Translate

Saturday, May 20, 2017

Ibnu Khaldun di Mata Barat

Pagi itu cuaca dingin seperti telah menjadi bagian dari hidup di London, orang-orang memulai kelas pertama kalinya setelah seminggu kebelakang melakukan orientasi perkuliahan. Seorang dosen, doktor lulusan Oxford University, langsung memerintahkan mahasiswa untuk membaca artikel berjudul “Ibn Khaldun: the Last Greek and the First Annaliste Historian”, artikel tersebut dikategorikan essential readings dalam mata kuliah Historiography, atau studi tentang sejarah. Artinya seolah-olah kurikulum tersebut mau mengatakan bahwa membaca karya Ibn Khaldun (1332–1406 M) dalam bidang sejarah dan sosiologi adalah persyaratan wajib untuk memahami studi tentang sejarah dan sosiologi.

Dalam ilmu social (social sciences), memahami asal muasal sesuatu sangat sentral peranannya untuk memahami dan mengintrepretasikan realitas sosial yang berkembang. Dalam kategori tersebut, Ibn Khaldun memberikan sumbangsih yang luar biasa, atau bahkan mungkin memberikan fondasi awal bagi studi sejarah dan sosiologi, sehingga tidak aneh jika di abad ke-19 banyak sarjana barat yang menyebut Ibn Khaldun sebagai the founding father of sociology. Bahkan sarjana-sarjana barat kenamaan seperti Becker dan Barnes dalam karya mereka “Social Thought from Lore to Science”, yang pertama kali dipublikasikan tahun 1938, menyebut Ibn Khaldun sebagai peletak batu pertama studi sejarah sosiologi dengan pendekatan sains modern. Bahkan banyak juga sarjana barat maupun timur melakukan komparasi pemikiran Ibn Khaldun dengan pemikiran barat kenamaan yang lahir belakangan sekitar abad 17 dan seterusnya seperti Auguste Comte, Karl Marx, Engels, Marx Webber, Durkheim, dll. Dengan kesimpulan bahwa ada “kemungkinan” para sarjana barat kenamaan tersebut dipengaruhi pemikiran Ibn Khaldun.

Tradisi keilmuan adalah tradisi yang berkelanjutan, dan tidak pernah terputus. Dalam bahasa teori social chain, perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer dipengaruhi oleh pencapaian ilmu pengetahun di masa lalu. Kalau dilihat dari konteks tersebut, sangat mungkin pemikiran Ibn Khaldun memberikan sumbangsih bagi perkembangan sains sosial di barat. Pada abad 17, nama Ibn Khaldun muncul pertama di Eropa. Sebuah biography of Ibn Khaldun di terbitkan dalam D’Herbelot’s Bibliothèque Orientale tahun 1697. Seratus tahun kemudian sekitar abad 18, Silvestre de Sacy menerjemahkan dan mempublikasikan karya Ibn Khaldun Mukaddimah, kedalam bahasa Perancis (Baali, 1986). Dari sini kemudian dunia barat mulai berkenalan, mengkaji, dan mengadopsi pemikiran-pemikiran Ibn Khaldun dibidang ilmu-ilmu sosial.

Waktu menunjukkan pukul 5 pm GMT, seperti biasa si biru yang ditempatkan di lantai basement menunggu majikannya untuk ditunggangi menuju Tufnell Park. Dalam perjalanan pulang dengan menelusuri jalan Camden Road, Kentish Town, dan Junction Road, saya dikejutkan oleh seorang pengendara motor yang menabrak pejalan kaki, keduanya terjatuh, dan tanpa merasakan rasa sakit, si pengendara motor yang juga ikut terjatuh dan menabrak pagar pembatas jalan langsung berlari menuju korban untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Sebuah pemandangan yang membanggakan, si penabrak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya dan tidak pergi begitu saja, atau istilah bahasa Indonesianya “tabrak lari”. Apakah memang realitas sosial masyarakat barat seperti ini? ber-etika dan bertanggung jawab, ataukah ini hanya kasuistis dan tidak mencerminkan secara umum? ataukah ini hanya kondisi dimana yang ditabrak adalah orang barat lagi, seandainya yang ditabrak orang asia atau arab apakah kondisinya akan sama seperti itu?

Untuk memahami fakta sosial seperti diatas, Ibn Khaldun memberikan sumbangsih dua metodologi ilmu sosial yaitu ‘ilm al-’umra¯n al-basharı¯ (the science of human social organization) dan ‘ilm al-ijtima¯ ’ al-insa¯nı¯ (the science of human society) untuk mengkaji setiap aspek dalam masyarakat dan kehidupan sosial. Bagi para pemerhati masalah kemasyarakatan dan ilmu-ilmu sosial di tanah air ataupun didunia muslim, sudah saatnya kita menghargai kontribusi sarjana muslim klasik dengan mengkaji kembali beribu-ribu magnumopus yang pernah disumbangkan oleh sarjana-sarjana muslim dalam banyak bidang. Renaissance di barat tidak akan pernah terjadi jika tidak terjadi suatu masa yang dinamakan orang barat sebagai the dark middle of ages atau the golden age of Islamic civilisations dalam sejarah muslim.

Wallahu a’lam bishowab.
Yudi Ahmad Faisal


References

Baali, Fuad (1986) Ilm al-Umran and Sociology: A Comparative Study. Annals of the Faculty of Arts, 36th Monograph, Vol. 7. Kuwait: Kuwait University.

Syed Farid Alatas, Ibn Khaldu¯n and Contemporary Sociology, International Sociology, November 2006, Vol 21(6): 782–795, International Sociological Association

No comments: