Translate

Tuesday, February 26, 2008

Ayat-ayat Riba dalam Al-Quran

Oleh. Yudi Ahmad Faisal

1. Q.S. Ar-Ruum ayat 59

39. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Penjelasan dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)

Kalau ayat 58 Q.S. Ar-Ruum berbicara tentang keikhlasan berinfaq demi karena Allah semata, maka disini diuraikan tentang pemberian yang mempunyai maksud-maksud tertentu. Karena itu pula, agaknya ayat yang lalu menggunakan redaksi yang berbentuk tunggal dan yang tentunya pertama sekali tertuju kepada Rasul saw., sedang ayat ini menggunakan bentuk jamak, dan dengan demikian ia tertuju kepada banyak orang. Terkesan bahwa perubahan bentuk itu bertujuan mengeluarkan Rasul saw. yang demikian luhur dan mulia akhlaknya.

Ayat diatas menyatakan: Siapa yang menafkahkan hartanya demi karena Allah, maka ia akan memperoleh kebahagiaan, sedang yang menafkahkannya dengan riya’, serta untuk mendapatkan popularitas, maka ia akan kecewa bahkan rugi. Adapun yang memberi hartanya sebagai hadiah untuk memperoleh di balik pemberiannya keutungan materi, maka itu bukanlah sesuatu yang baik walau tidak terlarang. Dan apa saja yang kamu berikan dari harta yang berupa riba yakni tambahan pemberian berupa hadiah terselubung, dengan tujuan agar dia bertambah bagi kamu pada harta manusia yang kamu beri hadiah itu, maka ia tidak akan bertambah pada sisi Allah, karena Dia tidak memberkatinya. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yakni sedekah yang suci yang kamu maksudkan untuk meraih wajah Allah yakni keridhoan-Nya, maka mereka yang melakukan hal semacam itulah yang sungguh tinggi kedudukannya yang melipatgandakan pahala sedekahnya, karena Allah akan melipatgandakan harta dan ganjaran setiap yang bersedekah demi karena Allah.

Kata ( $\/Íh ) riba’ dari segi bahasa berarti kelebihan. Berbeda pendapat ulama tentang maksud kata ini pada ayat diatas. Sementara ulama seperti al-Qurthubi dan Ibn al-’Arabi, demikian juga al-Biqa’i, Ibnu Katsir, Sayyid Quthub dan masih banyak yang lain, semua berpendapat bahwa riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba yang halal. Ibn Katsir menamainya riba mubah. Mereka antara lain merujuk kepada sabahat Nabi saw. Ibnu Abbas ra. dan beberapa tabi’in yang menafsirkannya dalam arti hadiah yang diberikan seseorang dengan mengharapkan imbalan yang lebih.

Ada juga ulama yang memahaminya dalam arti riba dari segi hukum, yakni yang haram. Thahir Ibn Asyur berpendapat demikian. Tim penyusun Tafsir al-Munthakhab juga demikian. Mereka menulis bahwa makna ayat diatas adalah ”Harta yang kalian berikan kepada orang-orang yang memakan riba dengan tujuan menambah harta mereka, tidak suci di sisi Allah dan tidak akan diberkati. Sedang sedekah yang kalian berikan dengan tujuan mengharapkan ridha Allah, tanpa riya’ atau mengharapkan imbalan, maka itulah orang-orang yang memiliki kebaikan yang berlipat ganda.”

Sementara ulama mengemukakan bahwa uraian Al-Quran tentang riba mengalami pentahapan, mirip dengan pentahapan pengharaman khamar (minuman keras). Tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif, yaitu surah ar-Rum ini, dengan menggambarkannya sebagai ”tidak bertambah pada sisi Allah”. Kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Q.S. an-Nisa [4]: 16). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara tegas dinyatakan keharaman salah satu bentuknya, yaitu yang berlipat ganda (Q.S. Ali Imran [3]: 130). Dan yang terakhir, pengharaman total dan dalam berbagai bentuknya yaitu pada Q.S. al-Baqarah [2]: 278.

Thabathaba’i memahami kata riba pada ayat diatas dalam arti hadiah, tetapi dengan catatan bila ayat ini turun sebelum hijrah, dan riba yang haram adalah bila ia turun setelah hijrah, walaupun menurutnya ayat ini dan ayat sebelumnya lebih dekat dinilai Madaniyyah daripada Makiyyah.

Jika kita memahaminya sebagai riba yang diharamkan, maka ini berarti ayat ini telah dibatalkan hukumnya, atau dengan kata lain mansukh. Sedang kecenderungan banyak ulama dewasa ini, menolak adanya ayat-ayat mansukh, setelah ayati-ayat yang selama ini dinilai bertolakbelakang ternyata dapat dikompromikan. Karena itu, penulis cenderung memahami kata riba disini dalam arti hadiah yang mempunyai maksud-maksud selain jalinan persahabatan murni. Disisi lain, dalam Al-Quran, kata riba ditemukan sebanyak delapan kali dalam empat surat. Salah satu yang menarik adalah cara penulisannya. Hanya dalam ayat surat ar-Rum ini yang ditulis tanpa menggunakan huruf wau ditulis ( $\/Íh ). Sedang selainnya ditulis dengan huruf wau yakni (#((qt/Ìh9$#). Pakar ilmu-ilmu Al-Quran az-Zarkasyi menjadikan perbedaan penulisan itu, sebagai salah satu indikator tentang perbedaan maknanya. Yang ini adalah riba yang halal yakni hadiah, sedang yang lainnya adalah adalah riba yang haram, yang merupakan salah satu pokok keburukan ekonomi.

Kalimat (þÉĨ$¨Z9$# ŸAºuqøBr&Îû) secara harfiah berarti pada harta manusia. Al-Biqa’i dan sekian banyak ulama lain memahaminya dalam arti harta si pemberi. Penggunaan redaksi tersebut untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diperoleh oleh si pemberi dari kelebihan itu, terambil dari harta yang berada ditangan orang lain, sehingga sebenarnya harta itu bukanlah hartanya.

Banyak juga ulama memahami redaksi diatas dalam pengertian kebahasaannya. Yakni apa yang kamu berikan kepada orang lain, dengan maksud menambah harta orang yang kamu berikan itu, baik dalam bentuk hadiah, guna memperoleh popularitas atau guna mendapat tempat disisi yang kamu beri, atau sebagai cara untuk memperoleh keuntungan lebih banyak di masa mendatang, maka itu tidak terhitung sebagai amalan yang sesuai dengan kerihaan Allah, tetapi itu hanya bermanfaat untuk diri kamu sendiri.

Sayyid Quthub menulis bahwa ketika itu ada sementara oran yang berusaha mengembangkan usahanya dengan memberi hadiah-hadiah kepada orang-orang mampu agar memperoleh imbalan yang lebih banyak. Maka ayat ini menjelaskan bahwa hal demikian bukanlah cara pengembangan usaha yang sebenarnya, walaupun redaksi ayat ini mencakup semua cara yang bertujuan mengembangkan harta dengan cara dan bentuk apapun yang bersifat penambahan (ribawi). Sayyid Quthub menambahkan dalam catatan kakinya bahwa cara ini tidak haram sebagaimana keharaman riba yang populer, tetapi bukan cara pengembangan harta yang sebenarnya pada penggalan ayat selanjutnya yaitu: Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai wajah Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya), yakni memberinya tanpa imbalan, tanpa menanti ganti dari manusia, tetapi demi karena Allah.

Al-Quran sering kali menggunakan kata zakah yang secara harfiah berarti suci dan berkembang, untuk makna shadaqah/sedekah yakni pemberian tidak wajib, sebagaimana menggunakan kata sedekah yang secara harfiah antara lain berarti sesuatu yang benar, untuk pemberian wajib yaitu zakat, seperti dalam Q.S. at-Taubah[9]: 60. ini untuk mengisyaratkan perlunya kebersihan dan kesucian jiwa ketika bersedekah, agar harta tersebut dapat berkemban. Disisi lain, ketika berzakat diperlukan kebenaran dan ketulusan agar ia diterima oleh Allah swt.

Penafsiran Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi (Masail Fiqhiyah).

Surat ar-Rum ayat 39 ini belum konkret melarang riba, tetapi sudah mengingatkan bahwa Allah membenci riba dan menyukai zakat, sehingga ayat ini sebagai conditioning, artinya menciptakan kondisi umat agar siap mental untuk mentaati larangan riba yang segera dikeluarkan (Q.S. Ali Imran 130, Al-Baqarah 278-279). Surat ar-Rum ayat 39 ini menurut dia adalah surat Makiyyah.

2. Q.S. An-Nisa ayat 16

16. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

3. Q.S. Ali Imran ayat 130

130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

[228] yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya Haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.

Penjelasan dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)

Seandainya uraian tentang perang Uhud telah selesai, maka ayat yang berbicara tentang riba di atas ini, boleh jadi tidak terlalu membingungkan untuk dicari rahasia penempatannya disini. Tetapi ayat-ayat yang berbicara tentang perang Uhud masih cukup panjang. Ini menjadikan sementara ulama memeras pikiran untuk mencari hubungannya, bahkan sebagian mereka – karena tidak puas dengan upaya atau pandangan ulama lain – berhenti dan berkesimpulan bahwa ayat ini tidak perlu dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya.

Salah satu pendapat yang dapat dipertimbangkan adalah yang dikemukakan oleh al-Qaffal bahwa karena kaum musyrikin membiayai peperangan-peperangan mereka, antara lain pada perang Uhud, dengan harta yang mereka hasilkan dari riba, maka boleh jadi terlintas dalam benak kaum muslim untuk mengumpulkan pula biaya peperangan melalui riba. Ayat ini turun mengingatkan mereka agar jangan melangkah kesana.

Al-Biqa’i berpendapat bahwa sebab utama dari malapetaka yang terjadi dalam perang Uhud adalah langkah para pemanah meninggalkan posisi mereka di atas bukit untuk turun mengambil harta rampasan perang, padahal Nabi saw. sebelumnya telah melarang mereka. Harta yang mereka ambil itu adalah serupa dengan riba, dari sisi bahwa keduanya adalah sesuatu yang merupakan bagian yang berlebih dari hiasan dunia. Kesamaanya dalam hal sesuatu yang terlarang atau sesuatu yang berlebih dari yang wajar, itulah yang mengundang ayat ini mengajak orang-orang beriman agar janganlah kamu memakan riba sebagaimana yang sering terjadi pada masyarakat jahiliyah pada masa itu, yakni dengan berlipat ganda. Mereka diajak untuk menghindari siksa Allah didunia dan di akhirat dengan perintah-Nya; Dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan di dunia dan di akhirat. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, kalau kamu tidak dapat memeliharanya atas dorongan cinta, maka syukur kepada Allah. Neraka yang disediakan untuk orang-orang kafir, antara lain mereka yang menghalalkan riba, demikian juga untuk orang-orang durhaka yang mengkufuri nikmat Allah swt.

Al-Biqa’i menguatkan pendapatnya ini dengan mengutip beberapa riwayat, antara lain dari Abu Daud melalui Abu Hurairah ra. yang kesimpulannya adalah bahwa seseorang – Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn Abdil Asyhal – melakukan transaksi riba, dan dia enggan masuk Islam sebelum dia memungut riba itu. Tetapi ketika terjadi perang Uhud, dia menanyakan tentang anak-anak pamannya atau anak saudaranya dan beberapa temannya. Setelah disampaikan bahwa mereka berada di Uhud, segera dia menunggangi kudanya dan pergi menemui mereka. Ketika kaum muslim melihatnya mereka menyuruhnya pulang, tetapi dia menyatakan dirinya telah beriman. Dia ikut aktif terlibat dalam peperangan itu dan mengalami luka berat. Di rumahnya ia ditanya tentang sebab keterlibatannya dalam perang, apakah karena ingin membela keluarga atau demi karena Allah. Dia menjawab, ”Demi karena Allah dan Rasul-Nya”. Tidak lama kemudian dia gugur karena lukanya. Rasul saw. menyatakan bahwa dia adalah penghuni surga, padahal tidak sekalipun dia shalat.

Peristiwa ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai sebab turunnya ayat, dan seperti terlihat ia masih berkaitan dengan perang Uhud yang menjadi uraian ayat-ayat yang lalu. Berdasarkan hal tersebut, maka ayat diatas dapat juga bermakna, ”wahai orang-orang yang berkeinginan untuk beriman, janganlah kamu berbuat seperti Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn Abdil Asyhal yang menunda keislamannya karena ingin memungut riba yang kamu kenal berlaku dalam masyarakat, tetapi bersegeralah beriman dan bertaqwa kepada Allah agar kalian tidak celaka tetapi memperoleh keberuntungan”, atau, ”wahai orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman, lakukanlah seperti apa yang dilakukan Asyram. Dengan kesungguhan Imannya dia berperang, meninggalkan riba sehingga memperoleh keberuntungan”.

Sayyid Quthub, yang pandangannya dipuji oleh asy-Sya’rawi, menyatakan bahwa sebelum ayat-ayat surah ini melanjutkan uraian tentang Perang Uhud serta komentar-komentar yang berkaitan denga peristiwa-peristiwanya, terlebih dahulu dipaparkan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pertempuran yang dahsyat, yakni pertempuran dalam diri manusia dan lingkungan kehidupannya. Yakni uraian tentang riba, tentang takwa, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, tentang bernafkah di jalan Allah dalam keadaan lapang atau sempit, sistem kerjasama yang terpuji berhadapan dengan sistem riba yang terkutuk, juga tentang menahan amarah, pemaafan, penyebarluasan kebajikan ditengah masyarakat, serta istighfar, permohonan taubat dan kesadaran untuk tidak berlanjut dalam kesalahan dan dosa. Semua itu dikemukakan sebelum menguraikan peperangan fisik dan militer agar dapat menunjukan ciri khas ajaran islam, yaitu ”Kesatuan dan ketercakupan” al-Wahdat wasy syumul menghadapi eksistensi manusia dan segala aktivitasnya. Semua dikembalikan kepada satu poros, yaitu poros ibadah dan pengabdian kepada Allah swt. serta mengarahkan segala persoalan kepada-Nya semata.

Bersambung..........


No comments: