacana pemikiran beliau terutama menghadirkan pesan moral Islam dalam bidang ekonomi dan manajemen. Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang dimotori oleh IIIT seolah-olah senafas dengan warna pemikiran beliau selama ini. Dari perkenalan singkat melalui “Kata Pengantar” tersebut, saya mulai tertarik dengan pemikiran Dawam Rahardjo, dan mulai terbius dengan karya-karya beliau lainnya.


Dawam Raharjo dengan tegas berpandangan bahwa ekonomi Islam jangan terjebak pada pengembangan sector keuangan an sich. Pendekatan legalistic dengan menitikberatkan pada pelabelan Syariah dengan berkaca (mirroring) dan meniru (mimicking) keuangan konvensional bukanlah tujuan hakiki ekonomi Islam. Pengembangan ekonomi dan keuangan Islam wajib dikaitkan dengan tujuan-tujuan keadilan sosial (social justice) dan kesempatan berekonomi (economic opportunities) terutama masyarakat miskin. Pola pemikiran tersebut jika dilihat dari 3 arus besar metode pengembangan ekonomi keuangan Islam (ideal, pragmatis, dan liberal), beliau cenderung satu aliran dengan penganjur model idealis seperti Ahmad Al-Najjar pendiri institusi keuangan Syariah pertama di Mit Ghamr, Mesir. Mit Ghamr hadir di kawasan pemukiman orang-orang miskin untuk membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan. Orang-orang miskin yang menjadi target market Mit Ghamr adalah mereka-mereka yang tidak terakses oleh bank komersial karena dianggap sebagai “non-bank-able person”. Mit Ghamr bukanlah mesin pencetak profit bagi manajemen bank dan para pemilik saham (shareholders), tetapi sebagai institusi intermediasi sosial yang menjadi fasilitator bagi si kaya untuk berjumpa dengan si miskin baik dalam relasi sosial maupun relasi komersial. Fokus utama Mit Ghamr adalah pemberdayaan masyarakat (society empowerement). Mehmet Asutay menamakan model bank ini sebagai (Islamic) Social Bank, sebagai model yang paling dekat dengan konsepsi “homo-Islamicus”-nya ekonomi Islam, dimana manusia direpresentasikan bukan sekadar makhluk ekonomis pengejar keuntungan pribadi semata (self-interest), tetapi merupakan perpaduan yang seimbang antara makhluk relijius, sosial, dan ekonomi.


Sang begawan ekonomi Islam berpandangan bahwa untuk menghindari penekanan yang berlebihan pada model "legalistic economics" terutama melalui mirroring dan mimicking tersebut, ekonomi Islam harus mensinergikan tiga komponen utama (triple helix) material ekonomi Islam yaitu normativisme, positivisme, dan historis sosiologis. Pendekatan pertama merupakan konsekuensi logis dari menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pengetahuan utama dari disiplin ekonomi Islam. Pesan moral Islam yang termaktub dalam dwitunggal sumber normatif Islam tersebut harus digali dan dijadikan sebagai inspirasi dalam mengembangkan kelembagaan ekonomi Islam. Pendekatan kedua tidak terlepas dari proses validasi aspek normatif dengan menggunakan metode-metode sains mutakhir seperti matematika, statistik maupun ekonometrik. Sedangkan metode ketiga adalah metode historis sosiologis yaitu merangkum tradisi praktik ekonomi di jaman Nabi, para sahabat, dan peradaban Islam setelahnya. Dari ketiga material tersebut (Islamic economics triple helix) yang masih menjadi "home work" besar adalah metod terakhir.


Sang Professor Ekonomi Islam ini pun paham bahwa yang berkembang saat ini adalah “Islamic Legal Economics”, sebuah pendekatan yang didominasi oleh pendekatan hukum ekonomi Islam. Hal ini tidak terlepas dari berkembangnya kajian-kajian para pemikir ulama seperti Abu Yusuf, Abu Ubaid, Ibn Taymiyah, Al-Ghazali, dan ulama-ulama setelahnya yang menghasilkan dua jenis ilmu sekaligus, yaitu fiqh muamalah dan moral dan etika ekonomi. Dimana yang berkembang adalah kajian ekonomi fikih yang menjadi fondasi ekonomi Syariah dewasa ini yang memfokuskan diri pada ekonomi keuangan dan perbankan yang mengandung nilai instrumental yang tinggi.


Pada hari Kamis, 30 Mei 2018 bertepatan dengan hari ke-15 Bulan Ramadhan, kita kehilangan salah satu figur generasi awal dalam pengembangan diskursus ekonomi Islam tanah air. Innalillahi wainna ilaihi roojiun. Semoga karya-karya almarhum Dawam Rahardjo senantiasa menghiasi pemikiran ekonomi Islam dan menjadi amal jari'ah dan ilmu yang manfaat yang pahalanya tidak terputus meskipun ajal menjemput.


Terima kasih dan selamat jalan Dawam Rahardjo.


Sydney, 1 June 2018
Yudi Ahmad Faisal