Translate

Tuesday, March 20, 2018

Keuangan Syariah Jaman Now

Setelah krisis keuangan global (GFC) menghantam pusat-pusat keuangan dunia mulai dari London, New York, Tokyo, dan beberapa negara lainnya termasuk Indonesia dan berimplikasi sistemis terhadap perekonomian dunia secara umum, otoritas-otoritas keuangan mulai melirik sistem alternatif guna menambal kelemahan sistem dan regulasi keuangan dunia. Di akhir tahun 2008, The US Treasury Department di Amerika Serikat (setingkat Kementrian Keuangan) menyelenggarakan pelatihan keuangan Syariah untuk pertama kalinya diperuntukkan bagi staff di lingkungan pemerintahan negera Paman Sam tersebut. Beberapa bulan kemudian, sebuah surat kabar yang terbit di Vatican L’Osservatore Romano mengindikasikan bahwa keuangan konvensional harus belajar kepada keuangan Syariah terutama pasca krisis keuangan yang menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap “keampuhan” sistem keuangan konvensional dalam merespons gejolak resiko di pasar keuangan. Tahun 2009, Menteri keuangan Perancis, yang sekarang menjadi Direktur Eksekutif International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde, seolah-olah lupa dengan ideologi Laicite (sekularisme – ideologi pemisahan Agama dengan Negara) dan menyuarakan negaranya siap menjadi “The Capital of Islamic Finance” di dunia, sebuah klaim yang juga dilakukan oleh Negeri Ratu Elizabeth. Tahun 2006, sebuah asosiasi dunia derivatif dan swaps (ISDA) berbasis di New York yang membuat standard dokumentasi instrumen-instrumen keuangan yang dianggap toxic alias beracun karena dianggap menjadi salah satu biang dari krisis keuangan global mulai melirik keuangan Syariah dengan menjalin kerjasama dengan sebuah lembaga di Bahrain (IIFM) untuk mengembangkan standard instrument-instrumen derivatif yang sesuai dengan nilai-nilai Syariah. Beberapa peristiwa diatas hanya sebagian kecil dari berbagai peristiwa yang merefleksikan tumbuhnya perhatian dunia terhadap keuangan Syariah, dalam bahasa salah seorang staff IMF, keuangan Syariah adalah “too big to be ignored” alias terlalu besar untuk diabaikan.


Sebuah buku yang terbit di Edinburgh, Skotlandia menyarankan keuangan Syariah untuk memberikan suri teladan (uswatun hasanah) terhadap keuangan konvensional terutama dalam mengelola resiko keuangan jaman now. Sebuah harapan yang mudah-mudahan menjadi sebuah kenyataan. Saya pernah menulis sebuah catatan berjudul “Refleksi Kritis Terhadap Riset Ekonomi Keuangan Syariah: Iqbal, Nagaoka, dan Asutai”, salah satu point dalam tulisan saya tersebut adalah keynote speech-nya Professor Mehmet Asutai yang mengkritik industri keuangan Syariah modern yang cenderung “mimicry and mirroring” alias “ikut-ikutan” keuangan konvensional. Gejala ini berpotensi menghilangkan identitas alamiah keuangan Syariah yang sempat membuat takjub dunia keuangan seperti yang saya sampaikan di muqaddimah tulisan ini. Kritik tersebut bukan tanpa dasar analisis yang kuat, beberapa tahun sebelumnya, keuangan Syariah global pernah disapa badai isu ketidak-otentikan (non-Sharia compliance). Seorang ulama terkemuka di dunia keuangan Syariah bernama Mufti Taqi Usmani – pemimpin tertinggi dewan Syariah Accounting Auditing Organization of Islamic Financial Institutions (AAOIFI) yang berbasis di Bahrain mengatakan bahwa 80% obligasi syariah global (sukuk) tidak sesuai dengan Syariah. Pada tahun 2009, BBC mengeluarkan laporan dengan judul “How Sharia Compliant is Islamic Banking?” yang mengindikasikan adanya praktik jual beli fatwa (fatwa shopping) di industri keuangan Syariah untuk melegitimasi ke-Syariah-an sebuah produk yang akan dilaunching ke pasar. Praktik ini terjadi terutama dalam sebuah jurisdiksi dimana tidak ada standard Syariah yang diadopsi oleh industri keuangan dalam jurisdiksi tersebut, sehingga setiap bank mempunyai dewan Syariah sendiri yang juga berfungsi sebagai dewan fatwa yang mengeluarkan sertifikasi Syariah terhadap praktik keuangan institusi tersebut. Tahun ini, isu fatwa shopping kembali digaungkan melalui sebuah tulisan yang dipublikasikan di jurnal Arab Law Quarterly dengan judul “the Legal Implications of Fatwa Shopping in the Islamic Finance Industry: Problems, Perceptions, and Prospects”, sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang senior di kampus dimana saya sedang menyelesaikan studi di Australia.


Apa pelajaran dari semua peristiwa tersebut? Kembali ke tulisan awal saya dan kepada harapan bahwa keuangan Syariah harus memberikan suri teladan, ketertarikan dunia terhadap keuangan Syariah bukan disebabkan oleh kemampuan keuangan Syariah dalam memodifikasi keuangan konvensional dengan memberikan label Syariah semata, tetapi karena sifat alamiah keuangan Syariah terutama konsep bagi hasil dan bagi resiko sebagai proyek imajinasi keuangan modern yang lebih berkeadilan. Dalam rezim regulasi keuangan, dikenal istilah risk shifting and transfer, risk sharing, and risk taking. Dalam rezim yang pertama, resiko sebuah transaksi bisnis bisa di transfer maupun digeser ke pihak lain. Artinya ada pihak yang memprivatisasi keuntungan belaka dan menegasikan kondisi alamiah sebuah bisnis yaitu loss atau kerugian untuk ditransfer kepada pihak lain maupun kedalam lingkungan social yang lebih luas. Dalam dunia political economy ada sebuah adagium yang mengatakan “privatizing profits and socializing losses” (menurut pribahasa orang Sunda – hayang ngeunah sorangan, atau pingin enak sendiri, ketika untung diambil sendiri ketika rugi ditransfer atau digeser ke orang lain). Para penganjur keuangan Syariah di awal berdirinya mengatakan bahwa rezim transfer resiko bukan merupakan karakter alamiah keuangan Syariah. Rezim kedua dan ketiga merupakan karakter yang dianggap sebagai ciri khas keuangan Syariah, dimana para pelaku bisnis secara jantan siap menerima keuntungan maupun bertanggung jawab terhadap resiko yang muncul akibat dari proses mencari keuntungan tersebut. Lambat laun regulasi dunia diarahkan pada karakter khas ini. Saya ambil contoh ketika dunia derivatif konvensional yang kental dengan sistem transfer resiko (risk transfer), sedikit demi sedikit mengadopsi konsep ta’awun dan takaful atau bagi resiko. Pesan moral Shariah ini sangat kental sekali dalam konsep Central Counterparties (CCPs) yang digagas oleh negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-8 sebagai upaya untuk meregulasi over-the-counter derivatif yang dianggap sebagai biang kehancuran keuangan global satu dekade yang lalu.


Untuk menutup tulisan ini, saya teringat sebuah diskusi dengan seorang kawan, bahwa Keuangan Syariah “Jaman Now” harus percaya diri dengan sifat alamiah instrument-instrumen keuangan Syariah yang diderivasi dari kitab-kitab klasik fiqh muamalah maupun dengan melakukan ijtihad untuk menemukan mekanisme baru dalam merespons tantangan transaksi keuangan kontemporer dengan melakukan proses saintifikasi atau tes empiris terhadap mekanisme-mekanisme Syariah berdasarkan metodologi ilmiah terkini, dan menghindari proses duplikasi, mirroring, maupun mimicking keuangan konvensional yang hanya memberikan label secara lahiriyah tetapi substansinya tidak sesuai dengan nilai-nilai maupun pesan moral Syariah.


Wallohu ‘alam bishowab.

Sydney, Maret 2018
Yudi Ahmad Faisal

No comments: