Translate

Tuesday, February 28, 2017

Coretan tentang Diskusi Kesenjangan (Inequality)

 
Meskipun ekonomi global terus berkembang dalam beberapa dekade terakhir, tetapi jumlah orang dengan tingkat penghasilan kurang dari dua dollar Amerika per hari masih satu pertiga dari populasi dunia (data World Bank, IMF, OECD tahun 2015). Ratusan juta orang tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan, akses permodalan, pendidikan, air bersih, dll. Tumbuhnya perekonomian global ternyata beriringan dengan meningkatnya kemiskinan global.
Dua dekade terakhir juga memperlihatkan ketimpangan pendapatan yang luar biasa.  225 orang terkaya di planet Bumi diprediksi memiliki kekayaan setara dengan 40% populasi dunia[1]. Menurut Forbes, salah satu majalah terkemuka dunia yang selalu menghadirkan daftar orang terkaya di jagat raya, jumlah milyuner di dunia bertambah dari 306 di tahun 2000 menjadi 946 di tahun 2007. Kekayaan bersih mereka diperkirakan berjumlah 3.5 Trilyun Dollar[2]. Orang-orang “super-rich” ini diprediksi akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang (lihat laporan World Bank dan OECD).
Data-data mutakhir tentang “inequality” atau ketimpangan bisa kita temui dalam berbagai bidang selain ekonomi. Data-data tersebut harus dimaknai sebagai “fakta kehidupan” yang sejatinya tidak terlepas dari berbagai bidang keilmuan yang relevan seperti ekonomi, kajian agama, politik, sosial budaya, dll. Seaindainya hal tersebut tidak bisa terwujud, paling tidak kajian-kajian tentang “inequality” baik formal maupun informal menjadi alert bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberlangsungan peradaban dan kemanusiaan (stakeholders of civilisation and humanity).  
Pertanyaan yang membutuhkan perhatian adalah “Apakah yang dimaksud dengan “inequality”? “Apakah akar penyebab terjadinya “inequality”? Apakah mungkin inequality dapat dihilangkan ataukah hanya dikurangi kadarnya?. Diskusi atas pertanyaan-pertanyaan tersebut paling tidak sebagai muqoddimah dalam diskursus yang lebih komprehensif tentang tema-tema yang berkaitan dengan “inequality”. 

Mencari definisi “Inequality”
Dalam mendiskusikan “inequality”, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyamakan persepsi tentang definisi “inequality”. Hemat saya, semua manusia harus memiliki kesetaraan dalam mendapatkan kebutuhan dasar (basic needs), seperti pendidikan, kesehatan, kenyamanan, tempat tinggal, pekerjaan, akses permodalan, kesempatan yang sama dalam hal menyampaikan pendapat, dll (silakan Anda sebutkan). Dengan kesempatan yang sama, pencapaian manusia terhadap suatu hal bisa berbeda-beda. Permasalahan muncul ketika tidak semua manusia memiliki akses terhadap kebutuhan dasar ini (basic needs). Hilangnya kesempatan untuk mendapatkan kebutuhan dasar ini bukan hanya ditemui di negara-negara berkembang dan miskin, tetapi juga termasuk di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat.

Apakah Akar Penyebab ‘Inequality”
Salah satu faktor yang sering didiskusikan sebagai akar penyebab terjadinya ketimpangan adalah Kapitalisme. Kapitalisme tidak selalu diartikan sebagai sebuah sistem ekonomi, tetapi lebih dari itu dia mencakup cara pandang dan nilai-nilai bagaimana dunia ini harus dikelola. Dari Abad 17 sampai sekarang, paradigma kapitalisme mengalir bagaikan air bah yang menghantam apapun yang dia lalui. Francis Fukuyama melalui “The End of History” mengatakan bahwa kapitalisme termasuk ideologi akhir jaman, yang tidak akan ada ideologi yang bisa menyainginya. Kapitalisme menurut pandangan ini melakukan tiga upaya sistematis yang senantiasa beriringan untuk mencapai tujuan-tujuannya, yaitu: (1) ekspansi dalam bidang ekonomi, militer, dan budaya, (2) eksploitasi terhadap sumber daya alam dan manusia, (3) dan ekpansi nilai-nilai demokrasi melalui promosi Negara modern/nation state (lihat misalnya Mantoux, 1906). Ekploitasi sumber daya alam dan manusia melahirkan kolonialisme dan imprealisme, yang kemudian bermetamorposis menjadi globalisasi. Ekspansi ekonomi melahirkan industrialisasi. Ekspansi nilai-nilai demokrasi melahirkan nation state. Tiga hal tersebut yaitu globalisasi, nation state, dan industrialisasi membentuk pilar kapitalisme. Interaksi ketiganya dipandang menjadi penyebab terjadinya berbagai krisis global seperti perang, eksploitasi ekonomi dan sumber daya manusia, kehancuran ekosistem dan lingkungan, kelaparan, dll. Negara-negara kapitalis selalu mencari daerah geografis baru yang bisa dijadikan target industrialisasi mereka. Mereka berusaha untuk mengontrol factor-faktor produksi seperti tanah, sumber daya alam, modal, labour untuk motif keuntungan yang tidak terbatas. (silakan didiskusikan lebih lanjut mengenai thesis ini).

Faktor kedua yang seringkali dicap sebagai penyebab terjadinya “inequality” adalah sistem ekonomi yang salah kaprah. Ini merupakan irisan dari ideologi kapitalisme itu sendiri. Wall Street Journal dalam edisi “Boom in Financial Markets Parallels Rise in Share for Wealthiest Americans (December 10, 2007) menyatakan bahwa 1% pendapatan orang kaya Amerika Serikat melebihi 50% pendapatan populasi penduduk Amerika Serikat. Lebih lanjut dikatakan bahwa kekayaan the 1% richest Americans bertambah secara signifikan terutama melalui industri keuangan. Studi yang dilakukan oleh University of Chicago tahun 2004 menunjukkan bahwa para bankers Wall Street diperingkat 50% teratas dari the 1% richest Americans.

Sistem keuangan global tidak didisain sebagai mesin penggerak ekonomi sektor riil yang pro terhadap berbagai golongan ekonomi masyarakat, tetapi sebagai mesin pencipta kekayaan bagi para bankers, golongan masyarakat tertentu terutama menengah keatas, dan orang-orang “super-rich” yang ingin melipatgandakan uangnya tanpa melalui sektor riil. Dibuatlah instrumen-instrumen keuangan yang rumit termasuk didalamnya instrumen spekulatif. Sejarah pun membuktikan bahwa para Wall Street professional ini bertanggung jawab terhadap runtuhnya ekonomi AS pada 2008 (lihat misalnya Johnson & Kwak, 13 Bankers: the Wall Street Takeover and the Next Finanical Meltdown). Mereka menciptakan sebuah “global casino” dimana akumulasi dana yang mereka kumpulkan dari masyarakat tidak dialokasikan kepada sektor ekonomi riil, sektor yang bersentuhan langsung dengan transaksi ekonomi masyarakat secara umum, tetapi melalui sektor keuangan (financial markets). Lebih dari 70% aliran pendanaan disalurkan melalui sektor keuangan yang penuh dengan instrumen keuangan “beracun” misalnya derivatif, ie. Credit Default swaps, Mortgage backed securitisation (silakan di google dengan keywords “leverage during financial crisis 2008”). Cara kerja “global casino” ini sangat rumit yang melibatkan bankir, lawyers, dan para jenius lulusan-lulusan universitas ternama dunia (lihat bukunya Michael Lewis dengan judul the Big Short, tentang pengakuan mantan professional Wall Street, seorang jenius polos yang menciptakan mekanisme matematis rumit untuk mendapat keuntungan luar biasa dari instrumen-instrumen keuangan beracun tersebut). Akibat ulah permainan spekulatif para bankir ini, pasar keuangan Amerika mengalami kehancuran yang menyebabkan krisis keuangan global dan merambah ke berbagai Negara (untuk mengetahui alasan dampak sistemis kegagalan ekonomi Amerika terhadap berbagai Negara lainnya, cari di google dengan keywords systematic risks and financial globalisation). Pemerintah Amerika melalui kebijakan “too big to fails” mengeluarkan dana (bailouts) untuk menahan kebangkrutan beberapa pemain keuangan global diantaranya CitiGroup (yang kartu kreditnya sangat populer di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia) menyebabkan publik Amerika menanggung beban hutang the 1% richest Americans melalui penyesuaian pajak maupun pemotongan anggaran berbagai fasilitas sosial lainnya. Sebuah ironi jaman modern, dimana 1% terkaya Amerika mendapatkan “infaq” dari seluruh populasi Amerika. Masyarakat yang tidak tahu menahu tentang cara kerja industri keuangan harus menanggung hutang akibat ketamakan para bankir-bankir Wall Street ini. Contoh diatas merupakan salah satu diskursus yang berkembang di dunia akademis sebagai penyebab “inequality” terutama dalam spectrum ekonomi keuangan.

Adakah Solusi terhadap Penomena “Inequality” ini?
Penomena “inequality” merupakan bagian dari sejarah umat manusia itu sendiri. Dalam berbagai peradaban dunia, phenomena ini selalu muncul dan jadi perhatian para pemangku kepentingan pada jamannya masing-masing. Dari mulai agama, Negara, sampai kajian ekonomi dan sosial budaya, “inequality” ini selalu menjadi pusat perhatian.

Dalam konteks agama misalnya, kitab suci umat Islam Al-Qur’an menyebutkan bahwa “Jangan sampai harta itu berputar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu”. Secara literal, menurut pemahaman orang awam seperti saya, ayat ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an menekankan konsep distribusi pendapatan yang lebih adil dan merata dalam sebuah struktur masyarakat. Pertanyaan bagaimana mekanisme untuk mencapai distribusi pendapatan yang adil dalam konteks tersebut, dijawab para ahli dengan mengkaji konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan tata nilai ekonomi, seperti konsep pelarangan riba, zakat, infaq, wakaf, shadaqoh, etika bisnis dalam perspektif Islam, termasuk aspek political economy yaitu bagaimana peran Negara terhadap sebuah perekonomian, dll. Semua kajian-kajian tersebut bermuara pada pertanyaan bagaimana menciptakan sebuah masyarakat adil dan makmur termasuk didalamnya keadilan dalam distribusi pendapatan.

Dari sudut pandang yang lain, menciptakan pemerataan pembangunan dan pendapatan dapat dilihat dari diskurus antara kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme menekankan para mekanisme pasar untuk mencapai pembangunan termasuk pemerataan pendapatan, sedangkan sosialisme menekankan pada mekanisme Negara maupun struktur sosial kolektif untuk mencapai pemerataan tersebut. (silakan hal ini juga menjadi bahan diskusi).

Dari sudut pandang peran negara dan peran masyarakat sipil, apakah masalah ketimpangan ini menjadi tanggung jawab Negara saja atau termasuk juga organisasi sipil, atau masyarakat sipil melalui berbagai macam NGO atau ormas-ormas. Ahmad Dahlan, sebagai contoh, memberikan contoh solutif peran masyarakat sipil dalam mengurangi “inequality”. Keberadaan sekolah-sekolah, rumah sakit, panti-panti Asuhan, dan amal usaha lainnya menunjukkan upaya Ahmad Dahlan untuk memberikan akses kebutuhan dasar (basic needs) kepada masyarakat. Ahmad Dahlan telah berhasil atau menambal “absent”nya Negara terhadap pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar ataupun kaum mustadafiin lainnya.

Dalam konteks sosial budaya, permasalahan ketimpangan bermuara pada dua tesis besar yaitu ketimpangan structural dan kultural. Ketimpangan structural adalah ketimpangan yang diakibatkan oleh sebuah sistem eksploitatif yang secara sistematis menciptakan hilangnya akses terhadap kebutuhan kebutuhan dasar manusia. Obat mujarab untuk menghilangkan ketimpangan model ini adalah dengan mengganti sistem yang telah menciptakan ketimpangan tersebut (pertanyaan lanjutan untuk pernyataan ini adalah, bagaimana mengganti sistem tersebut?). Sedangkan ketimpangan kultural adalah ketimpangan yang muncul akibat prilaku personal manusia yang menyebabkan ketimpangan tersebut. Contohnya H.J. Boeke, ahli sosilogi  dan antropologi ekonomi di Universitas Leiden, berpendapat bahwa sebab musabab miskinnya masyarakat pedesaan di Jawa adalah kekalahan mereka dalam persaingan ekonomi akibat dari mentalitas rendah dalam aktifitas ekonomi. Solusi terhadap ketimpangan jenis ini adalah mentransformasi cara pandang masyarakat terhadap kerja. Bagaimana cara mentransformasinya dan media apa yang digunakan, kembali menuntut otak kita untuk memikirkannya.

‘Ala Kulli Hal
Diskusi “connecting dots …” sebagai momen yang tepat untuk mendiskusikan isu-isu “inequality” yang saya sampaikan diatas. Selamat berdiskusi.

Salam.
Yudi Ahmad Faisal
Sydney 19 June 2016



[1] Jerome C Glenn and Theodore J Gordon, State of the Future 2007, Millennium Project / World Federation of UN Associations, 2007, Bhttp://www.acunu. org/millennium/sof2007-exec-summ.pdf
[2] For 2007, see: Forbes, ‘The World’s Richest People’, 3 August 2007, Bhttp:// www.forbes.com/2007/03/06/billionaires-new-richest_07billionaires_cz_lk_af_ 0308billieintro.html􏰂. For 2000, see: Bhttp://www.forbes.com/lists/home. jhtml?passListId􏰀10&passYear􏰀2000&passListType􏰀Person􏰂

Kepemilikan Rumah tanpa DP, Bisakah?

Berniat untuk menulis sebuah paper berjudul "Applying Social Justice in Mortgage-Based Financing in Islamic Finance: An Integrated Model of Microfinance, Zakah and Wakaf Institutions". Paper ini mungkin bisa berkontribusi untuk mencari cara memberikan paket kebijakan kepemilikan rumah tanpa DP yang sedang ramai diperbincangkan. Selama ini, aplikasi instrumen keuangan Syariah masih didominasi oleh sektor komersial dengan niat dan tujuan mendapatkan keuntungan dari proses komersialisasi tersebut (profit-driven orientations).


Prinsip moral ekonomi Islam (Islamic moral principles) mengajarkan bahwa keuangan Islam atau Syariah tidak mesti diderivasi oleh tujuan-tujuan keuntungan dan komersial semata, tetapi juga harus mengedepankan nilai-nilai sosial melalui sosial protection terutama terhadap mustadhafiin (the needy). Salah satu perwujudan keadillan (sosial justice) sosial terhadap orang-orang yang membutuhkan (social justice for the needy) adalah menciptakan rekayasa dan inovasi keuangan (financial engineering and innovation) yang mengintegrasikan konsep keadilan sosial tadi terutama untuk memastikan bahwa golongan mustadhafiin alias mereka mereka yang lemah secara ekonomi mempunyai kesempatan yang sama untuk memiliki rumah.


Keuangan Syariah mampu menciptakan kredit mikro tanpa bunga (interest) untuk memiliki rumah yang mengintegrasikan intrumen sosial lainnya yaitu zakah dan wakaf sebagai untuk mensubsidi cost of financing dari para peminjam golongan ekonomi lemah. Institusi zakah dan wakaf adalah sebuah institusi yang dirancang non-profit oriented institutions. Model ini mengintegrasikan aspek komersial di dunia perbankan dengan aspek sosial prinsip moral ekonomi Islam. Perbankan menyediakan semua aspek yang berkaitan dengan legal formal dan proses manajemen resiko dalam memberikan pinjaman tersebut, sedangkan institusi sosial (zakat dan wakaf) membantu menanggulangi biaya pinjaman yang biasanya dibebankan pihak perbankan kepada nasabah peminjam seperti margin, maupun biaya administrasi.


Dengan konsep ini, pihak perbankan mendapatkan sisi komersial dari subsidi institusi sosial yaitu zakat ataupun wakaf dan tetap beroperasi berdasarkan standar perbankan yang berlaku, sedangkan institusi sosial tetap melaksanakan amanah pendonor yaitu memberikan dana sosial kepada pihak pihak yang membutuhkan. Tantangan aplikasi pinjaman kepemilikan rumah dari instrumen sosial ini hanyalah dari sisi demand alias masyarakat ekonomi lemah yang memanfaatkan dana tersebut untuk memiliki rumah. Yaitu kemungkinan ada persepsi di masyarakat bahwa pinjaman sosial tidak mesti dikembalikan seutuhnya. Dibutuhkan sebuah mekanisme yang kuat tetapi fleksibel dalam konteks ini sehingga diharapkan pengembalian cicilan nasabah kepada pihak perbankan berlangsung secara sempurna.


Ide paper ini akan menjadi tantangan bagi siapapun yang mendambakan kolaborasi antara aspek sosial dan komersial dari prinsip moral ekonomi Islam.


Salam.

Yudi Ahmad Faisal

Sunday, February 26, 2017

Model Harmonisasi Syariah di Industry Keuangan: Landasan Teoritis dan Praktis

Artikel bisa di unduh di Majalah Bimbingan Islam, Edisi 3 Tahun 2005 Kementrian Agama, Republik Indonesia hal 61:
https://www.kemenag.go.id/files/www/file//2016/09/1473220569934409771.pdf


Sekapur Sirih
Perbankan Syariah berkembang dengan pesat dan menjadi salah satu pemain penting dalam sistem keuangan global. Industri berbasiskan nilai-nilai Islam ini dianggap sebagai industri yang terlalu besar untuk diabaikan (too big to be ignored)[1]. Aset global perbankan Syariah telah menyentuh angka diatas 1.7 trilyun dollar Amerika dan diprediksi akan terus tumbuh 17.6% selama 4 tahun kedepan sehingga menyentuh angka 3.4 trilyun dollar pada 2018 dengan didukung oleh lebih dari 220 institusi yang tersebar di 76 negara berbeda baik Negara mayoritas Muslim maupun Non-Muslim[2]. Perkembangan pesat dalam dua dekade terakhir telah menarik perhatian berbagai aktor-aktor arsitektur keuangan global non-negara (non-state actors) seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan the Basel Committee on Banking Supervision (BCBS).
Secara teoritis, perbankan Syariah harus mengikuti aturan-aturan relijius yang diderivasi dari Shariah. Oleh karena itu, kesesuaian dengan syariah (Shariah compliance) merupakan fondasi pertama dalam struktur teoritis yang kemudian meretas kedalam struktur minor seperti model instrumen keuangan, jenis jasa dan transaksi keuangan, serta model pengawasan dan tata kelola bank (banking governance), sistem penentuan harga (pricing), bahkan model marketing-nya pun harus sesuai dengan nilai-nilai Islami.
Salah satu tantangan dalam pengembangan industri keuangan Syariah global adalah aspek harmonisasi Syariah. Disharmonisasi Syariah mampu menjadi penghambat perkembangan industri ini, terutama ketika para pelaku industri dan pasar berhadapan langsung dengan berbagai kontradiksi aspek-aspek ke-Syariah-an. Contohnya, ketika Malaysia melalui Shariah Advisory Council (SAC) – Bank Negara Malaysia, lembaga otoritas Syariah yang diberikan mandat memformulasikan aspek-aspek Syariah dan melakukan harmonisasi Syariah, menyatakan bahwa bay al innah adalah halal. Sedangkan di Indonesia, sebagian ulama menyatakan bahwa akad ini haram. Dua pendapat kontradiktif tersebut jika terjadi pada pasar yang sama dalam satu jurisdiksi yang sama maka akan mengakibatkan kegaduhan pasar akibat inkonsistensi ke-Syariah-an antara lembaga keuangan Syariah yang beroperasi.
Tulisan singkat ini menyajikan tinjauan teoritis formulasi harmonisasi Syariah dalam industri perbankan dan keuangan, serta model harmonisasi Syariah di beberapa Negara. 
Pendekatan Generik
Secara historis, harmonisasi Syariah terutama dalam konteks fikih jarang terjadi. Hal ini berdasarkan fakta historis bahwa terdapat beberapa mazhab fikih yang mendasarkan hasil ijtihad mereka pada metodologi dan sumber-sumber yang berbeda.  Berbeda halnya dalam konteks Industri perbankan Syariah, harmonisasi Syariah menjadi salah satu perdebatan paling hangat sebagai prasyarat tumbuh kembangnya industri ini dalam konteks global.
Khan mengusulkan istilah fikih pasar (fiqh market) sebagai metode untuk mencapai harmonisasi Syariah dalam konteks dunia perbankan dan keuangan[3]. Menurutnya, seorang ulama di dunia perbankan dan keuangan tidak harus mendasarkan ijtihad-nya pada mazhab tertentu, tetapi boleh lintas mazhab. Model semacam ini, menurutnya, akan memudahkan proses harmonisasi Syariah. Kesulitan akan timbul ketika seorang ulama dihadapkan pada dua pendapat yang saling bertolak belakang. Menurut Khan, pendapat yang harus diambil adalah pendapat yang memudahkan.
Balz mengusulkan ide ‘transnational law of Islamic finance’. Menurutnya, dorongan pasar (market forces) telah mendorong tumbuh kembangnya hukum keuangan Islam (Islamic financial law) tanpa campur tangan Negara[4]. Kehadiran aktor-aktor keuangan Syariah global, seperti AAOIFI (Accounting Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions) telah menjelma menjadi sebuah aktor penting dalam konteks keseuaian Syariah global.
Pendekatan Institutional
            Pendekatan institutional adalah pendekatan yang menekankan pada struktur institutional dalam mengkaji, mengembangkan, dan memformulasikan harmonisasi nilai-nilai Syariah antara industri perbankan Syariah global. Zaidi mengusulkan ide ‘a universal Shariah board’atau Dewan Syariah Universal untuk melakukan harmonisasi transaksi-transaksi keuangan Syariah di berbagai jurisdiksi yang berbeda[5].  Menurutnya, dewan Syariah ini harus terpisah dari baik pasar (market) maupun regulator atau pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) antara pertimbangan-pertimbangan pragmatis pasar dengan pertimbangan-pertimbangan idealis relijius.  Ide tersebut hampir sesuai dengan eksistensi, fungsi dan peran yang sekarang diemban oleh AAOIFI (Accounting Auditing Organisation of Islamic Financial Institutions) dan IIFM (International Islamic Financial Markets (IIFM) yang berbasis di Bahrain, dan IFSB (Islamic Financial Services Board) yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia.
Menurut Shaffaii[6], standarisasi Syariah dalam konteks institutional harus memperhatikan tiga aspek yang berbeda: (1) market discipline, artinya para pelaku pasar harus mempunyai informasi yang konsisten, transparan, dan terbuka tentang aspek-aspek kesesuaian Syariah; (2) pembentukan lembaga pembuat standar Syariah yang berskala international seperti AAOIFI dan IFSB, dan (3) diskusi-diskusi ulama baik tingkat regional maupun international untuk mengkaji berbagai isu-isu mutakhir seputar perbankan dan keuangan Syariah, seperti ‘Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara’ dalam lingkup Asia Tenggara.
Pendekatan Campuran (Mixed Model)
Pendekatan campuran mengkombinasikan pendekatan generik maupun institutional. Foster, seorang ahli hukum Islam yang mengajar di School of Oriental and African Studies (SOAS) – University of London, berpendapat bahwa pada tingkat institutional, pendekatan terpusat (planned approach) melalui Dewan Syariah baik tingkat nasional, regional, maupun international diperlukan untuk mencapai tingkat kesamaan persepsi Syariah. Di tingkat organik, pasar (market) termasuk industri keuangan dan profesi yang berhubungan dengan hukum bisa membuat usaha-usaha untuk melakukan unifikasi standar Syariah dalam berbagai jurisdiksi yang berbeda[7].  Dalam konteks rekayasa keuangan Syariah (Islamic financial engineering), pendapat Foster hampir sama dengan Zaidi, yaitu penggunaan fikih lintas mazhab untuk mempermudah pasar mengadopsi nilai-nilai Syariah dalam transaksi bisnis mereka.

Perkembangan Harmonisasi Syariah dalam Industri Perbankan dan Keuangan Global
Model Indonesia
Indonesia menganut model pendekatan institutional dalam mengembangan harmonisasi Syariah dalam industri perbankan dan keuangan Syariah. Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mendapatkan mandat undang-undang sebagai lembaga yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa-fatwa yang berhubungan dengan keuangan dan perbankan Syariah. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memerintahkan Bank Indonesia untuk mengadopsi fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia.
            Sebagai organisasi non-pemerintah, DSN-MUI tidak mendapatkan remunerasi baik dari Negara maupun dari industri keuangan atas perannya dalam memformulasikan dan mengembangkan fatwa-fatwa yang berhubungan dengan transaksi-transaksi di industri keuangan.

Model Malaysia
Di Malaysia, the Islamic Banking Act 1983 dan the Central Bank of Malaysia Act 2009  meng-amanahkan pembentukan Shariah Advisory Council (SAC) dalam struktur Bank Negara Malaysia (BNM, bank sentral) sebagai sumber referensi utama yang mempunyai otoritas undang-undang dalam pembuatan standar ke-Syariah-an di industri perbankan Syariah Malaysia. Lain halnya dengan DSN MUI, SAC-BNM mempunyai keterkaitan secara formal dengan Negara. Sehingga anggota SAC-BNM mendapatkan remunerasi dari Negara.

Model Bahrain
            Sebagai Negara yang menjadi tuan rumah bagi AAOIFI (Accounting Auditing Organisation of Islamic Financial Institutions), industri keuangan Syariah di Negara ini menjadikan standar ke-Syariah-an yang diformulasikan oleh AAOIFI sebagai pedoman yang harus diikuti oleh semua institusi keuangan Syariah yang beroperasi di Bahrain.

Model Inggris
            Sebagai Negara Barat dengan Muslim minoritas, Inggris termasuk salah satu Negara non-Muslim yang gencar mempromosikan keuangan Syariah baik untuk pasar domestik maupun internasional. Negara ini tidak mengadopsi unsur-unsur Syariah dalam hukum positif mereka. Dalam konteks industri perbankan dan keuangan Syariah Inggris, Negara melalui Financial Conduct Authority (FCA) sebelumnya bernama Financial Services Authority (FSA) tidak mewajibkan bank Syariah dan institusi keuangan Syariah lainnya untuk mengadapsi fatwa-fatwa transaksi keuangan Syariah dari organisasi atau otoritas tertentu[8] seperti halnya di Indonesia, Malaysia, dan Bahrain. Selain itu, regulasi dan aturan hukum di Inggris, tidak mewajibkan bank dan institusi keuangan Syariah untuk membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi mereka. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh FCA berjudul ‘Islamic Finance in the UK: Regulation and Challenges”, FCA menyatakan bahwa sebagai Negara sekuler, Inggris tidak berniat untuk terlibat secara langsung dalam penentuan aspek-aspek Syariah di industri perbankan dan keuangan Syariah-nya. Mereka akan mempersilahkan pasar (market) untuk mengadopsi berbagai fatwa tentang transaksi keuangan Syariah baik yang dilakukan oleh lembaga fatwa lokal, maupun lembaga fatwa internasional seperti Fiqh Academy di Jeddah, Saudi Arabia, atau AAOIFI di Bahrain. 

Simpulan
Tulisan diatas secara singkat telah mengelaborasi struktur ataupun model pengembangan harmonisasi nilai-nilai Syariah dalam industri perbankan dan keuangan Syariah di beberapa Negara. Model-model yang dikembangkan terutama ditujukkan untuk mengatasi resiko Syariah, terutama disharmonisasi Syariah dalam satu jurisdiksi, yang mampu mengakibatkan inkonsistensi aspek-aspek ke-Syariah-an dan menghambat perkembangan industri perbankan Syariah baik dalam skala nasional, regional, maupun global.

-->



[1] Maher Hassan and Jemma Dridi, ‘the effects of the Global Crisis on Islamic and Conventional Banks: A comparative Study’ (2010) 10 (201) International Monetary Fund Working Paper. < http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2010/wp10201.pdf> (8 September 2014) 
[2] Ernst and Young report, World Islamic Banking Competitiveness Report 2013-2014, (16 October 2014). 
[3] Khan and L. Ali, Contemporary Ijtihad : Limits and Controversies, (Edinburgh University Press, 2011) 47
(31 July 2014) 
[4] Kilian Balz, ‘Islamic Law as the Governing law under the Rome Convention: Universalist Lex Mercantoria vs. the Regional Unification of Law’ (2001) 8(1) Yearbook of Islamic and Middle Eastern Law Online 73-85.  
[5] Abbas Jamal Zaidi, ‘Shariah Harmonization, Regulation and Supervision’ Islamic International Rating Agency, presented in AAOIFI-World Bank Islamic Banking and Finance Conference, Bahrain 10-11 November 
[6] Suapi Shaffaii, ‘How Shariah Governance Empowers Islamic Finance’ (2008) 5(36) Islamic Finance News 
[7] Nicholas H.D. Foster, ‘Islamic Finance Law as an Emergent Legal System’ (2007) 21(2) Arab Law Quarterly 170-188, 178-184. 
[8] Karim Ginena, dan Hamid, Foundation of Shariah Governance of Islamic Banks, (Wiley, 2015), 120 

Perkembangan Terbaru Derivatif Syariah di Indonesia

Yudi Ahmad Faisal, "Islamic Derivatives in Indonesia: A Study on Indonesian Ulama Council's Fatwa on Tahawwut (Hedging)" (2016) 2 (2) Journal of Islamic Economics and Finance Volume  35-61


Abstract
"In 2015, Indonesian Ulama Council (MUI) introduced a fatwa on tahawwut (hedging). This remarks the formal introduction of Islamic derivatives into the country's Islamic banking and finance industry. Islamic banks and conventional banks offering Islamic services are “religiously” and legally allowed to use forward contracts to hedge foreign currencies. Furthermore, the fatwa that depends largely on wa’ad (unilateral promise)-based structure has flexibilities and opportunities to be implemented into a wider derivative instrument such as foreign currency and profit rate swaps. Using qualitative research approach based on library and literature study, the researcher aims at examining the genesis and analytical scope of the fatwa, its opportunities, and challenges in the country."

File bisa diunduh di link berikut:
http://www.izu.edu.tr/Assets/Content/File/_Universite/20170120_02.pdf

atau

http://ist-univ.dergipark.gov.tr/jief

Friday, February 24, 2017

Refleksi Kritis terhadap Riset Ekonomi Keuangan Syariah: Iqbal, Nagaoka, dan Asutai

Ada pemandangan menarik dalam Joint Conference on Islamic Economics and Finance di Istanbul Turki, 1-3 September 2016, seolah-olah panitia termasuk Durham University dan beberapa kampus lokal ingin memberikan pesan jenis riset yang diidam-idamkan dalam diskursus ekonomi keuangan Syariah. Keynote speech dimulai oleh Iqbal Asaria dengan judul “Rethinking Economics Post the Global Financial Crisis: an Islamic Economic Perspective”, keynote speech kedua oleh Shinsuke Nagaoka dengan judul “How can Islamic Knowledge Contribute to the Next generation Global Economic System”, dan keynote speech terakhir oleh Prof. Mehmet Asutai tentang “Critical Reflections on Research in Islamic Economics and Finance with Reference to Hybridity and Mirroring: From Imitation and Repetation to Authenticity”.


Iqbal Asaria memulai dengan mendiagnosis sistem keuangan modern yang berujung pada Global Financial Crisis tahun 2008. Seperti halnya para penulis barat yang menulis tentang GFC, istilah mainstream krisis keuangan global, seperti Timothy F. Geither, John Cassidy, dan banyak penulis lainnya, Iqbal pun menekankan pada aspek regulasi, organisasi, dan inovasi keuangan yang berujung pada GFC. Iqbal presentasinya lebih lanjut menjelaskan bahwa lack of regulasi, defisiensi manajemen resiko di tingkat organisais, dan mekanisme hutang (debt) melalui inovasi-inovasi keuangan modern (financial innovations) memungkinkan terjadinya krisis keuangan berkelanjutan. Tesis nya tidak berbeda dengan yang pernah ditulis oleh Habib Ahmed, Mehmet Asutai, maupun Rodney Wilson tentang krisis keuangan global dan Islamic finance recipes. Saya menduga bahwa Iqbal ingin memberikan pesan kepada praktisi maupun akademisi keuangan Syariah, bahwa gejala-gejala yang memungkinkan timbulnya krisis keuangan bisa saja terjadi dalam keuangan Syariah jika melihat kepada indikator regulasi, organisasi, dan produk-produk keuangan Syariah yang menurut Mehmet Asutai cenderung meng-imitasi dan mirroring konvensional. Bahasa saya ada kecenderungan “taqlid intelektual” yang berujung kepada “Sharia Arbitrage”, meminjam istilah Mahmud El Gamal, menggunakan syariah sebagai alasan komersial semata tanpa pernah memberikan jawaban atas kegundahan sistem konvensional yang keropos. Lain halnya dengan Iqbal dalam yang dalam presentasinya tidak memberikan diagnosis lebih lanjut kecenderungan keuangan Syariah sekarang apakah bisa terjerumus dalam siklus krisis seperti halnya konvensional, Habib Ahmed dalam paper nya yang dipublikasikan oleh ISRA Malaysia ttg keuangan Syariah dan GFC memberikan diagnosis gejala-gejala tersebut sudah mulai muncul dalam keuangan Syariah yang bisa berujung pada krisis keuangan.


Keynote speech kedua dilakukan oleh Shinsuke Nagaoka, seorang akademisi Ekonomi Syariah yang berasal dari Kyoto University Jepang. Nagaoka saya kira memberikan contoh konkret tentang “role model” jenis penelitian eksyar yang diidam-idamkan. Nagaoka presentasi peranan wakaf sebagai istrumen alternatif untuk menghindari gejala financialisasi dalam struktur keuangan global. Wakaf menurut Nagaoka adalah Islamic Economic Knowledge yang authentic berasal dari tradisi Islam bukan hasil dari proses mirroring maupun imitating, meminjam istilah Mehmet Asutai. Revitalisasi struktur dan peran wakaf mampu dijadikan sebagai counter-balance antara market economy dan kesejahteraan sosial (social welfare). Flow penelitian Nagaoka dimulai dari riset induktif tentang praktik wakaf yang dilakukan oleh komunitas Muslim di Singapura. Theoretical framing-nya mengkombinasikan teori Polanyi (1977) dan Karatani (2000) untuk memberikan justifikasi teoritis (teori competitive reciprocity) bahwa wakaf bisa dijadikan sebagai alternatif dari sistem keuangan yang ada. Dikesimpulannya Nagaoka memberikan tantangan kepada para akademisi bagaimana memberikan pesan universal dari Islamic Economic Knowledge seperti wakaf sehingga tidak dipersepsikan eksklusif hanya untuk golongan agama tertentu.


Keynote speech ditutup oleh Professor Mehmet Asutai yang memberikan tamparan keras terhadap kecenderungan riset-riset ekonomi dan keuangan Syariah kontemporer yang dinilai tidak memberikan jawaban atas “imaginasi” dari model ekonomi Islam. Asutai menyoroti gejala Hybridity, Mimicry, dan Mirroring dalam membuat bangunan perbankan dan keuangan Islam. Mirroring menurut Asutai adalah prilaku dimana seseorang tanpa sadar meniru prilaku orang lain yang berujung pada kesamaan nilai, prilaku, dan idea. Islamic finance and banking menurutnya telah disatukan dengan konvensional melalui proses mirroring menyebabkan total penyatuan (total convergence) dan berpotensi kehilangan identitas alamiahnya. Kecenderungan industy keuangan syariah tersebut diikuti oleh kecenderungan riset ekonomi keuangan syariah melalui imitasi (imitation, taqlid) dan pengulangan (repetation, takrar). Asutain mencontohkan melalui pengalamannya sebagai journal reviewer, penguji tesis, pembimbing, dll ribuan tulisan ttg riset2 eksyar pernah dia baca, dan berkesimpulan bahwa riset eksyar didominasi oleh riset empiris dan normatif , yang kebanyakan adalah pengulangan dari riset-riset yang pernah ada. Riset-riset tersebut tidaklah salah sebagai upaya untuk memahami dinamika phenomena-penomena tertentu dalam konteks ekonomi dan keuangan Syariah, tetapi lanjut dia, riset-riset tersebut gagal memberikan arah terhadap bangunan industri keuangan Syariah maupun menciptakan teori-teori baru dalam konteks eksyar, misalnya teori nilai, utilitas, teori capital, teori risks, dll. Menurutnya, industry keuangan syariah cenderung mengikuti arah perkembangan ekonomi konvensional, pun demikian dengan para peneliti ekonomi syariah yang hanya berusaha untuk memahami apa yang terjadi dalam industri. Dalam konteks demikian, menurut Asutai, Riset tidak mempengaruhi industri, tetapi industry yang mempengaruhi riset eksyar. Kekhawatiran terbesarnya adalah ketika dominasi riset-riset empiris maupun normatif mengalahkan riset-riset teoritis. Akibatnya “imajinasi” bangunan ekonomi dan keuangan Syariah tidak muncul dalam riset-riset eksyar.


Dalam dunia intelektual, refleksi kritis jangan pernah dianggap sebagai ancaman (threats) terhadap keberlangsungan praktik maupun diskurus ekonomi dan keuangan Syariah, tetapi critical assessment harus dijadikan sebagai kesempatan (opportunities) untuk menyempurnakan praktik maupun kajian-kajian tentang ekonomi dan keuangan Islam di masa yang akan datang. Wallohu ‘alam bishowab.


Istanbul, Sept 2016

YAF