Translate

Sunday, June 24, 2018

Benarkah Mufti Al-Azhar Sayyid Tantawi Mengatakan Bahwa Bunga Bank Konvensional [semua jenis bunga] tidak termasuk Riba yang Diharamkan? (Bagian 1)

Baru-baru ini terdapat polemik dari sebuah tulisan dengan judul “Benarkah Dosa Riba Lebih Berat dari Berzina”. Konteks tulisan tersebut adalah menyoroti beberapa hadith yang menurut penelusuran penulisnya "sanadnya lemah dan matannya mungkar”. Saya anggap tulisan tersebut sebagai pemaparan berbedaan pendapat para ulama dalam menganalisis sebuah hadith baik dari sisi periwayatan (sanad) maupun dari sisi konteks ataupun isi hadith tersebut. Kita serahkan diskusi tentang hal tersebut kepada ahlinya terutama yang mengkaji ilmu hadith supaya tidak menjadi debat kusir orang-orang yang tidak kompeten. Saya lebih tertarik mengomentari pernyataan dalam tulisan tersebut bahwa Grand Syekh al-Azhar mengatakan bahwa bunga bank tidak termasuk riba.

Saya mencoba menelusuri referensi dari pernyataan tersebut, sepanjang yang saya tahu dan baca [seandainya ada referensi tambahan mohon diinfo-kan], saya tidak menemukan pernyataan tegas bahwa Sayyid tantawi mengatakan semua jenis bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan. Menurut hemat saya, tanpa penjelasan yang detail, pernyataan tersebut dapat menimbulkan penafsiran bahwa Sayyid Tanthawi meng-halal-kan mekanisme bunga secara umum di lembaga perbankan konvensional [termasuk bunga di sisi liabilitas maupun di sisi asset].

Berikut beberapa pernyataan Sayyid tantawi terkait dengan mekanisme perbankan modern yang saya ketahui, dan yang paling terkenal adalah sebuah fatwa yang ditandatangi oleh Sayyid Tantawi di tahun 2002.

Pada tahun tersebut, Direktur Utama the International Arab Banking Corporation bernama Dr. Hassan Abbas Zaki melayangkan pertanyaan kepada Sayyid Tantawi sebagai Imam Besar Al-Azhar, sebagai berikut:

“Yang terhormat Dr. Muhammad Sayyid Tantawi, Assalamua’laikum Warrahmatullahi Wabarokaatuh. Nasabah the International Arab Banking Corporation menyimpan dana dan tabungannya di bank, kemudian dana tersebut diinvestasikan dalam akvitias bisnis yang diperbolehkan, dan mendapatkan keuntungan yang didistribusikan kepada nasabah berdasarkan nilai [keuntungan] yang telah disepakati di awal beserta periode pemberian keuntungan. Mohon saran terkait dengan status hukum dari transaksi tersebut. Direktur Utama, Dr. Hassan Abbas Zaki”.

Permohonan fatwa tersebut dilengkapi oleh lampiran contoh dokumen perjanjian antara nasabah dengan pihak bank dimana dijelaskan bahwa seorang nasabah memiliki saldo awal awalnya LE 100.000 dan kemudian di tahun berikutnya rekeningnya bertambah menjadi LE110.000 dengan tingkat keuntungan sebesar 10%.

Atas permohonan fatwa tersebut, kemudian Sayyid Tantawi mengirimkan surat tersebut kepada Dewan Fatwa Al-Azhar untuk didiskusikan oleh anggota dewan fatwa lainyya pada 31 October 2002. Atas dasar musyawarah, akhirnya difatwakan bahwa menginvestasikan dana di bank yang menetapkan tingkat keuntungan (tuhaddid al-ribh muqaddaman) adalah secara hukum Islam diperbolehkan. (Teks lengkap fatwa tersebut baik bahasa Arab dan Inggris bisa dilihat dalam sebuah analisis ilmiah termasuk pro dan kontra oleh Mahmoud A. El-Gamal, “Interest and the Paradox of Contemporary Islamic Law and Finance” 27 Fordham Int’l L.J. (2003), http://www.ruf.rice.edu/~elgamal/files/interest.pdf).

Ada beberapa point penting terkait dengan fatwa diatas. Pertama, fatwa tersebut sangat spesifik mengomentari sisi liabilities (funding) terutama nasabah yang menyimpan uangnya dibank dalam bentuk tabungan atau deposit dengan maksud investasi dengan keuntungan 10%. Ini bisa dilihat dari isi fatwa yang menyatakan bahwa kontrak antara nasabah dengan pihak bank itu dianalogikan sebagai kontrak keagenan (wakalah) dan hubungan antara depositor dengan bank adalah hubungan seperti halnya dalam kontrak mudharabah. Yang membedakan dalam fatwa ini adalah bahwa dalam kontrak-kontrak tersebut menetapkan keuntungan diawal (tuhaddid al-ribh muqaddaman) diperbolehkan dengan alasan bahwa pihak bank telah melakukan analisis sedemikian rupa untuk menetapkan imbal hasil dalam sebuah produk investasi yang mereka rancang. Kesimpulan fatwa ini berbeda dengan para penganjur keuangan Islam (melalui sanggahan resmi yang diterbitkan oleh Islamic Fiqh Academy tahun 2003), misalnya dalam kontrak mudharabah, yang boleh ditentukan diawal adalah nisbah (rasio bagi hasil) tetapi bukan persentasi profit secara nominal dari pokok atau modal yang diinvestasikan. Selain itu, fatwa tersebut menyamakan kontrak pinjam meminjam (qard) dengan kontrak investasi bagi hasil (mudharabah) [sanggahan tentang fatwa Al-Azhar dari pihak yang kontra dapat dilihat dari tulisan Mahmoud El-Gamal diatas). Kedua, fatwa tersebut tidak menyinggung bunga bank di sisi asset (kredit). Ketiga, fatwa tersebut tidak menyinggung bunga yang terkait dengan kredit konsumtif disisi asset. Walhasil, ada banyak aspek bank sebagai lembaga intermediasi yang tidak termasuk dalam analisis fatwa Al-Azhar tersebut.

Pun demikian, pada tahun 1989, Sayyid Tantawi berpendapat bahwa tingkat keuntungan (return on profit) pada beberapa obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah (sovereign bonds) tidak termasuk kategori riba yang diharamkan menurut Al-Qur'an. Dengan alasan bahwa profit tersebut adalah bentuk bagi hasil dari uang yang diinvestasikan oleh pemerintah (bisa dilihat di Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return (Kluwer Law International, 1998) 46). Meskiipun banyak kritik terhadap pendapat ini, tetapi konteks pendapat ini pun bukan tentang mekanisme bunga bank secara umum tetapi tentang obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Sebagaimana yang disarankan oleh Sayyid Tantawi sendiri bahwa "tidaklah mungkin membicarakan transaksi perbankan secara umum dengan satu kalimat bahwa transaksi perbankan halal atau haram. Setiap pernyataan harus dijawab secara terpisah..dengan implikasi hukum yang berbeda pula". (Chibli Mallat, "Tantawi on Banking Operations in Egypt" in Islamic Legal Interpretation: Muftis and Their Fatwas, Khalid Mas'ud et al (Harvard University Press, 1996), 286-296).

Tulisan sederhana ini sebagai pengingat bagi diri saya sendiri untuk berhati-hati dalam melakukan generalisasi dari sebuah kekhususan.

Wallahu ‘alam bishowab.
Sydney, 25 Juni 2018
YAF