Translate

Tuesday, March 11, 2008

KONSEP UANG dan MODAL DALAM ISLAM

IKHWAN ABIDIN BASRI

Sejak dulu manusia telah menggunakan berbagai cara dan alat untuk melangsungkan pertukaran barang dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Pada tahapan peradaban manusia yang masih sangat sederhana mereka dapat menyelenggarakan muamalah dan tukar menukar kebutuhan dengan cara barter. Namun pertukaran barter ini mensyaratkan adanya double coincidence of wants dari pihak-pihak yang melakukan pertukaran ini. Tetapi, semakin banyak dan kompleks kebutuhan manusia, semakin sulit melakukan barter dan apada gilirannya akan mempersulit muamalah antara manusia. Itulah sebabnya manusia dari dulu sudah memikirkan perlunya suatu alat tukar yang dapat diterima oleh semua pihak. Alat tukar demikian disebut uang.

Dalam perkembangan sejarahnya, uang telah mengalami berbagai perkembangan evolusi sebelum akhirnya menjadi alat tukar modern seperti yang kita gunakan pada saat sekarang ini. Sebelum manusia menemukan logamyang dapat dijadikan sebagai alat tukar, mereka telah menggunakan barang dan bahkan hewan ternaksebagai alat tukar yang berfungsi sebagai uang dan disebut sebagai uang komoditas. Namun ketika logam dan batu mulia mulai ditemukan, mereka mulai melakukan pertukaran dengan menggunakan logam mulia, terutama emas dan perak, yang telah dicetak oleh pihak otoritas menjadi pecahan-pecahan dengan bobot tertentu sebagai alat tukar yang sah.

Dalam al Quran dan al Hadits dua logam mulia ini, emas dan perak, telah disebutkan baik dalam fungsinya sebagai mata uang atau sebagai harta dan lambang kekayaan yang disimpan. Ini dapat kita lihat dalam S. at Taubah : 34 yang menjelaskan orang-orangf yang menimbun emas dan perak, baik dalam bentuk mata uang maupun dalam bentuk kekayaan biasa dan mereka tidak mau mengeluarkan zakatnya akan diancam dengan azab yang pedih. Ayat ini juga menegaskan tentang kewajiban zakat bagi logam mulia secara khusus. Dalam surat al Kahf : 19 Allah menceritakan kisah Ashhabul Kahf (penghuni gua) yang menyuruh salah seorang dari teman mereka untuk membelanjakan uang peraknya(wariq) untuk memberi makanan sesudah mereka tertidur selama 309 tahun di gua. Al Quran menggunakan kata Wariq yang artinya adalah uang logam dari perak atau dirham.

Di samping itu juga al Quran menceritakan kisah Nabi Yusuf yang dibuang ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, lalu ditemukan oleh para pedagang musafir yang menimba air di sumur tersebut, kemudian menjualnya dengan harga yang murah yaitu beberapa dirham saja. Dengan jelas ayat ini menjelaskan dengan kata-kata dirham yang berarti mata uang logam dari perak. Dari cerita yang dituturkan oleh al Quran tersebut jelaslah bahwa penggunaan dua logam mulia (bimetalisme) sebagai mata uang telah dilakukan oleh manusia dari zaman dulu ribuan tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw.

Di samping itu banyak sekali hadits Nabi Muhammad saw. Yang menyebut dinar dan dirham atau menggunakan kata wariq. Rasulullah saw. Bersabda :

“Dinar dengan dinar, tidak ada kelebihan antara keduanya (jika dipertukarkan); dan dirham dengan dirham dan tidak ada kelebihan di antara keduanya (jika dipertukarkan).” (H.R. Muslim)

Dalam hadits lain Rasulullah saw. Menggunakan kata wariq seperti dalam hadits berikut ini :

“Uang logam perak yang jumlahnya di bawah lima auqiyah tidak ada kewajiban zakat atasnya” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Awwaq adalah bentuk jama dari kata auqiyah yang berarti empat puluh dirham. Dengan demikian arti hadits di atas adalah tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat harta bagi orang yang memiliki uang perak kurang dari dua ratus dirham.

Fungsi Uang Dalam Ekonomi Islam

Dalam setiap perekonomian, uang selalu berfungsi sebagai alat tukar (medium of exchange). Ini adalah fungsi utama uang. Dari fungsi utama ini menurunkan fungsi-fungsi yang lain seperti uang sebagai standard of value, unit of account dan standard of deffered payment. Mata uang manapun niscaya akan berfungsi seperti ini.

Dalam sistem perekonomian kapitalis, uang dipandang tidak saja sebagai alat tuklar yang sah (legal tender) melainkan juga dipandang sebagai komoditas biasa. Dengan demikian, menurut sistem ini, uang juga dapat diperjualbelikan dengan kelebihan baik on the spot maupun secara tangguh. Dalam prespektif ini uang juga dapat disewakan (leasing).

Dalam Islam, apapunyang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai medium of exchange. Ia bukan suatu komoditas yang bisa dijualnelikan dengan kelebihan baik secara on the spot maupun bukan. Satu fenomena penting dari karakteristik uang adalah bahwa ia tidak diperlukan untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya sendiri, melainkan diperlukan untuk membeli barang yang lain sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Inilah yang dijelaskan oleh Imam Ghazali bahwa emas dan perak hanyalah logam yang di dalam subtansinya (zatnya itu sendiri) tidak ada manfaatnya atau tujuan-tujuannya. Menurut beliau “kedua-duanya tidak memiliki apa-apa tetapi keduanya berarti segala-galanya”. Keduanya ibarat cermin, ia tidak memiliki warna namun ia bisa mencerminkan semua warna[1]. Kita sangat kagum dengan penjelasan yang begitu brilian dari Iamam Ghazali berkaitan dengan hakekat uang dan fungsinya dalam perekonomian. Penjelasan beliau ini memiliki argumen yang setara bahkan mungkin lebih bagus dari pada argumen yang dikemukakan oleh para ekonom dewasa ini tentang uang.

Sekalipun pada masa awal-awal Islam sudah terbiasa bermuamalah dengan dinar dan dirham(bimetalisme) namun kemungkinan untuk menjadikan barang lain sebagai mata uang yang berfungsi sebagai medium of exchange telah muncul dalam pikiran sahabat. Misalnya Umar bin Khatab pernah mengatakan : “Aku ingin (suatu saat) menjadikan kulit unta sebagai alat tukar”. Pernyataan ini keluar dari bibir seorang yang amat paham tentang hakekat uang dan fungsinya dalam ekonomi. Menurut Umar, sesungguhnya uang sebagai alat tukar tidak harus terbatas pada dua logam mulia saja seperti emas dan perak. Kedua logam mulia ini akan mengalami ketidak stabilan manakal terjadi ketidakstabilan pada sisi permintaan maupun penawarannya. Karena itu, apaun, sesungguhnya dapat berfungsi menjadi uang termasuk kulit unta. Dalam pandangannya suatu barang yang telah berubah fungsinya menjadi alat tukar(uang) maka fungsi moneternya akan meniadakan fungsinya atau paling tidak akan mendominasi fungsinya sebagai komoditas biasa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa uang sebagai alat tukar bahannya dapat diambil dari apa saja yang disepakati oleh adat yang berlaku (urf) dan istilah yang dibuat oleh manusia. Ia tidak harus terbatas dari emas dan perak. Misalnya, istilah dinar dan dirham itu sendiri tidak memiliki batas alami atau syari’. Dinar dan dirham tidak diperlukan untuk dirinya sendiri melainkan sebagai wasilah (medium of exchange). Fungsi medium of exchange ini tidak berhubungan dengan tujuan apapun, tidak berhubungan dengan materi yang menyusunnya juga tidak berhubungan dengan ganbar cetakannya, namun dengan fungsi ini tujuan dari keperluan manusia dapat dipenuhi.[2]

Pada umumnya para ulama dan ilmuan sosial Islam menyepakati fungsi uang sebagai lat tukar saja. Deretan ulama ternama seperti Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyimal Jauziyyah, Ar Raghib al Asbahani, Ibnu Khaldun, al Maqrizi, dan Ibnu Abidin dengan jelas menandaskan fungsi pokok uang sebagai alat tukar. Bahkan Ibnu Qayyim mengecam sistem ekonomi yang menjadikan fulus (mata uang logam dari kuningan atau tembaga) sebagai komoditas biasa yang bisa diperjualbelikan dengan kelebihan untuk mendapatkan keuntungan. Seharusnya mata uang ini bersifat tetap, nilainya tidak naik dan turun.[3]

Sekalipun jumhur ulama yang dipelopori oleh pribadipribadi terdepan dalam pemahaman tentang syari’ah dan maqasidu al Syari’ah, namun ada juga pendapat minor yang memandang mata uang sebagai komoditas. Mereka ini tidak mewakili pandangan yang paling kuat dari madzhabnya masing-masing. Misalnya, dalam kitab Syarhul Muntaha dalam fiqh Hanbali dikatakan bahwa tidak ada riba pada fulus yang dijualbelikan satu per satu meskipun hal itu dipergunakan secara luas karena telah keluar dari illatnya yaitu takaran dan timbangan. Demikian pula Syeikh Hasyim al Ghouti al Madani dari madzhab Syafi’i, Syeikh Illsy al Maliki dari madzhab Maliki dan Syeikh Syamsuddin sarakhsi dalam kitabnya al Mabsut. Semuanya menyatakan tidak berlaku riba pada fulus meskipun secara luas dipakai sebagai alat tukar.[4]



[1] Lihat kitab Ihya Ulumuddin vol 4, hal 88-89

[2] Lihat, Majmuatul Fatawa vol. 19, hal 251.

[3] Lihat, I’lamul Muwaqqi’in, 137. Timbulnya mata uang dari tembaga (fulus) ini terjadi karena pemerintah kaum Muslimin selalu mengalami ketidakseimbangan fiskal, mereka mengalami defisit karena korupsi aparat pemerintah, gaya hidup yang mewah dan peperangan yang terus berkobar di antara mereka maupun dengan musuh mereka, Lihat, M. Umer Chappra, The Future of Economies ; An Islamic Perspective,hal. 204-206.

[4] Lihat, Dr. Ali Abdur Rasul, Al Mabadi’ al Iqtishadiyyah,hal. 129-130.



No comments: