Translate

Monday, July 31, 2017

Memimpikan Regulasi Dana Haji yang Pro Umat

Debat makin menghangat tentang rencana pemerintah menggunakan sebagian dana setoran haji sebagai salah satu sumber pendanaan proyek infrastruktur. Berbagai opini dan sikap mulai dari sinis, skeptik maupun optimis seolah-olah sedang "bertarung" berusaha mempengaruhi publik Indonesia termasuk saya sendiri.

Dalam teori regulasi, ada yang disebut dengan “captive theory” dimana regulasi dibuat untuk melindungi kepentingan segelintir orang (private interests) yang memiliki motif komersial dari regulasi tersebut. Lain lagi dengan “public interest theory”, dimana regulasi dibuat untuk melindungi kepentingan publik secara umum. Dan yang terakhir adalah “economic theory of regulation” atau sering juga disebut sebagai “Chicago theory of regulation” karena penggagasnya George J. Stigler kebetulan dari University of Chicago, yang membuat irisan antara teori pertama dan teori kedua dengan menyuguhkan analisis ekonomi, dimana tujuan utama sebuah regulasi adalah menghindari ekonomi dari kehancuran (market failures). Jika kestabilan ekonomi tercapai maka regulasi dianggap telah berhasil menyelamatkan dua kepentingan tersebut.

Regulasi Haji di Indonesia tidaklah seumur jagung, secara historis, regulasi dana haji pertama bisa dilihat dalam peraturan pelaksanaan haji Pemerintah Kolonial Belanda. Tahun 1960-an, Orde Lama dibawah pimpinan Sukarno mengeluarkan aturan pengelolaan dana haji harus dilakukan oleh Kementrian Agama. Secara de jure, otoritas pengelolaan dana haji oleh Kementrian Agama bertahan sampai dilantiknya Badan Pengelola Pelaksana Keuangan Haji (BPKH) oleh Presiden Jokowi tahun 2017 ini. Pergeseran dari regulasi ke regulasi dimulai dari Pemerintahan Kolonial Belanda, ORLA, ORBA, Orde Reformasi, Jaman SBY sampai dengan sekarang selalu menyimpan tanda tanya besar terkait dengan “transparansi” dan "akuntabilitas" pengelolaan dana haji, wabilkhusus disimpan dimana selama ini dana haji Indonesia, dan seandainya disimpan dalam bentuk deposito di perbankan konvensional, kemana dan untuk apa “bunga” deposito tersebut dialokasikan. Pertanyaan berikutnya berapa Bunga dari hasil simpanan dana haji ini, katanya antara 3-9% per tahun. Kata “antara”, bagaikan kata seksi bagi para pencari keuntungan (rent seekers) melalui manipulasi dari celah-celah kekurangan aturan yang ada. Apa pertimbangan pemberian bunga “antara” tersebut. Dari statement sederhana tersebut, tidaklah aneh kemudian New York Times (2010) melaporkan hasil investigasi jurnalisme mereka dimana terdapat “mata-mata” yang senantiasa mengikuti kemana dana haji akan disimpan dan digunakan.

Dana haji Indonesia adalah dana yang sangat “fantastis”, bagaikan gudang gula, diantara pemukiman semut yang sedang kelaparan. Menurut data Kemenag, masa tunggu terpanjang keberangkatan haji adalah 29 tahun dan yang terpendek adalah 11 tahun. Tahun ini, kuota haji sekitar 221.000 orang, dimana setiap calon jamaah harus menyetor 25 juta rupiah untuk dapat nomor antrian. Jika angka kuota dikalikan dengan minimal setoran awal tsb, maka total uang muka dana haji tahun 2017 sebesar 5.5 trilyun. Misal jika lama antrian kita asumsikan 10 tahun saja, dan dana 5.5 trilyun tersebut disimpan di deposito perbankan konvensional dengan suku bunga 5% per tahun, maka bunga dari uang muka calon jamaah haji yang daftar tahun 2017 adalah sebesar 2.75 trilyun dalam 10 tahun. Jika tahun 2018, 2019, dan seterusnya sampai 15 tahun kedepan dihitung, maka katanya setoran awal calon jamaah haji yang mengendap di Kementrian Agama bisa mencapai kurang lebih 83 trilyun.

Dana yang sangat besar tersebut tidaklah mungkin disimpan di “gudang-gudang” di dalam Kementrian Agama. Selama ini, sebagian besar dana haji disimpan di perbankan konvensional dan sebagian kecil di bank Syariah dengan imbalan bunga dan bagi hasil “antara” 3-9% per tahun. Menurut teori, bank adalah lembaga keuangan intermediasi yang menarik dana dari masyarakat (surplus units) dan disalurkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan pinjaman (deficit units). Dari teori tersebut, kita tahu bahwa sebenarnya setoran dana haji telah digunakan oleh bank-bank tersebut dalam bentuk pinjaman-pinjaman untuk dialokasikan ke berbagai pihak. Jadi sebelum polemik pemanfaatan dana haji untuk proyek infrastruktur muncul, selama ini dana haji telah menjadi “source of funding” alias sumber pendanaan berjuta-juta bisnis, penggunaan konsumtif, dll oleh berjuta-juta rakyat Indonesia. Dengan kata lain, selama ini dana haji adalah salah satu “engine of growth” alias mesin partumbuhan ekonomi Indonesia. Seandainya sebagian setoran dana haji digeser dari perbankan konvensional ke sukuk negara (obligasi Syariah) yang diterbitkan pemerintah untuk membiaya berbagai proyek, tetap tidak menghilangkan fungsinya sebagai salah satu mesin pendanaan aktivitas perekonomian Indonesia. Tetapi opsi kedua ini saya anggap mampu memberikan kepastian imbal hasil daripada disimpan di perbankan konvensional yang hasilnya “antara” 3-9% per tahun yang sangat rentan terhadap manipulasi dan korupsi diantara celah “antara” tersebut. Selain itu, penggunaan dana haji untuk proyek infrastruktur akan mengurangi ketergantungan terhadap investasi asing. Selama ini investor asing mendominasi kepemilikan obligasi pemerintah Indonesia (sovereign bond holders). Anggap saja, penggunaan dana haji yang sebagiannya untuk dana infrastruktur akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap hutang asing dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi Indonesia.

Hemat saya, manfaat dana haji bagi perekonomian Indonesia dan masyarakat tidak perlu dipertanyakan lagi, yang jadi pertanyaan besar adalah “apakah bunga dan imbal hasil dana haji tersebut digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan jamaah haji semata, ataukah di “captive” (dibajak) oleh kepentingan tertentu. Tentu kita boleh bertanya seperti ini, dengan pertimbangan bahwa dari tahun ke tahun fasilitas perjalanan haji jamaah Indonesia sepertinya "biasa-biasa" saja tidak ada perubahan berarti. Disinilah pentingnya pengelolaan haji yang manageable, tranparan, dan akuntabel. Undang undang No.34 tahun 2014 yang mengamanatkan pembentukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menjadi sangat penting perannya untuk mengembalikan manfaat penggunaan dana haji kembali kepada jamaah haji.

Diharapkan dengan adanya BPKH, dana haji bisa dikelola dengan aman, halal, dan menguntungkan baik bagi jamaah haji itu sendiri maupun untuk masyarakat secara umum. Dana haji yang dikelola secara professional bisa digunakan untuk membeli pemondokan haji bintang ‘enam’ baik di Mekah maupun di Madinah, membuat fasilitas hotel transit di Bandara, pesawat terbang khusus, ataupun sebuah institusi keuangan Syariah. Ini bukanlah sebuah otopia semata alias mimpi disiang bolong, tetapi sesuatu yang sangat realistis. Lihat misalnya pengelolaan dana haji di Malaysia. Tabung Haji adalah institusi keuangan yang secara khusus mengelola dana haji Malaysia sejak 1960-an, dan telah menghasilkan sesuatu yang masih dalam mimpi jamaah haji Indonesia seperti yang saya sebutkan diatas.

Tidak ada keraguan lagi bahwa tujuan penggunaan dana haji harus dikembalikan untuk kemaslahatan umat. Alangkah indahnya jika pengelolaan dana haji yang professional mampu mensubsidi dan mengurangi biaya haji, sehingga dengan biaya tersebut pergi haji bukan lagi barang mahal, tetapi terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Lebih jauh lagi, pengelolaan dana haji yang professional mampu melahirkan pelayanan (service) haji sekelas pelayanan bintang "enam". Inilah saya kira ketika regulasi digunakan untuk kepentingan publik. Tantangan selanjutnya, sejauh mana “BPKH” diberikan “power” and “authority” oleh UU dalam mengelola dana ini. Dan sejauh mana pula, “BPKH” mampu melindungi dirinya dari “mata-mata” yang senantiasa mengikuti kemana dana haji akan disimpan dan digunakan. Jadi menurut hemat saya, polemik dana haji bukan dalam pemanfaatannya termasuk untuk tujuan proyek infrastruktur pemerintah, tetapi kepada tata kelola (governance) institusi yang diberikan otoritas oleh Undang-Undang untuk mengelola dana haji. Pengelolaan yang shiddiq, amanah, fathonah, dan tablig merupakan impian kita. Sehingga regulasi yang diarahkan oleh dana haji ini selain mampu merefleksikan kepentingan dan kemaslahatan jamaah haji juga kepentingan ekonomi umat secara umum.

Wallohu a’lam bishowab.
Sydney, 31 July 2017
Yudi Ahmad Faisal

#islam #indonesia #islamiceconomics #eksyar

No comments: