Translate

Friday, February 24, 2017

Singapura-Sydney: Dari “Chicago Plan” ke Keuangan Syariah

Dalam perjalanan Singapura – Sydney, kebetulan saya bertemu seorang yang mengaku sebagai ekonom dari sebuah universitas di Australia. Dari perbincangan onboard kami, saya banyak cerita tentang keuangan Syariah, dan dia pun cukup concern dengan sistem kapitalisme yang dia anggap sedang sakit, karena ‘self correction” yang dijadikan dogma free market economy ternyata sedang lumpuh terutama ketika krisis keuangan global menjelma menjadi krisis ekonomi pada tahun 2008. Di akhir perbincangan sebelum makan malam dimulai, biasanya sekitar 2 jam setelah take off, dia bertanya, “Have you read the Chicago Plan” proposed by IMF in 2012?, sepontan saya jawab : “I haven’t”. Itulah perkenalan saya dengan John.


Setelah saya baca dokumen “the Chicago Plan Revisited” yang diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF) di tahun 2012, saya baru sadar bahwa si John memperhatikan dengan detail setiap penjelasan saya tentang diskursus keuangan Syariah terutama ketika saya jelaskan kenapa konsep Fractional Reserve Banking (FRB) ditolak oleh sebagian ekonom Syariah, contohnya oleh Professor Ahamed Kameel Mydin Meera, bagi para Mafia Gombak, nama professor tersebut tidak akan asing terutama ide nya untuk mengembalikan konsep Gold Dinar. Rupanya dia sadar betul, bahwa penolakan konsep Fractional Reserve Banking (FRB) juga dilakukan oleh sebagian ekonom barat melalui ‘The Chicago Plan’.

“Chicago Plan” sebuah dokumen hasil kajian para ekonom Universitas Chicago, terutama Henry Simons, dan mendapat dukungan Irving Fisher dari Yale University, yang tahun 1930an diterbitkan menyusul Great Depression yang melanda Amerika Serikat, ajaibnya memiliki kesamaan dengan diskursus keuangan Syariah terutama dalam konteks Riba. Sebagian ekonom Syariah memandang credit multiplier melalui fractional reserve banking sebagai mesin pencipta uang (money creation) dan penjelmaan Riba di dunia modern.


Salah satu usul “Chicago Plan” menyebutkan uang deposit yang disimpan di sistem perbankan harus di back-up sepenuhnya (100% reserve requirement) untuk menghindari penciptaan uang (money creation) oleh sistem perbankan melalui fractional reserve banking. Sistem perbankan sekarang termasuk perbankan Syariah menggunakan model Fractional reserve banking, dimana hanya beberapa persen (misalnya 10%) dari uang deposit nasabah dijadikan sebagai reserve (cadangan), sisanya yang 90% dialokasikan sebagai kredit kepada nasabah peminjam. Fractional reserve banking memungkinkan uang tumbuh dan berkembang diluar uang yang dikeluarkan oleh bank central (credit multiplier effects). Dengan sistem ini, mustahil bank mempunyai cadangan yang cukup ketika terjadi bank run, kondisi dimana pada saat yang bersamaan nasabah berbondong-bondong mengambil uang dari bank.


Atas dasar konsep Fractional Reserve Banking ini pula, muncullah yang dinamakan dengan the Livingston Doctrine* yang mengharamkan pemerintah untuk membangkrutkan bank di masa krisis. Dalam konteks kekinian, doctrine ini menjelma menjadi konsep “too big too fail” yang menjadi dasar pemerintah untuk mem-bail out bank-bank bermasalah. Konsep ini kemudian dianggap sebagai penjelmaan pencurian uang masyarakat (public money) melalui sistem yang terstruktur dan sistematis untuk menyelamatkan bank-bank bermasalah melalui pajak, austerity, dan penghilangan "social security funds". Pak Riawan Amin dalam bukunya “Satanic Finance” menyebut fractional reserve banking sebagai salah satu pilar keuangan syetan. Usulan “Chicago Plan” untuk mengganti fractional reserve banking dengan 100% reserve requirements ibaratnya sebuah “celestial pillar” atau “pilar langit” kalau menggunakan thesis nya buku Pak Riawain tersebut, sebagai tiang untuk menopang rapuhnya bangunan sistem keuangan modern. Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar tentang “Chicago Plan”, namun perlu dicatat ketika Irving Fisher (1936) mendukung rencana tersebut dan menjelaskan bahwa 100% requirements mampu mengontrol “credit bubbles” yang selalu menjadi biang dalam setiap krisis keuangan, dan mampu memitigasi resiko sistemis akibat bank run yang berakibat krisis keuangan dan ekonomi.


Kalau meminjam teori prilaku organisasi, ada semacam gejala kesamaan ide, baik disengaja maupun tidak disengaja. Kita tidak tahu siapa yang meniru dan siapa yang ditiru dalam konteks ini, tetapi yang lebih penting adalah bahwa konsep yang ditawarkan oleh diskurus keuangan Syariah sudah mulai digulirkan sebagai alternatif meyakinkan untuk sistem keuangan dunia yang lebih stabil. Wallohu ‘alam bishowab.


Sydney, 6 Sept 2016

YAF


*Jaromir Benes and Michael Kumhof, “The Chicago Plan Revisited” (2012) IMF Working Paper WP/12/202

*The Livingston Doctrine bisa dilihat di Gary B. Gorton, Misunderstanding Financial Crises: Why We Don’t See Them Coming, (Oxford University Press, 2012)

No comments: