Translate

Saturday, June 11, 2011

Critical Theory on Capitalist Society

Coincidently that morning, I saw an ad board of a public lecture that would be delivered by a professor in philosophy of language from a university in London. I decided to attend the lecture and subsequently watched the entire explanation about the critical theories. The theories that were considerably examined varied from Karl Marx, Adorno, Habermas, and Horkeimer, the last two names were coming from the Frankfurt School in Germany.     

Perhaps some of those names are unfamiliar to us, except might be Karl Mark that was assumed created Marxism, or the ideology of Marxist. Be knowledgeable, such theories are seemingly and presumably undermined in the systematic way by a mainstream that perceivably controls the educational world.  

Currently, I am made astonished by the analytical style of Noam Chomsky in dismantling contemporary issues rigorously in which those issues vary from political, economic, and social realms. The proponents of this linguistic professor initiate to use his name in formulating a denominational thought which is pronounced Chomskian. One of his tough styles is very critical to all social dimensions that he assumes systematically undermining the authority of a human being with all their attributed elements. Particularly, Chomsky intensely criticises the illicit relationship among the corporations, bureaucracy, and military. Such an illegal symbiotic relationship produces a disadvantageous structure for ordinary people, for instance, colonization, new imperialism, repressive structure that considerably harms the majority citizen of one big world. His analysis on that three elements has inspired other leading figures, among others, John Perkins, who wrote Confessions of Economic Hitman, John Pilger in his book entitled the New Rulers of the World, and last but not least the Father of Indonesian Reformation Amien Rais,who wrote “Selamatkan Indonesia”.

What makes this theory fascinated to be considered in our academic space?

In explaining the view of Marx on what is so-called as ideology. The Professor opened the speech with a brief statement – language is used to dominate others.  According to him, Marx strongly criticized the notion of capitalist society. For Him, this society is embedded with acute fallacies that consequently create a false consciousness of its members. In a long period, such a psychological condition would end up in unconsciousness minds. The invisible actors behind this society spread out such ideology through languages in the media industry, for example, televisions, newspapers, films, magazines, including books.

By broadening such a false ideology, the capitalists, a notion to attribute a group of people who control the world economic sector and who restrain a huge portion of world capital, are successful to “benefit” the values of a billion of labours in magnifying their profit. The values, which are generated by such labours in producing goods and services, are unfairly monopolized and dominated by the capitalists. As a result, it is understandable when this discussion – the relation between a labour and a capital owner, becomes one of the central ideas of Marxist theory.        

The ideology of false consciousness was relentlessly challenged, now by the Frankfurt School in Germany. The capitalist actors as protagonist figures were targeted in their intellectual discourses. The term culture industry is raised to depict on how the media industry is perceived as a sophisticated vehicle in distorting languages to make a “stereotype of ideal society”, which is portrayed as an ultimate achievement of a human being to pursue happiness in this saeculum world. This society is seen as a false image from the view of the Frankfurt School. According to them, this society is artificially imaged as having full of happiness, comforts, abundant worldly-facilities, and all supported features that would attract human beings to living within. However, it is essentially fragile, because the firm structure of that society activates an unjust time bomb that acts as an underpinning and a foundational building of capitalist society.

Furthermore, the critic is once again sustained by Habermas. This time, he examined the civil society building that is systematically and structurally undermined by the illicit relationship of three parties – corporations – bureaucracy – military. He stated the well-known statement – colonization of the life world”, a notion to depict on how public life has been colonized and controlled by the illicit purposes of capitalist actors. For instance, instance how the function of media as a public tool in discussing the societal issues has been hijacked for a propaganda matter and a profit matter.

Such theories will easily be understood if we concern on the current various phenomenon across the countries as often analysed by Noam Chomsky. Interestingly to say that the analysis of Chomsky seems quite similar with his predecessor who proposed the critical theory earlier. Alternatively, maybe we could say that Chomsky is inspired by those theories, or even as a part of this denomination.  

Yudi AF

Friday, May 20, 2011

Pemaknaan Bahasa dan Demonstrasi di Timur Tengah

Pagi yang cerah di Tufnell Park, teringat masakan sayur toge yang biasa dibuat oleh orang tua saya di Cileunyi, Bandung.  Maka saya pun bergegas ke dapur untuk membuat sayur toge atau sprouts menurut Londoners. Well Done Amateur Chef!! Begitu ekspresi untuk menghibur diri sendiri, meskipun rasanya agak berbeda dengan sayur toge buatan orang tua karena bahan masakannya tidak persis seperti yang Cileunyi.

Seperti biasa saya pun membuka internet untuk membaca berita hari ini, apa saja headline yang masih bertahan selain penangkapan dan pengunduran diri Direktur Eksekutif International Monetary Fund (IMF) karena pelecehan seksual, dan operasi militer illegal Negara barat di negerinya Muammar Khadafi. The independent, Koran harian terkemuka di Inggris, yang terkenal karena mengusung idealisme sebagai Koran yang bebas dari berbagai kepentingan, sesuai dengan namanya yang secara literal berarti bebas. Di halaman utama Koran ini terpampang judul “Cameron Embraces Tyranny”, David Cameron adalah Perdana Menteri Inggris pada saat ini yang sedang gencar “melancarkan operasi demokrasi” di Timur Tengah. Kalau cermat melihat berbagai informasi akhir-akhir ini, maka penerimaan perdana menteri terhadap Putra Mahkota Bahrain seperti yang diberitakan Koran The Independent tersebut memunculkan fakta yang problematis terhadap komitmen barat terutama US, Inggris, dan sekutunya terhadap apa yang dinamakan dengan demokrasi. Karena penerimaan tersebut terjadi di tengah-tengah protes terhadap Bahrain yang sedang melakukan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap para demonstran, ruang-ruang public seperti Rumah Sakit, para dokter, dan mayoritas masyarakat dengan bantuan sekutu terdekatnya yaitu Arab Saudi dan tentu saja atas restu US dan kawan-kawannya.

Kenapa Bahrain jadi pengecualian Inggris dan kawan-kawannya, Koran tersebut menghadirkan fakta bahwa nilai investasi Inggris di negeri kaya minyak tersebut sangatlah besar terutama Royal Bank of Scotland. Fakta-fakta tersebut seolah berbicara sendiri untuk mengklarifikasi setiap bahasa eufimisme yang dilontarkan oleh para actors dibalik “operasi demokrasi” di Timur Tengah tersebut. Kemudian fakta lain muncul seperti yang diungkapkan oleh Noam Chomsky dalam keynote speech nya di hadapan ribuan orang yang memadati perayaan milad yang ke- 25 dari sebuah badan pengawasan media di New York, US. yang mengatakan bahwa ada dua nilai strategis Bahrain terhadap kepentingan Barat di Timur Tengah yang pertama adalah Bahrain sebagai pangkalan ke lima dari Armada Amerika Serikat di Timur Tengah, yang kedua adalah penduduk mayoritas Bahrain yang 70% Syiah, Negara ini persis di sebelah timur Arab Saudi dimana terdapat warga syiah secara mayoritas. Dari aspek historis dan kultural, warga Syiah akan sangat dekat dengan kepentingan Iran yang selama ini menentang segala tindakan US, Inggris dan sekutunya di Timur Tengah.

Dua perspektif yang dikumukakan oleh the Independent dan Noam Chomsky kiranya cukup untuk memberikan makna terhadap apa yang dinamakan dengan “operasi demokrasi” di Timur Tengah. John Locke, philosopher Inggris, menyatakan bahwa rangkaian kata memberikan tanda konsepsi internal (internal conception) yang tidak selamanya sesuai dengan fakta menurut penilaian akal kita. Rangkaian kata-kata eufimisme seperti operasi perdamaian, operasi pembebasan dari terorisme, operasi penegakan demokrasi, perang untuk damai (war is for peace) seolah menjadi tidak berarti jika meminjam konsepsi Locke terhadap pemaknaan bahasa, karena fakta menghadirkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kata-kata. Yang ada adalah fakta-fakta tersebut memberikan makna lain dan sebaliknya seperti brutalisme, imprealisme, penjajahan, dan kejahatan kemanusiaan.

Tufnell Park, 20 May 2011

Sumber:

Saturday, March 19, 2011

Masyarakat Komersial (Commercial Society)

Tumpukan buku Political thought, A Brief History of Liberty, the Ideas that Made the Modern World,Portable Reader of Enlightenment serasa bantal empuk yang enak dipake tidur, teringat dulu zaman pesantren, ketika buku mempunyai fungsi ganda sebagai sumber informasi dan sarana untuk tidur di kelas. Pagi ini terasa sangat istimewa, dari pukul 7 pagi cahaya matahari sudah muncul tanpa dihalangi oleh awan tebal yang konon menjadi teman setia Londoners, cahaya matahari membuat silau layar laptop yang sedang memperlihatkan website paling popular yang menyediakan berjuta files video dengan muka halaman tentang Excerpts dari Erich Fromm Interview, Noam Chomsky, Karl Marx, dan kadang-kadang David Harvey.

Meskipun tugas hampir menemui ajal sekitar 2 mingguan lagi, hot news tentang revolusi yang menyebar di Timur Tengah, dan Afrika Utara, serta Demonstrasi besar-besar di beberapa wilayah Amerika Serikat menentang kebijakan tertentu, gempa  dan tsunami Jepang serta krisis nuklir telah menjadi perhatian media dengan menjadikannya sebagai headline di berbagai media seolah menjadi pengantar harian sebelum memulai menulis. Tetapi saya tidak bisa berpaling dari hot news yang lain yang menurut saya mengeksplorasi sesuatu yang tidak ada dipermukaan, invisible, tetapi keberadaannya sangat jelas. Dari perspektif tersebut, media menghadirkan informasi tentang event-event tersebut dari berbagai sudut, dari derajat yang cenderung informatif menghadirkan apa yang ada di permukaan (surface) sampai yang bersifat investigatif menelusuri apa yang tidak kelihatan dipermukaan. Semuanya berupaya menghadirkan dan menginformasikan “fakta”.

Bagi saya, fakta sosial bisa menjadi menjadi malam yang gelap gulita, misteri, dan susah untuk diungkap tetapi bisa pula menjadi siang yang terang benderang, dan mudah untuk dikenali. Seorang bijak mengatakan bahwa jangan sampai asumsi mendahului fakta, karena kadangkala asumsi menjadi halusinasi manusia dalam “realitas”-nya masing-masing. Menyingkirkan halusinasi dari realitas hidup manusia adalah perjuangan klasik manusia yang bukan hanya dihadapi oleh kita, tetapi juga oleh para pendahulu.

Dalam skala mikro, contohnya masalah antar pribadi, keluarga, masyarakat rt, rw, sampai ke tingkat local desa atau kecamatan, halusinasi ini sering menjadi biang masalah. Misalnya percekcokan keluarga, tawuran masal, tawuran antar pelajar, konflik agama kadang-kadang didasari oleh asumsi, karena asumsi tidak membutuhkan proses yang membutuhkan kesabaran, sebaliknya mengungkap fakta dibutuhkan kesabaran, knowledge, dan keberanian.

Dalam skala makro, asumsi ini bisa menghancurkan peradaban manusia pada titik yang paling ekstrim. Karena ketika manusia secara kolektif dalam skala global telah berasumsi hidup dalam masyarakat yang benar, tidak perlu ada perbaikan yang drastic dan revolusionis terhadap kondisi sosial maka pada saat tersebut manusia berada pada tingkat ketidaksadaran akibat halusinasi dan kulminasi asumsi yang mereka pelihara dan pertahankan.

Pada skala mikro, solusi untuk menghindari halusinasi yang lahir dari asumsi tersebut bisa berkaca contohnya pada recipe dai yang pernah kondang di Indonesia, Aa Gym, yang mempopulerkan resep BAL (Benar, Akurat, dan Lengkap). Meskipun pada kenyataannya konsep ini sedikit mengalami kesulitan dalam aplikasinya terutama terkait dengan benar menurut siapa, dan derajat kevalidan sumber informasi tersebut (akurat), kalau kelengkapan juga bisa sangat subjektif terkait dari mana kita melihat kelengkapan tersebut. Tetapi paling tidak, resep awal ini akan menuntun kita untuk lebih bersabar dalam mengungkap fakta dan menghindari asumsi tanpa proses pembuktian. Dalam skala makro, solusi menghindari halusinasi tersebut tidak semudah di alam mikro, karena hubungannya bukan personal yang bersifat local, tetapi sudah menggurita, global, bahkan telah melahirkan infrastruktur yang solid plus dengan struktur institusi yang pendukungnya.  

Nah salah satu hot news yang menarik perhatian saya adalah phenomena masyarakat komersial (commercial society), mungkin jarang diantara kita yang mendengar istilah tersebut bahkan di dunia akademis seperti di Fakultas Ekonomi, karena memang phenomena tersebut bukan mainstream yang dijelaskan dan dikaji secara komprehensif di dunia pendidikan ataupun dieksplorasi dan dihadirkan oleh media.

Masyarakat komersial lahir dari rahim kapitalisme, dan selalu diidentikkan dengan masyarakat barat yang diasumsikan maju dari berbagai sisi terutama ekonomi. Para pendukung masyarakat komersial mengatakan bahwa ketika perdagangan menyebar keseluruh penjuru dunia, teknologi memudahkan manusia mendapatkan apa yang selama ini langka (scarcity) dan susah untuk didapatkan, produksi barang dan jasa dalam skala massif, institusi keuangan ikut menjadi agen pertumbuhan ekonomi dengan money creation dan revolutionary inventions-nya seperti kartu kredit, dan berbagai instrument keuangan, konklusi finalnya tidak ada kemajuan yang pernah diraih oleh sejarah manusia kecuali kemajuan ekonomi sekarang ini. Para pendukung masyarakat komersial mengklaim bahwa jenis masyarakat ini akan lebih menyebarkan nilai toleransi, menghargai liberty dan kebebasan, menghindari ekploitasi, meningkatkan keadilan ekonomi, dan melayani kebutuhan dasar orang lemah (David Schmidtz, 2010).

Notes kali ini akan melihat bagaimana phenomena tersebut dikritik oleh banyak western scholars sendiri dari berbagai aspek seperti aspek ekonomi, politik, budaya, dan analisis psikologi. Adalah Erich From salah satunya yang mengkaji essential meaning dari masyarakat tersebut tentu dari aspek psikoanalisis-nya. Kemegahanan materialistik terjaga dalam masyarakat komersial bukan penjamin kebahagiaan manusia di masa yang akan datang. Jika identitas manusia dilekatkan pada apa yang dimiliki (I am what I have), pertanyaannya siapakah saya jika saya kehilangan apa yang saya miliki (what I am If I lose what I have), itulah pertanyaan terbesar Fromm. lebih jauh lagi, identitas komersial pada titik ektrim akan mengancam manusia untuk akan selalu berupaya tidak kehilangan apa yang dia miliki meskipun hal itu menyengsarakan orang lain.

Contoh-contoh kontemporar menunjukan secara jelas bagaimana perang terjadi karena urusan komersial bukan semata-mata penegakkan demokrasi, perlakukan terhadap revolusi di Timur Tengah pun tidak sama satu sama lain, ada yang cepat ditanggapi oleh barat ada yang lambat, tergantung dari nilai ekonomis dan politik yang dikandungnya, perdagangan internasional pun ternyata tidak selamanya melahirkan apa diklaim selama ini oleh masyarakat komersial yaitu kebebasan melakukan kontrak perdagangan (freedom of contract), pihak dunia ketiga selalu menjadi pihak yang inferioruntuk memutuskan kontrak perdagangan, dan jutaan masalah lainnya yang perlu mendapat perhatian serius kita semua.

Konklusi dari notes ini saya quote perkataan Marx bahwa Capital is death sedangkan life is life.

London, 19 Maret 201

Sunday, February 27, 2011

Resensi Buku_Spiritual Economies


Buku ini berjudul lengkap Spiritual Economies: Islam, Globalization, and the Afterlife of Development, dengan mengambil observasi etnografis di Indonesia tepatnya di PT Krakatau Steel dengan objek studi ESQ (Emotional and Spritual Quotiens) ala Ari Ginanjar Agustian.

Penulis secara umum mengkaji respons Muslim terhadap globalisasi dan ide yang mendasari globalisasi. Objek yang dikaji dalam buku (Krakatau Steel) adalah situasi kompleks yang dihadapi oleh stakeholders perusahaan tersebut terutama dalam menghadapi proses deregulasi pemerintah terhadap penurunan tarif impor untuk baja yang bisa melemahkan daya saing perusahaan tersebut.

Dalam proses transisi tersebut, pelatihan-pelatihan ESQ lebih menekankan inner management improvement dari perusahaan tersebut untuk meningkatkan good governance, efisiensi, dan produktifitas dalam situasi yang berubah di era globalisasi, dimana protection terhadap perusahaan-perusahaan negara semakin berkurang. Dalam perspektif tersebut, penulis berkesimpulan bahwa gerakan pembaharuan nilai-nilai Islam dalam konteks tersebut tidaklah anti dengan era globalisasi bahkan ikut mendukung ideologi yang menurut penulis disebut sebagai neoliberalism.

Hipotesis penulis bisa dimengerti karena objek kajian dari gerakan pembaharuan nilai-nilai Islam seperti yang contohkan penulis berorientasi pada inner circle (lingkaran dalam) dari sebuah situasi yang dihadapi oleh dunia Islam pada saat ini, orientasi ini cenderung mengaburkan realitas di outer circle (lingkaran luar). Contohnya adalah kajian dari gerakan ESQ lebih kepada bagaimana mengubah nilai-nilai yang dianut seseorang dalam konteks kehidupan berekonomi dalam lingkup perusahaan, seperti meningkatkan produktifitas, efisiensi, good governance, smooth management, tetapi jarang memberikan perhatian terhadap sistem dimana perusahaan-perusahaan tersebut berada. Situasi era industrialisasi, globalisasi, interconnected economy dengan berbagai konsekuensinya bukan merupakan perhatian yang serius dalam pola gerakan pembaharuan nilai-nilai Islam dalam kasus yang diambil oleh penulis.


London, 27 February 2011
YAF

Saturday, January 22, 2011

Ilmu Sosial dan Hegemoni Barat: Tantangan Bagi Ilmuan Sosial Muslim

Peter Berger, salah satu mainstream thinker dalam dunia sosiologi modern, pernah mengatakan bahwa realitas dibentuk oleh teori. Implikasi teori dari pengarang buku The Social Construction of Reality ini adalah ketika ilmuan-ilmuan sosial berusaha untuk menjelaskan realitas dalam masyarakat yang mereka teliti, teori-teori sosial (social theories) yang mereka gunakan akan menjadi “bumbu” dalam hidangan realitas masyarakat yang diteliti. Dalam dunia akademik, penjelasan diatas akan sangat mudah dipahami karena dalam proses penulisan ilmiah, pemikiran penulis selalu dalam framework, atau batasan teori yang digunakan, hal ini merupakan prosedur baku dalam struktur penulisan ilmiah. Pertanyaannya sejauh mana teori tersebut mendistorsi realitas yang sebenarnya dari suatu masyarakat atau phenomena yang diteliti?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, banyak sekali kritik terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial terutama menyangkut studi-studi terhadap “dunia ketiga”. Karya Edward Said Orientalism (1978) dan Samir Amin Eurocentrism (1989), bahkan ilmuan dari Eropa sendiri seperti Maxime Rodinson bisa dijadikan sebagai referensi. Dalam diskusi ini pemikiran Edward Said, saya kira relevant dalam menjelaskan bagaimana teori-teori sosial yang dikembangkan oleh dunia barat (Eropa Barat, dan Amerika) mempunyai corak Eurocentric, artinya dipengaruhi oleh asumsi dan prejudice Barat terhadap objek yang mereka teliti, yaitu dunia Arab khususnya atau dunia ketiga pada umumnya, ketimbang bersifat objektif. Dengan kata lain, studi-studi sosial terhadap dunia ketiga cenderung tidak dilakukan secara objektif tetapi mengandung muatan asumsi inferioritas terhadap objek yang mereka teliti sehingga perumusan teori juga akan sangat dipengaruhi oleh posisi Negara penjajah dan terjajah. Dalam bahasa Said, phenomena tersebut dinamakan sebagai bentuk dari rasisme dan alat dominasi imprealis. Sehingga hasil pemikiran Said tersebut mengubah posisi dan pendekatan studi-studi sosial di Barat secara significant, tetapi bukan berarti bahwa Eurocentrism telah tereliminasi sampai titik yang tidak mungkin untuk bangkit lagi dalam studi ilmu-ilmu sosial.

Sebagai contoh gejala Eurocentrism dalam studi sosial, saya mengambil hasil studi sosial yang dilakukan oleh ilmuan yang berasal dari Belanda terhadap kondisi ekonomi masyarakat Indonesia. Pada akhir abad ke-19, timbul perhatian dari politikus di negeri Belanda untuk meneliti masalah kemiskinan yang merajalela di pedesaaan-pedesaan di daerah Jawa, Indonesia. Maka H.J. Boeke, ahli sosiologi dan antropologi ekonomi di Universitas Leiden, sebagai universitas yang paling maju dalam kajian indologie, memimpin penelitian tersebut. Hasil penelitian tersebut menekankan bahwa sebab musabab miskinnya masyarakat pedesaan di Jawa adalah kekalahan mereka dalam persaingan ekonomi akibat dari mentalitas yang rendah dalam aktivitas ekonomi, fakta-fakta sosial lainnya seperti pemerasan dan eksploitasi kaum penjajah, dan pemiskinan secara terstuktur seperti rendahnya dukungan pendidikan bagi masyarakat tidak dijadikan sebagai fokus studinya dalam merumuskan factor penyebab kemiskinan di Indonesia.

Lalu upaya apa yang harus dilakukan sebagai peneliti ilmu sosial, khususnya Negara-negara “dunia ketiga” dan dunia muslim, dalam menangkap fakta-fakta sosial dan realitas di masyarakat? Jawabannya akan ditemukan ketika para ilmuan sosial melakukan refleksi bagaimana sejarah bangsa Eropa menemukan dan memformulasikan teori. Mereka mungkin menggunakan teori-teori yang dikembangkan oleh peradaban sebelumnya, misalnya perabadan Islam, karena ketika Eropa sedang mengalami masa The Dark Middle of Ages sebelum masa Renaissance di Abad 14 dan 15 M, maka dunia Islam sedang mengalami masa kegemilangan ilmu pengetahuan, teori-teori sosial seperti yang dikembangkan oleh Ibn Khaldun contohnya, juga ikut memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu sosial Barat. Tetapi kemudian mereka melakukan modifikasi sesuai dengan posisi dan kecenderungan mereka. Prinsip la tukadzibuhuu jamii’a wala tushohihu jamii’a, atau prinsip jangan ambil semuanya dan jangan buang semuanya, ambil yang positif dan buang yang negative.

Salah satu proposal metode penelitian untuk men-spin off gejala eurocentrism dalam metode penelitian sosial adalah grounded research. Dalam bahasa Dawam Rahardjo, metode ini timbul dari gagasan “pribumisasi ilmu-ilmu sosial” (indigenization of social sciences). Ide metode ini sangat sederhana, tetapi mempunyai implikasi terhadap perkembangan teori sosial yang luas terutama bagi Negara-negara yang selama ini menjadi objek penelitian sosial. Metode ini dimulai dengan melakukan zero-mind process, mengosongkan alam intelektual peneliti dari teori-teori Barat yang telah mapan, dan langsung terjun dan menyelami alam realitas masyarakat dan phenomena yang menjadi objek penelitian, tanpa melihat terlebih dahulu teori karena dikhawatirkan akan kembali lagi kepada apa yang disampaikan Berger, teori membentuk realitas.  Kemudian melakukan konstruksi teori berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan secara observasi partisipatoris yang terjun langsung ke masyarakat tersebut. Diharapkan dari proses tersebut dapat menciptakan independensi para peneliti terhadap kecenderungan ber-eurocentric. Selamat Meneliti….

wallohu a'lam bishowab.

To be Continued to Part II – Grounded Research

Referensi
Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropology II, Jakarta: UIP
Said, Edward W. 1978, Orientalism, New York: Pantheon
Amin, Samir, 1989, Eurocentrism. Translated by Russell Moore. New York: Monthly Review
Berger, Peter, and Thomas Luckmann, 1966, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, Garden City, NY: Anchor Books
Kuntowijoyo, 2008, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan