Translate

Tuesday, February 26, 2008

Pandangan Ekonomi Islam.

Pandangan Ekonomi Islam.

Oleh: Yudi Ahmad Faisal, SE.

Ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang dibangun berdasarkan kaidah-kaidah Islam, yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah. Jadi Ekonomi Islam jelas-jelas sangat berbeda secara fundamental dengan ekonomi kapitalis dan sosialis, dan tidak mungkin bisa dikompromikan, karena masing-masing didasarkan atas pandangan dunia yang berbeda.

Pandangan dunia ekonomi Islam, meminjam definisi dari Prof. Muhsin Qiraati (dalam buku Membangun Agama) adalah pandangan dunia yang menyertakan kesadaran bahwa keberadaan alam ini memiliki tujuan, bersarkan pada wujud yang memiliki perasaan, dan berdasarkan pada sebuah rancangan, sistem, serta perhitungan yang pasti (Pandangan dunia Ilahiyah). Sedangkan pandangan dunia ekonomi kapitalis dan sosialis, adalah pandangan dunia yang mengedepankan asumsi bahwa jagat alam ini tidak didasari oleh rancangan sebelumnya, tidak memiliki perancang yang berperasaan, tanpa tujuan, dan tanpa perhitungan yang pasti (pandangan dunia materialisme).

Analogi dari pandangan dunia ilahiyah adalah seumpama rumah besar (alam) ini ada pemiliknya, dibangun dengan perhitungan, serta memiliki tujuan, dimana saya menjadi salah satu bagian didalamnya, tentunya sikap dan perbuatan saya harus bersandar pada kerelaan pemilik rumah (Allah). Selain itu, saya juga mesti mengamalkan berbagai aturan yang telah diberikan kepada saya (lewat perantaraan wahyu dan para nabi). Atas dasar logika tersebut, ekonomi Islam menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai kaidah pembangun pemikiran dan teori-teori ekonomi sebagai upaya dan konsekuensi logis terhadap pengabdian manusia terhadap Allah SWT. Firman Allah: ”dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.

Sedangkan pandangan dunia materialisme berbanding terbalik dengan pandangan dunia ilahiyah. Dalam sudut pandang materialisme, seluruh jagat alam terwujud tanpa rancangan sebelumnya. Menurut pandangan ini, semua keberadaan tercipta sesuai dengan berlalunya waktu. Dikatakan pula bahwa seluruh manusia berjalan menuju kemusnahan diri. Dengan kematian, mereka akan menjadi musnah. Sementara tujuan dari kehidupan ini tak lebih dari sekadar meraih kesenangan duniawi, untuk kemudian segera musnah dan binasa. Atas dasar logika tersebut, ekonomi konvensional (kapitalis dan sosialis) menjadi ilmu ekonomi bebas nilai (posivistik). Contoh implikasi dari pandangan ini adalah cara kapitalisme klasik menafsirkan makna adil dalam bidang ekonomi sebagai ”anda dapat apa yang anda upayakan (you get what you deserved). Menurut Ir. H. Adiwarman Karim SE, MBA, MAEP. (dalam buku Ekonomi Mikro Islami) Penafsiran makna adil versi kapitalisme diatas, berimplikasi pada pemahaman kaum kapitalis bahwa seorang kaya merupakan cerminan dari upayanya, sebaliknya seorang miskin juga merupakan cerminan hasil upayanya. Maka, bukan menjadi kepentingan orang kaya untuk memperhatikan si miskin, dan bukan menjadi hak orang miskin untuk meminta perhatian si kaya. Hal hampir senada diutarakan Afzalurrahman (dalam buku Muhammad Seorang Pedagang), kapitalisme memberikan kebebasan dan hak kepemilikan tak terbatas pada setiap individu serta mendukung hak eksploitasi seseorang. Yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Maka tidak aneh jika kita melihat kemakmuran dan berlimpahnya kekayaan dibelahan dunia barat, tetapi disisi lain kita melihat kemiskinan dan kelaparan di belahan dunia lain. Dalam harian kompas edisi 17 juni 2004 (seperti dikutip dalam buku Problem Kemiskinan – Zakat sebagai solusi Alternatif), ada judul ”Orang Kaya Sejagat Naik 7,7 Juta” dengan total kekayaan mencapai US$ 28,8 triliun pada tahun 2003, diperkirakan jumlah kekayaan ini akan semakin meningkat setiap tahunnya dan akan melampaui US$ 40,7 triliun. Ironisnya dalam harian dan tanggal yang sama, ada juga judul ”25.000 Orang Meninggal Dunia Setiap Hari karena Kelaparan dan Kemiskinan”. Pernyataan ini disampaikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan pada pertemuan G-7 di Sao Paulo, Brazil. Dan yang lebih menyedihkan kejadian tersebut terjadi pada sekitar 1,3 miliar penduduk miskin diseluruh dunia, dimana 85% nya adalah populasi muslim, walaupun mereka tinggal di negara yang sumber daya alamnya lebih dari cukup untuk menyantuni mereka. Permasalahan ketimpangan ekonomi diatas, jelas-jelas dibangun atas dasar pemikiran bebas nilai, tanpa tanggung jawab kemanusiaan, dan keluar dari nilai-nilai ilahiyah. Lain halnya dengan Islam yang memberikan solusi atas permasalahan ketimpangan tersebut, dimana si kaya berhak menjadi kaya karena usahanya, selama tidak menzalimi, itupun dalam hartanya terdapat hak orang lain yang harus dikeluarkan, ini merupakan salah satu wujud dari kaidah Islam dalam bidang ekonomi, yaitu Zakat dan Distribusi Kekayaan (Q.S. 59 : 7 ” agar harta jangan sampai beredar hanya dikalangan orang-orang kaya saja). Wallohu Alam Bishowab.

No comments: