Translate

Monday, May 22, 2017

Inspirasi Ramadhan Bagi Indonesia

Alhamdulillah, Ramadhan is coming in few days, mungkin itu bahasa lokal disini sebagai ekspresi kedatangan bulan mulia dalam kalender Umat Islam. Tidak terasa ini adalah Ramadhan ketiga saya di tanah perantauan ujung selatan dunia. Dalam obrolan santai saya dengan Istri seringkali kita merasa bahwa di tanah rantau ini waktu berlalu terasa lebih cepat dibandingkan ketika kita menjalani kehidupan di “zamrud khatulistiwa”. Pun teman saya merasakan hal yang serupa. Pada suatu kali dalam sebuah acara kumpul-kumpul orang Indonesia, dia sempat “berteori” bahwa cepatnya kehidupan di Negara Kangguru ini karena secara geografis tanah yang kita injak sangat dekat dengan ujung dunia. Apapun itu, yang pasti pepatah Arab mengingatkan, al-waktu kassyaif idza lam taqtoahu qhataaka, “waktu bagaikan pedang, apabila kita tidak memotongnya [menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya], maka kita akan dipotongnya [waktu akan menyia-nyiakan kita].

Dengan menggunakan qiyas-an yang sama, manfaatkanlah segala kemuliaan, dan “discount” pahala dan kebaikan langit selama bulan Ramadhan, unless, kata orang sini, kita akan melewati bulan ini dengan hampa, dan kesia-siaan. Sebuah hadits memperingatkan kita bahwa “berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali haus dan lapar”.

Para ulama besar kita, sebagai pewaris para nabi (al-ulama warosatul anbiyaa) telah meniti jalan keshalehan untuk diikuti sehingga puasa kita tidak terjebak kedalam rutinitas hampa, tanpa makna, dan pahala. Imam Al-Ghazali, salah satunya, penulis magnum opus “ihya ulumuddin” (menghidupkan kembali agama) dalam salah satu tulisannya “Inner Dimensions of Islamic Worship” menerangkan tiga derajat (tingkatan) berpuasa, yaitu shaum umuum (puasa umum), shaum khusus (puasa khusus), dan shaum khususil khusus (puasa paling khusus). Tiga derajat ini dinisbatkan kepada sifat-sifat orang yang berpuasa. Mereka yang berpuasa sekadar menahan diri dari makan dan minum, maka puasa orang seperti ini sangat umum dan hanya sebatas menahan diri dari perbuatan yang membatalkan puasa secara dzahir. Lain lagi dengan orang saleh, mereka meningkatkan kualitas dan tingkatan puasa dengan menahan semua organ tubuh dari perbuatan-perbuatan yang bisa menjerumuskan kedalam kubangan dosa. Bagi mereka organ-organ tubuh bisa menjadi pintu masuk yang menggerogoti keabsahan puasa. Mata, telinga, mulut, kemaluan, tangan, kaki, dan semua unsur badan berpotensi membawa krikil-krikil dosa jasmaniah dan merusak kualitas puasa.

Selanjutnya puasa paling khusus. Puasa model ini dikerjakan oleh Para Nabi, Hamba Allah yang dekat dengan-Nya. Menurut al-Ghazali, hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini. Tingkatan ini sudah menaklukkan tantangan jasadiyah, dan hanya mengalihkan pikirannya untuk Sang Maha Pencipta. Jikalau terlintas sedikit tentang orientasi duniawi dalam alam pikirannya, maka dianggap menurunkan derajat tingkat ketiga ini. Dalam bahasa Al-Ghazali, “Bila dalam diri kita telah tumbuh kerinduan untuk bertemu dengan Allah SWT, dan bila keinginan kita untuk mendapatkan makrifat tentang keinginan-Nya nyata dan lebih kuat daripada nafsu makan dan seksual, Anda berarti telah menggandrungi taman makrifat ketimbang surga pemuas nafsu indrawi”.

Anggaplah bahwa puasa tingkatan ketiga adalah perjalanan spiritual kita di anak tangga ke seribu. Untuk mendaki jalan kesana, kita harus melalui anak tangga kesatu, kedua, dan seterusnya. Al-Ghazali memberikan cara bagaimana kita memulai perjalanan spiritual untuk mencapai derajat puasa orang-orang shaleh. Pertama, Menghindari dari penglihatan yang dibenci oleh Allah SWT. Sebuah hadith menggambarkan pandangan mata sebagai “panah beracun milik syetan”. Jika kita melepaskan anak panah ini dengan penuh nafsu, maka kita memberi ruang syetan menggerogoti keimanan kita.

Kedua, Menjaga dan memelihara ucapan. Dengan indah sebuah hadith menggambarkan puasa sebagai “a shield” atau perisai. Perisai dari perkataan sia-sia, dusta, mengumpat, menyebarkan fitnah, berkata kasar dan keji, dan melontarkan kata-kata permusuhan. “Jika ada orang yang menyerang dan memakimu, katakanlah: Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa!”. Benarlah firman sang Pencipta, “Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63). Lawanlah sikap pengecut dan penuh kedengkian, dengan akhlak mulia. Lawanlah kata-kata dan prilaku kasar dengan kata-kata mulia dan penuh kebaikan. Diceritakan dalam al-Qur’an bagaimana Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menghadap Fir’aun dan tetap menjaga tutur kata yang lemah lembut (qaulan layyinan), “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sebab dia memerintah dengan sewenang-wenang. Kemudian berkatalah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut (qaulan layyinan) semoga dia akan menjadi ingat atau menjadi takut [kepada Tuhan]” (Q.S. 20: 43-44). Di ayat yang lain dikatakan, “Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Lawanlah kejahatan dengan sesuatu yang lebih baik, maka orang yang di antara engkau dan dia ada permusuhan itu akan menjadi seolah-olah kawan yang sangat akrab” (Q.S. Fushilat [41]: 34). Nabi memperingatkan kita, “man yuhramu al-rifqu yuhramu al-khair” (siapa yang jauh dari sikap lemah lembut ia jauh dari kebaikan” (HR. Muslim). Dikatakan dalam hadith yang lain, “sesungguhnya Allah yang Maha Lembut menyukai kelembutan. Kelembutan yang menghasilkan sesuatu yang tidak dihasilkan oleh kekerasan” (HR. Muslim).

Ketiga, Menjaga pendengaran. Menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tercela; karena setiap sesuatu yang dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk didengarkan. Al-Qur’an tidak membedakan antara orang yang suka mendengar (yang haram) dengan mereka yang suka memakan (yang haram), "Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tiada halal." (QS.5: 42). Cara terbaik adalah menjauhi pengumpat atau berdiam diri. 'Jika engkau (tetap duduk bersama mereka), sungguh, engkaupun seperti mereka ..." (Q.s. 4: 140). Itulah mengapa Nabi Muhammad memperingatkan kita, "Yang mengumpat dan pendengarnya, berserikat dalam dosa." (HR. At Tirmidzi).

Kelima, Menjaga Sikap Perilaku. Setiap bagian dari organ kita bagaikan satu kesatuan yang mengukur baik atau tidaknya perilaku kita. Mereka masing-masing akan bersaksi dihadapan pengadilan langit apa yang telah mereka lakukan didunia ini. Alangkah baiknya jika kita resapi syair lagu almarhum Chrisye. 

“Akan datang hari
Mulut dikunci
Kata tak ada lagi

Akan tiba masa
Tak ada suara
Dari mulut kita

Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita
Bila harinya
Tanggung jawab, tiba...

Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya
Sempurna

Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu
Yang hina”

Keenam, Menghindari memenuhi kepuasan jasmaniah secara berlebihan. Ketujuh, Menuju Allah SWT dengan Rasa takut dan Pengharapan. Puasa, kata seorang bijak, harus menghadirkan hati kita seolah olah berayun antara takut (khauf) dan harap (raja’). Tiada ada yang mengetahui apakah amal kita diterima atau tidak, kecuali Sang Pencipta Hati dan Sang Pembuka Rahasia Hati. Diceritakan, Dari al Hasan bin Abil Hasan al Bashri, bahwa suatu ketika melintaslah sekelompok orang sambil tertawa terbahak bahak. Hasan al Bashri lalu berkata, 'Allah swt. telah menjadikan Ramadhan sebagai bulan perlombaan. Di saat mana Para hamba Nya saling berlomba dalam beribadah. Beberapa di antara mereka sampai ke titik final lebih dahulu dan menang, sementara yang lain tertinggal dan kalah. Sungguh menakjubkan mendapati orang yang masih dapat tertawa terbahak bahak dan bermain di antara (keadaan) ketika mereka yang beruntung memperoleh kemenangan, dan mereka yang merugi memperoleh kesia-siaan. Demi Allah, apabila hijab tertutup, mereka yang berbuat baik akan dipenuhi (pahala) perbuatan baiknya, dan mereka yang berbuat cela juga dipenuhi oleh kejahatan yang diperbuatnya." Dari al Ahnaf bin Qais, bahwa suatu ketika seseorang berkata kepadanya, "Engkau telah tua; berpuasa akan dapat melemahkanmu." Tetapi al Ahnaf bahkan menjawab, "Dengan berpuasa, sebenarnya aku sedang mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang. Bersabar dalam menaati Allah SWT. tentu akan lebih mudah daripada menanggung siksa Nya."

Demikianlah shaum Ramadhan mengajarkan kita untuk meniti anak tangga menuju kesadaran spiritualitas tertinggi. Tingkatan yang harus melalui jalan-jalan keshalehan sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali. Harapan kita semua, Ibadah Shaum Ramadhan memberikan inspirasi untuk kebaikan di Negara Kita. Haji Abdul Karim Malik Amrullah (HAMKA) mengibaratkan Indonesia sebagai sebongkah tanah surga yang Tuhan lemparkan ke dunia. Akan lebih baik, jika tanah surga ini dihuni oleh orang-orang dengan akhlak surgawi.

Wallohu ‘alam bishowab.
Sydney, 22 Mei 2017
Yudi Ahmad Faisal

No comments: