Translate

Wednesday, December 9, 2009

Financial Uncertainty



Ketika Anthony Giddens menulis The Consequences of Modernity, para pakar manajemen dibuat hopeless dan kalang-kabut, menurutnya akibat dari modernitas yang sangat cepat, dunia tempat kita hidup ini seperti truk besar sarat muatan yang meluncur tanpa rem. Meminjam statement Gede Prama bahwa para penganut teori masyarakat industrial – di mana banyak pakar manajemen meminjam pijakan – memang sedang dibuat runtuh oleh Anthony Giddens. Oleh karena itulah, bisa dimaklumi kalau manajemen sudah mulai kehilangan kepercayaan dirinya dalam menjelaskan perkembangan mutahir.

Pun dalam dunia manajemen bisnis dan keuangan, para pakar sedang dibuat bimbang dengan teori-teori yang selama ini mereka anggap mapan untuk mencapai kestabilan sektor keuangan ternyata tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Tidak tanggung-tanggung, krisis hampir terjadi dimana-mana hampir semua negara yang menerapkan sistem kapitalisme.

Roy Davies dan Glyn Davies (1996) dalam buku The History of Money from Ancient Time to Present Day, menguraikan sejarah kronologis krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut mereka, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa secara rata-rata, setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia. Krisis ekonomi telah terjadi sejak tahun 1907, 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1998-2001, 2008 – sekarang.

Fakta tersebut seolah mengekspresikan bahwa sistem keuangan yang dibangun adalah sistem keuangan yang penuh dengan ketidakpastian dan ketidakjelasan, alias uncertainty, alias gharar. Lebih-lebih sistem tersebut bersenyawa dengan sifat serakah manusia yang menginginkan keuntungan dengan segala cara dan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.

Tidaklah mengherankan kemudian terjadi krisis mortgage di Amerika Serikat, yang dibangun dari sistem financial uncertainty. Dimana hak tagih pinjaman perumahan dari warga Amerika Serikat, diderivasi menjadi security dalam beberapa level kemudian dijual di pasar sekunder layaknya sebuah komoditas real, sehingga nilai utang perumahan yang nilai awalnya $x menjadi $xxxxx dan dimiliki oleh berjuta-juta orang, sungguh fantastis cara kerja derivatif yang penuh dengan ketidakpastian dari aset yang diperjualbelikan.

Dari perspektif keuangan Islam, jangan sampai para pakar keuangan Islam membawa sistem keuangan Islam masuk menjadi salah satu penumpang dalam truk besar tanpa rem tadi dengan membuat struktur produk keuangan Islam yang secara esensi sama dengan produk derivatif konvensional yang terbukti sudah gagal dalam membawa kesejahteraan dan kestabilan sistem keuangan.


Wallaho A'lam bishowab.

YAF

No comments: