Translate

Sunday, February 26, 2017

Model Harmonisasi Syariah di Industry Keuangan: Landasan Teoritis dan Praktis

Artikel bisa di unduh di Majalah Bimbingan Islam, Edisi 3 Tahun 2005 Kementrian Agama, Republik Indonesia hal 61:
https://www.kemenag.go.id/files/www/file//2016/09/1473220569934409771.pdf


Sekapur Sirih
Perbankan Syariah berkembang dengan pesat dan menjadi salah satu pemain penting dalam sistem keuangan global. Industri berbasiskan nilai-nilai Islam ini dianggap sebagai industri yang terlalu besar untuk diabaikan (too big to be ignored)[1]. Aset global perbankan Syariah telah menyentuh angka diatas 1.7 trilyun dollar Amerika dan diprediksi akan terus tumbuh 17.6% selama 4 tahun kedepan sehingga menyentuh angka 3.4 trilyun dollar pada 2018 dengan didukung oleh lebih dari 220 institusi yang tersebar di 76 negara berbeda baik Negara mayoritas Muslim maupun Non-Muslim[2]. Perkembangan pesat dalam dua dekade terakhir telah menarik perhatian berbagai aktor-aktor arsitektur keuangan global non-negara (non-state actors) seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan the Basel Committee on Banking Supervision (BCBS).
Secara teoritis, perbankan Syariah harus mengikuti aturan-aturan relijius yang diderivasi dari Shariah. Oleh karena itu, kesesuaian dengan syariah (Shariah compliance) merupakan fondasi pertama dalam struktur teoritis yang kemudian meretas kedalam struktur minor seperti model instrumen keuangan, jenis jasa dan transaksi keuangan, serta model pengawasan dan tata kelola bank (banking governance), sistem penentuan harga (pricing), bahkan model marketing-nya pun harus sesuai dengan nilai-nilai Islami.
Salah satu tantangan dalam pengembangan industri keuangan Syariah global adalah aspek harmonisasi Syariah. Disharmonisasi Syariah mampu menjadi penghambat perkembangan industri ini, terutama ketika para pelaku industri dan pasar berhadapan langsung dengan berbagai kontradiksi aspek-aspek ke-Syariah-an. Contohnya, ketika Malaysia melalui Shariah Advisory Council (SAC) – Bank Negara Malaysia, lembaga otoritas Syariah yang diberikan mandat memformulasikan aspek-aspek Syariah dan melakukan harmonisasi Syariah, menyatakan bahwa bay al innah adalah halal. Sedangkan di Indonesia, sebagian ulama menyatakan bahwa akad ini haram. Dua pendapat kontradiktif tersebut jika terjadi pada pasar yang sama dalam satu jurisdiksi yang sama maka akan mengakibatkan kegaduhan pasar akibat inkonsistensi ke-Syariah-an antara lembaga keuangan Syariah yang beroperasi.
Tulisan singkat ini menyajikan tinjauan teoritis formulasi harmonisasi Syariah dalam industri perbankan dan keuangan, serta model harmonisasi Syariah di beberapa Negara. 
Pendekatan Generik
Secara historis, harmonisasi Syariah terutama dalam konteks fikih jarang terjadi. Hal ini berdasarkan fakta historis bahwa terdapat beberapa mazhab fikih yang mendasarkan hasil ijtihad mereka pada metodologi dan sumber-sumber yang berbeda.  Berbeda halnya dalam konteks Industri perbankan Syariah, harmonisasi Syariah menjadi salah satu perdebatan paling hangat sebagai prasyarat tumbuh kembangnya industri ini dalam konteks global.
Khan mengusulkan istilah fikih pasar (fiqh market) sebagai metode untuk mencapai harmonisasi Syariah dalam konteks dunia perbankan dan keuangan[3]. Menurutnya, seorang ulama di dunia perbankan dan keuangan tidak harus mendasarkan ijtihad-nya pada mazhab tertentu, tetapi boleh lintas mazhab. Model semacam ini, menurutnya, akan memudahkan proses harmonisasi Syariah. Kesulitan akan timbul ketika seorang ulama dihadapkan pada dua pendapat yang saling bertolak belakang. Menurut Khan, pendapat yang harus diambil adalah pendapat yang memudahkan.
Balz mengusulkan ide ‘transnational law of Islamic finance’. Menurutnya, dorongan pasar (market forces) telah mendorong tumbuh kembangnya hukum keuangan Islam (Islamic financial law) tanpa campur tangan Negara[4]. Kehadiran aktor-aktor keuangan Syariah global, seperti AAOIFI (Accounting Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions) telah menjelma menjadi sebuah aktor penting dalam konteks keseuaian Syariah global.
Pendekatan Institutional
            Pendekatan institutional adalah pendekatan yang menekankan pada struktur institutional dalam mengkaji, mengembangkan, dan memformulasikan harmonisasi nilai-nilai Syariah antara industri perbankan Syariah global. Zaidi mengusulkan ide ‘a universal Shariah board’atau Dewan Syariah Universal untuk melakukan harmonisasi transaksi-transaksi keuangan Syariah di berbagai jurisdiksi yang berbeda[5].  Menurutnya, dewan Syariah ini harus terpisah dari baik pasar (market) maupun regulator atau pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) antara pertimbangan-pertimbangan pragmatis pasar dengan pertimbangan-pertimbangan idealis relijius.  Ide tersebut hampir sesuai dengan eksistensi, fungsi dan peran yang sekarang diemban oleh AAOIFI (Accounting Auditing Organisation of Islamic Financial Institutions) dan IIFM (International Islamic Financial Markets (IIFM) yang berbasis di Bahrain, dan IFSB (Islamic Financial Services Board) yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia.
Menurut Shaffaii[6], standarisasi Syariah dalam konteks institutional harus memperhatikan tiga aspek yang berbeda: (1) market discipline, artinya para pelaku pasar harus mempunyai informasi yang konsisten, transparan, dan terbuka tentang aspek-aspek kesesuaian Syariah; (2) pembentukan lembaga pembuat standar Syariah yang berskala international seperti AAOIFI dan IFSB, dan (3) diskusi-diskusi ulama baik tingkat regional maupun international untuk mengkaji berbagai isu-isu mutakhir seputar perbankan dan keuangan Syariah, seperti ‘Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara’ dalam lingkup Asia Tenggara.
Pendekatan Campuran (Mixed Model)
Pendekatan campuran mengkombinasikan pendekatan generik maupun institutional. Foster, seorang ahli hukum Islam yang mengajar di School of Oriental and African Studies (SOAS) – University of London, berpendapat bahwa pada tingkat institutional, pendekatan terpusat (planned approach) melalui Dewan Syariah baik tingkat nasional, regional, maupun international diperlukan untuk mencapai tingkat kesamaan persepsi Syariah. Di tingkat organik, pasar (market) termasuk industri keuangan dan profesi yang berhubungan dengan hukum bisa membuat usaha-usaha untuk melakukan unifikasi standar Syariah dalam berbagai jurisdiksi yang berbeda[7].  Dalam konteks rekayasa keuangan Syariah (Islamic financial engineering), pendapat Foster hampir sama dengan Zaidi, yaitu penggunaan fikih lintas mazhab untuk mempermudah pasar mengadopsi nilai-nilai Syariah dalam transaksi bisnis mereka.

Perkembangan Harmonisasi Syariah dalam Industri Perbankan dan Keuangan Global
Model Indonesia
Indonesia menganut model pendekatan institutional dalam mengembangan harmonisasi Syariah dalam industri perbankan dan keuangan Syariah. Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mendapatkan mandat undang-undang sebagai lembaga yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa-fatwa yang berhubungan dengan keuangan dan perbankan Syariah. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memerintahkan Bank Indonesia untuk mengadopsi fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia.
            Sebagai organisasi non-pemerintah, DSN-MUI tidak mendapatkan remunerasi baik dari Negara maupun dari industri keuangan atas perannya dalam memformulasikan dan mengembangkan fatwa-fatwa yang berhubungan dengan transaksi-transaksi di industri keuangan.

Model Malaysia
Di Malaysia, the Islamic Banking Act 1983 dan the Central Bank of Malaysia Act 2009  meng-amanahkan pembentukan Shariah Advisory Council (SAC) dalam struktur Bank Negara Malaysia (BNM, bank sentral) sebagai sumber referensi utama yang mempunyai otoritas undang-undang dalam pembuatan standar ke-Syariah-an di industri perbankan Syariah Malaysia. Lain halnya dengan DSN MUI, SAC-BNM mempunyai keterkaitan secara formal dengan Negara. Sehingga anggota SAC-BNM mendapatkan remunerasi dari Negara.

Model Bahrain
            Sebagai Negara yang menjadi tuan rumah bagi AAOIFI (Accounting Auditing Organisation of Islamic Financial Institutions), industri keuangan Syariah di Negara ini menjadikan standar ke-Syariah-an yang diformulasikan oleh AAOIFI sebagai pedoman yang harus diikuti oleh semua institusi keuangan Syariah yang beroperasi di Bahrain.

Model Inggris
            Sebagai Negara Barat dengan Muslim minoritas, Inggris termasuk salah satu Negara non-Muslim yang gencar mempromosikan keuangan Syariah baik untuk pasar domestik maupun internasional. Negara ini tidak mengadopsi unsur-unsur Syariah dalam hukum positif mereka. Dalam konteks industri perbankan dan keuangan Syariah Inggris, Negara melalui Financial Conduct Authority (FCA) sebelumnya bernama Financial Services Authority (FSA) tidak mewajibkan bank Syariah dan institusi keuangan Syariah lainnya untuk mengadapsi fatwa-fatwa transaksi keuangan Syariah dari organisasi atau otoritas tertentu[8] seperti halnya di Indonesia, Malaysia, dan Bahrain. Selain itu, regulasi dan aturan hukum di Inggris, tidak mewajibkan bank dan institusi keuangan Syariah untuk membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi mereka. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh FCA berjudul ‘Islamic Finance in the UK: Regulation and Challenges”, FCA menyatakan bahwa sebagai Negara sekuler, Inggris tidak berniat untuk terlibat secara langsung dalam penentuan aspek-aspek Syariah di industri perbankan dan keuangan Syariah-nya. Mereka akan mempersilahkan pasar (market) untuk mengadopsi berbagai fatwa tentang transaksi keuangan Syariah baik yang dilakukan oleh lembaga fatwa lokal, maupun lembaga fatwa internasional seperti Fiqh Academy di Jeddah, Saudi Arabia, atau AAOIFI di Bahrain. 

Simpulan
Tulisan diatas secara singkat telah mengelaborasi struktur ataupun model pengembangan harmonisasi nilai-nilai Syariah dalam industri perbankan dan keuangan Syariah di beberapa Negara. Model-model yang dikembangkan terutama ditujukkan untuk mengatasi resiko Syariah, terutama disharmonisasi Syariah dalam satu jurisdiksi, yang mampu mengakibatkan inkonsistensi aspek-aspek ke-Syariah-an dan menghambat perkembangan industri perbankan Syariah baik dalam skala nasional, regional, maupun global.

-->



[1] Maher Hassan and Jemma Dridi, ‘the effects of the Global Crisis on Islamic and Conventional Banks: A comparative Study’ (2010) 10 (201) International Monetary Fund Working Paper. < http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2010/wp10201.pdf> (8 September 2014) 
[2] Ernst and Young report, World Islamic Banking Competitiveness Report 2013-2014, (16 October 2014). 
[3] Khan and L. Ali, Contemporary Ijtihad : Limits and Controversies, (Edinburgh University Press, 2011) 47
(31 July 2014) 
[4] Kilian Balz, ‘Islamic Law as the Governing law under the Rome Convention: Universalist Lex Mercantoria vs. the Regional Unification of Law’ (2001) 8(1) Yearbook of Islamic and Middle Eastern Law Online 73-85.  
[5] Abbas Jamal Zaidi, ‘Shariah Harmonization, Regulation and Supervision’ Islamic International Rating Agency, presented in AAOIFI-World Bank Islamic Banking and Finance Conference, Bahrain 10-11 November 
[6] Suapi Shaffaii, ‘How Shariah Governance Empowers Islamic Finance’ (2008) 5(36) Islamic Finance News 
[7] Nicholas H.D. Foster, ‘Islamic Finance Law as an Emergent Legal System’ (2007) 21(2) Arab Law Quarterly 170-188, 178-184. 
[8] Karim Ginena, dan Hamid, Foundation of Shariah Governance of Islamic Banks, (Wiley, 2015), 120 

No comments: