Translate

Saturday, January 22, 2011

Ilmu Sosial dan Hegemoni Barat: Tantangan Bagi Ilmuan Sosial Muslim

Peter Berger, salah satu mainstream thinker dalam dunia sosiologi modern, pernah mengatakan bahwa realitas dibentuk oleh teori. Implikasi teori dari pengarang buku The Social Construction of Reality ini adalah ketika ilmuan-ilmuan sosial berusaha untuk menjelaskan realitas dalam masyarakat yang mereka teliti, teori-teori sosial (social theories) yang mereka gunakan akan menjadi “bumbu” dalam hidangan realitas masyarakat yang diteliti. Dalam dunia akademik, penjelasan diatas akan sangat mudah dipahami karena dalam proses penulisan ilmiah, pemikiran penulis selalu dalam framework, atau batasan teori yang digunakan, hal ini merupakan prosedur baku dalam struktur penulisan ilmiah. Pertanyaannya sejauh mana teori tersebut mendistorsi realitas yang sebenarnya dari suatu masyarakat atau phenomena yang diteliti?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, banyak sekali kritik terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial terutama menyangkut studi-studi terhadap “dunia ketiga”. Karya Edward Said Orientalism (1978) dan Samir Amin Eurocentrism (1989), bahkan ilmuan dari Eropa sendiri seperti Maxime Rodinson bisa dijadikan sebagai referensi. Dalam diskusi ini pemikiran Edward Said, saya kira relevant dalam menjelaskan bagaimana teori-teori sosial yang dikembangkan oleh dunia barat (Eropa Barat, dan Amerika) mempunyai corak Eurocentric, artinya dipengaruhi oleh asumsi dan prejudice Barat terhadap objek yang mereka teliti, yaitu dunia Arab khususnya atau dunia ketiga pada umumnya, ketimbang bersifat objektif. Dengan kata lain, studi-studi sosial terhadap dunia ketiga cenderung tidak dilakukan secara objektif tetapi mengandung muatan asumsi inferioritas terhadap objek yang mereka teliti sehingga perumusan teori juga akan sangat dipengaruhi oleh posisi Negara penjajah dan terjajah. Dalam bahasa Said, phenomena tersebut dinamakan sebagai bentuk dari rasisme dan alat dominasi imprealis. Sehingga hasil pemikiran Said tersebut mengubah posisi dan pendekatan studi-studi sosial di Barat secara significant, tetapi bukan berarti bahwa Eurocentrism telah tereliminasi sampai titik yang tidak mungkin untuk bangkit lagi dalam studi ilmu-ilmu sosial.

Sebagai contoh gejala Eurocentrism dalam studi sosial, saya mengambil hasil studi sosial yang dilakukan oleh ilmuan yang berasal dari Belanda terhadap kondisi ekonomi masyarakat Indonesia. Pada akhir abad ke-19, timbul perhatian dari politikus di negeri Belanda untuk meneliti masalah kemiskinan yang merajalela di pedesaaan-pedesaan di daerah Jawa, Indonesia. Maka H.J. Boeke, ahli sosiologi dan antropologi ekonomi di Universitas Leiden, sebagai universitas yang paling maju dalam kajian indologie, memimpin penelitian tersebut. Hasil penelitian tersebut menekankan bahwa sebab musabab miskinnya masyarakat pedesaan di Jawa adalah kekalahan mereka dalam persaingan ekonomi akibat dari mentalitas yang rendah dalam aktivitas ekonomi, fakta-fakta sosial lainnya seperti pemerasan dan eksploitasi kaum penjajah, dan pemiskinan secara terstuktur seperti rendahnya dukungan pendidikan bagi masyarakat tidak dijadikan sebagai fokus studinya dalam merumuskan factor penyebab kemiskinan di Indonesia.

Lalu upaya apa yang harus dilakukan sebagai peneliti ilmu sosial, khususnya Negara-negara “dunia ketiga” dan dunia muslim, dalam menangkap fakta-fakta sosial dan realitas di masyarakat? Jawabannya akan ditemukan ketika para ilmuan sosial melakukan refleksi bagaimana sejarah bangsa Eropa menemukan dan memformulasikan teori. Mereka mungkin menggunakan teori-teori yang dikembangkan oleh peradaban sebelumnya, misalnya perabadan Islam, karena ketika Eropa sedang mengalami masa The Dark Middle of Ages sebelum masa Renaissance di Abad 14 dan 15 M, maka dunia Islam sedang mengalami masa kegemilangan ilmu pengetahuan, teori-teori sosial seperti yang dikembangkan oleh Ibn Khaldun contohnya, juga ikut memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu sosial Barat. Tetapi kemudian mereka melakukan modifikasi sesuai dengan posisi dan kecenderungan mereka. Prinsip la tukadzibuhuu jamii’a wala tushohihu jamii’a, atau prinsip jangan ambil semuanya dan jangan buang semuanya, ambil yang positif dan buang yang negative.

Salah satu proposal metode penelitian untuk men-spin off gejala eurocentrism dalam metode penelitian sosial adalah grounded research. Dalam bahasa Dawam Rahardjo, metode ini timbul dari gagasan “pribumisasi ilmu-ilmu sosial” (indigenization of social sciences). Ide metode ini sangat sederhana, tetapi mempunyai implikasi terhadap perkembangan teori sosial yang luas terutama bagi Negara-negara yang selama ini menjadi objek penelitian sosial. Metode ini dimulai dengan melakukan zero-mind process, mengosongkan alam intelektual peneliti dari teori-teori Barat yang telah mapan, dan langsung terjun dan menyelami alam realitas masyarakat dan phenomena yang menjadi objek penelitian, tanpa melihat terlebih dahulu teori karena dikhawatirkan akan kembali lagi kepada apa yang disampaikan Berger, teori membentuk realitas.  Kemudian melakukan konstruksi teori berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan secara observasi partisipatoris yang terjun langsung ke masyarakat tersebut. Diharapkan dari proses tersebut dapat menciptakan independensi para peneliti terhadap kecenderungan ber-eurocentric. Selamat Meneliti….

wallohu a'lam bishowab.

To be Continued to Part II – Grounded Research

Referensi
Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropology II, Jakarta: UIP
Said, Edward W. 1978, Orientalism, New York: Pantheon
Amin, Samir, 1989, Eurocentrism. Translated by Russell Moore. New York: Monthly Review
Berger, Peter, and Thomas Luckmann, 1966, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, Garden City, NY: Anchor Books
Kuntowijoyo, 2008, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan

No comments: