Translate

Friday, February 24, 2017

Pedagang Warung vs. “Mini” atau “Super” Market

Apapun motifnya untuk meninggalkan beberapa jaringan supermarket nasional, yang pasti ada satu realitas di masyarakat yang menarik yaitu mencuatnya desakan sebagian masyarakat untuk kembali menggairahkan pedagang warung tradisional ditengah-tengah gempuran jaringan minimarket nasional yang dimiliki oleh korporasi-korporasi papan atas Indonesia. Ijinkan saya bercerita pengalaman pribadi satu dekade yang lalu. Saya pernah menjadi pedagang kaki lima dengan berjualan bubur ayam di sebuah kompleks perumahan di salah satu sudut Denpasar, Bali. Alkisah, disebrang gerobak bubur ayam saya, ada sebuah warung kecil yang dimiliki oleh seorang nenek-nenek tua yang menggantungkan hidupnya pada usaha tersebut. Kira-kira enam bulan setelah saya memulai berjualan, ada sebuah mini market baru dengan jaringan nasional hendak diresmikan tepat disebrang usaha sang nenek. Hari demi hari, bagian logistik mini market sibuk mengisi toko dengan berbagai produk yang hendak dijual. Walhasil, tibalah saatnya peresmian pembukaan mini market yang mempunyai jaringan nasional tersebut. Berbagai karangan bunga silih berganti di simpan di depan toko tersebut. Tetapi alangkah terkejutnya saya, ternyata mini market tersebut tidak jadi diresmikan pada hari H. Hari silih berganti dan toko tersebut tidak kunjung dibuka, untaian bunga ucapan selamat pun sudah mulai layu. Karena penasaran saya pun bertanya ke tetangga sebelah kenapa toko tersebut tidak kunjung dibuka. Ternyata pembatalan peresmian toko tersebut akibat aduan sang nenek kepada pihak RW (Banjar) yang merasa keberatan bahwa keberadaan toko tersebut berpotensi menghancurkan warung dia sebagai satu-satunya tempat mengais rizki.


Cerita diatas, mungkin satu dari sekian banyak keberatan warung-warung tradisional berskala kecil dan potensi lumpuhnya warung-warung tsb akibat dari serbuan jaringan-jaringan bisnis korporasi berbasis usaha kecil menengah yang merengsek masuk kedalam realitas ekonomi masyarakat kecil. Dari cerita si nenek tersebut, mekanisme pasar (market mechanism) maupun kompetisi pasar adalah sebuah teori ekonomi yang sulit dipahami dalam realitas masyarakat kecil, terkhusus para pedagang kecil. Mungkin dengan keberadaan mini market tersebut, ada sebagian segmen pembeli yang diuntungkan karena mungkin harga yang lebih murah, barang lebih lengkap, ataupun tempat lebih nyaman. Tetapi lain ceritanya dengan si nenek, seandainya kebijakan ekonomi hanya berpangku pada kepuasan konsumen bagaimana nasib si nenek di tengah “lemahnya” proteksi terhadap para pedagang kecil yang tidak berdaya menghadapi era kompetisi super dan padat modal seperti sekarang ini?


Meminjam teori yang diambil dari buku the government of risk, cerita diatas mampu melahirkan resiko baru (new risk) dalam kemajuan ekonomi sebuah bangsa, yaitu “the death of micro-traditional business” alias matinya bisnis tradisional berskala mikro. Dalam konteks Kompetisi Pasar, hal tersebut adalah sebuah keniscayaan. Dengan meminjam teorinya Darwin, “the Survival of the fittest” atau mekanisme seleksi alami, siapa yang kuat, dia yang menang, siapa yang inovatif, dia yang mampu mengelola perubahan (changes) dan bertahan di pasar super ketat. Pertanyaanya, bagaimana si nenek paham ilmu-ilmu ekonomi dan manajemen strategik ini. Bagaimana si nenek paham untuk berinovasi sehingga bisa bersaing secara sehat dengan “super” market tersebut? Bagaimana si nenek paham merancang sebuah “marketing plan” atau mengembangkan “Marketing Mix’-nya Kotler? Jawabannya: Sebuah Utopia alias “mimpi di siang bolong”.


Perilaku desa adat (Banjar) yang mengakomodasi permohonan si nenek untuk tidak memberikan ijin banjar pembukaan toko tersebut mencerminkan sebuah "shield society" alias masyarakat perisai. Masyarakat yang berkomitmen melindungi pedagang warung dari gempuran para pemodal “wah” di pasar-pasar yang berbasis usaha rakyat kecil. Masyarakat yang ikut berkontribusi menjadi eksistensi para pedagang warung dan pasar tradisional di tengah-tengah lemahnya proteksi Negara terhadap para pedagang ini. Masyarakat yang masih peduli untuk menjaga keaslian warna perekonomian desa.


Sepertinya konsep "shield Society" adalah secercah harapan ditengah-tengah gempuran para pemodal raksasa maupun lemahnya proteksi Negara terhadap para pedagang warung dan pasar-pasar tradisional. Sehingga para pedagang warung tetap eksis dan ikut berkontribusi dalam pembangunan ekonomi di Bumi Pertiwi ini. Wallohu 'alam bishowab.


NSW, 01.10.

No comments: