Translate

Tuesday, August 1, 2017

Praktik Keuangan Ribawi dan Dana Haji

Praktik Keuangan Ribawi dan Dana Haji
Yudi Ahmad Faisal

Bank adalah lembaga intermediasi atau penengah antara pihak yang mempunyai uang (surplus units) yang menyimpan uangnya di bank dan pihak yang membutuhkan uang (deficit units) yang memanfaatkan kredit yang disalurkan melalui perbankan. Dengan kata lain, uang yang disimpan di bank, pasti akan disalurkan oleh pihak bank dalam bentuk kredit. Bank harus mampu mengelola uang yang masuk dalam bentuk simpanan dan uang yang dialokasikan dalam bentuk kredit, dimana bunga yang diterima dari nasabah kredit harus lebih besar daripada bunga yang diberikan kepada nasabah penabung. Inilah yang disebut sebagai “positive spread” dalam teori bank, yang menjadikan bank terus beroperasi dan mendapatkan laba. Oleh karena itu, maka akan mustahil ketika bank menerima uang dari nasabah dan tidak memanfaatkan uang tersebut dalam bentuk kredit. Sistem konvensional tidak mensyaratkan adanya kontrak yang “customised” atau disesuaikan dengan keinginan nasabah, sehingga kontrak semua nasabah penyimpan dengan pihak perbankan disamaratakan yaitu kontrak hutang piutang, artinya bank sebagai pihak yang berhutang, dan nasabah pihak yang memberikan hutang dengan imbalan bunga tertentu.


Polemik dan keberatan penggunaan dana haji selain untuk membayar ongkos naik haji disebabkan oleh kurangnya literasi masyarakat terhadap sistem keuangan dan perbankan. Selama ini selama berpuluh-puluh tahun, sebagian besar dana setoran haji disimpan oleh Kemenag di bank-bank nasional. Kenapa disimpan di perbankan, karena tidak ada mekanisme penyimpanan uang dalam jumlah besar selain di perbankan. Bisa saja disimpan di pasar modal (direct finance), tetapi resikonya lebih tinggi dan tidak liquid (tidak bisa dicairkan kapan saja). Lebih-lebih akibat dari kebijakan kuota haji, maka setiap calon jamaah haji yang telah menyetor uang untuk dapat antrian haji harus menunggu 13 sampai 29 tahun untuk berangkat haji. Artinya sebelum uang tersebut dibayarkan kepada pihak-pihak operator penyelenggara haji seperti pesawat, penginapan, transportasi, dll, maka otomatis uang ini akan diendapkan terlebih dahulu di bank.

Kalau kita mau merujuk kepada Fatwa MUI tahun 2004 tentang pengharaman bunga bank konvensional, maka selama ini, dana haji yang disimpan di bank-bank nasional telah ikut serta menyuburkan praktik keuangan ribawi di tanah air. Undang-undang No 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji adalah bentuk proteksi atau perlindungan terhadap calon jamaah haji. UU ini “mengharamkan” penempatan dana milik umat pada instrumen konvensional. Artinya, semua dana haji harus disimpan dalam instrumen keuangan berbasis Syariah baik deposito di bank-bank Syariah ataupun sukuk (seringkali disebut sebagai obligasi Syariah). Selain itu, UU ini juga mengamanahkan berdirinya BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji), yang diharapkan dapat mengoptimalkan dana tunggu para calon jemaah haji yang telah dibayarkan. BPKH diberikan kewenangan untuk menempatkan dan menginvestasikan dana haji berdasarkan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan dan nilai manfaat. Eksekusi UU No.34/2014 oleh pemerintah Jokowi secara otomasi akan meningkatkan praktik keuangan Syariah di Indonesia. Dana haji yang selama ini “parkir" di perbankan konvensional, harus ditarik dan simpan di instrument-instrumen keuangan Syariah. Dengan demikian dapat dipastikan dalam beberapa tahun kedepan, pangsa pasar industri Syariah terutama asset perbankan Syariah dan kapitalisasi sukuk (obligasi syariah) akan meningkat secara signifikan. 

Sydney, 2 Agustus 2017

No comments: