Translate

Tuesday, May 16, 2017

Mencari Karakter si Fulan

Tersebutlah namanya Fulan. Si Fulan sangatlah hati-hati dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu. Baginya, penilaian bukan berasal dari penilaian masyarakat kebanyakan, tetapi dari proses yang mandiri dengan mempertimbangkan berbagai sudut dan sumber informasi. Baginya penilaian bukanlah dilihat dari aspek lahiriyah semata, tetapi juga aspek-aspek kasat mata. Dia selalu ingat kalimat mutiara, “Janganlah Engkau melihat seseorang dari bajunya, tetapi lihatlah kepada akhlaknya”. Melihat baju bukanlah perkara sulit, tetapi untuk melihat akhlak seseorang diperlukan kesabaran, ketelatenan, dan bahkan ketekunan untuk terus menerus mengamati tindak dan tanduk prilaku seseorang. Ketika tidak sampai melihat seseorang secara menyeluruh dan sesuai dengan kenyataannya, bagi si Fulan, diam lebih baik daripada menilai dan berbicara.

Pun dalam memberikan informasi, Si Fulan adalah orang yang sangat hati-hati. Dia selalu memegang salah satu ayat yang tertuang dalam Al-Qur’an, sebuah kitab suci yang menerangi sudut-sudut kegalapan peradaban manusia, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan sampaikanlah perkataan yang sadid” (Q.S. 33:70). Si Fulan sadar betul bahwa kata sadid dalam ayat tersebut bukan hanya bermakna “benar”, tetapi kata tersebut dalam berbagai bentuknya bermuara pada makna menghalangi atau membendung (dalam arti yang tidak sesuai, sehingga menghasilkan sesuatu yang berguna). Sehingga sebuah ucapan tidak saja diharuskan sesuai dengan kandungannya dan kenyataannya, tetapi harus menjamin sasarannya tidak terjerumus ke dalam kesulitan.

Si Fulan selalu berusaha menjelaskan segala sesuai dengan hikmah penuh kebijaksanaan. Baginya benarlah apa yang dikatakan Al-Qur’an, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. An-Nahl, 125).

Si fulan selalu berempatik dalam menyampaikan sesuatu, dan berusaha menyampaikan sesuatu dengan bahasa mereka. Dia sadar betul arti penting prinsip “likulli maqam maqal wa likulli maqal maqam”, setiap tempat ada ucapan yang sesuai dan untuk setiap ucapan ada tempat yang sesuai. Pun dia sadar bahwa melanggar prinsip tersebut bisa menyebabkan seseorang jatuh pada penyesalan. Pepatah Arab melukiskannya dengan kalimat, “terpelesetnya kaki lebih baik daripada terpelesetnya lidah”.

Ingatannya pun tertuju pada ayat lain yang menjadi pendahuluan dalam bab tawadhu karya Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin, “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (Q.S. Al-Furqan ayat 63). Imam Nawawi menjelaskan ayat ini dalam konteks kesombongan seorang hamba Tuhan. Sombong adalah ketika seseorang tidak memiliki sifat-sifat yang dijelaskan dalam ayat tersebut, berjalan di muka bumi dengan petantang-petenteng, berbicara kasar, dan mengucapkan sumpah serapah ketika berpapasan dengan orang-orang jahil yang menghardik mereka. Itulah kebalikan dari sifat sifat yang disematkan kepada “ibadurrahman” alias hamba yang Maha Penyayang.

Si Fulan terus dicari dan dicari. Seandainya si Fulan ada, niscaya kedamaian ada di negeri kami.
Salam
Yudi Ahmad Faisal  

No comments: