Translate

Wednesday, September 26, 2007

Kehidupan Kita

Hidup selalu membawa seorang manusia untuk berkeinginan mendapatkan segala kebahagiaan di dunia ini. Dunia diibaratkan sebagai sumber kebahagiaan, harta, wanita, tahta, dianggap sebagai biang dari sebuah kebahagiaan sejati. Apa sebenarnya mau manusia ini? Sejak awal manusia berjanji, bahwa dunia hanya dijadikan tempat untuk menyempurnakan penciptaan, mengharmoniskan ruh dan jasad, alam malakut dengan alam syetan, dunia hanya sebagai tumpangan menuju akhirat, yang kekal, tidak berujung dan sumber kesempurnaan.

Sejak awal penciptaan manusia diagung-agungkan Tuhannya, pernyataan ini diabadikan Al Quran sebagai pengingat (ad Dzikra) manusia tentang status dirinya yang begitu luhur dan mendapatkan tempat terhormat di sisi Tuhannya dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lainnya, “Kamu sekalian adalah sebaik-baik ummat yang Kami turunkan kepada manusia”, “dan bahwasannya Tuhan kamu telah menciptakanmu dalam sebaik-baik penciptaan”.

Dunia bagaikan sebuah fatamorgana

Setiap manusia mendekati sumber yang dianggap pemberi kebahagiaan, kebahagiaan itupun lari meninggalkannya, sumber yang dianggap membawa kebahagiaan itu pun tidak bisa lagi dianggap sebagai sumber pemberi kebahagiaan.

Tahta sering dianggap sebagai sumber kebahagiaan. Kekuasaan, jabatan, kehormatan, keterkenalan pada awalnya dianggap mendatangkan kebahagiaan, tetapi setelah manusia raih semua itu, kebahagiaan itupun tak kunjung dirasakannya.

Harta, kekayaan, rumah, mobil, tanah yang berlimpah sering dianggap bisa membawa kebahagiaan, tetapi setelah manusia mendapatkan itu semua maka kebahagiaan itu pun lari daripadanya. Benarlah apa yang pernah dikatakan Al Ghazali ”jika manusia mendapatkan satu gunung emas, maka manusia pun berkeinginan untuk mendapatkan gunung emas kedua, begitu seterusnya”. Dengan kata lain manusia terus berusaha secara sadar untuk mendapatkan kebahagiaan dari yang dia anggap dapat mendatangkan kebahagiaan, tetapi manusia tidak kunjung mendapatkannya sampai akhirnya maut yang menjemput, memutus semua angan-angan kebahagiaan yang manusia dambakan.

Wanita, ataupun lelaki dianggap sebagai sumber yang bisa mendatangkan kebahagiaan, tetapi setelah wanita atau laki-laki yang manusia cintai dijemput maut, maka manusia pun tidak lagi dapat merasakan kebahagiaan.

Dalam kehidupan dewasa ini, uang dianggap sebagai sumber segala kebahagiaan, maka berkembang pepatah di tengah-tengah masyarakat konsumtif dan hedonis ”dengan uang segala sesuatu bisa didapatkan”. Adakalanya timbul pertanyaan, sebenarnya lebih mulia mana manusia dengan uang, jawabannya pun hampir sepakat semuanya bahwa manusia lebih berharga daripada uang, uang tidak layak digunakan dalam mengukur nilai manusia, karena uang tidak ada artinya dihadapan manusia. Itulah idealisme yang mengambang dilangit tanpa pernah berusaha untuk diturunkan kebumi untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata, pada kenyataannya manusia yang mengorbankan dirinya demi uang, dengan tanpa sungkan manusia akan saling bunuh karena uang, dengan tanpa malu manusia memutus tali silaturahmi karena uang, dengan tanpa merasa bersalah manusia menyakiti manusia lainnya karena uang.

Itulah manusia simbol pertarungan abadi antara kebaikan dan kejahatan, antara kerusakan dan kemanfaatan, antara kepasrahan total kepada Penciptanya dengan pembangkangan abadi terhadap-Nya. Sejak awal penciptaan manusia dikarunia potensi kebaikan dan kejahatan, Ruh sebagai wakil kebaikan akan senantiasa berhadapan dengan jasad sebagai simbol dari sifat rakus manusia, pontensi kejahatan. Itulah manusia, dan harmonisasi antara ruh dan jasad yang membawa kebaikan kepada manusia pun di puji dengan diangkat-Nya tingkatan manusia melebihi malaikat, yang senantiasa tunduk dan beribadah kepada Allah dan tidak pernah sekalipun membangkang dengan perintah Tuhan nya. Dan jika pertarungan dalam diri manusia antara ruh dan jasad, didominasi dan dimenangkan oleh jasad, maka pujian itu pun dilemparkan pada tempat yang paling hina, al Quran menganalogikan kondisi ini dengan kalimat ”seperti binatang, bahkan bisa lebih hina daripada binatang”. Itulah manusia, momentum kebaikan dan keburukan senantiasa bersemanyam dalam setiap langkah kehidupan manusia.

Manusia adalah makhluk yang pasti akan mengalami kematian, kematian itupun memisahkan antara potensi baik manusia yang diwakili oleh ruh dengan potensi jahat nya yang diwakili oleh jasad. Tetapi bukan berarti manusia akan menjadi baik, karena dipisahkannya potensi jasad. Karena kemungkinan kejahatan dan sifat buruk manusia telah mempengaruhi ruh nya, sehingga penyesalan abadi akan dirasakan manusia, kebahagiaan yang dicari dan didambakannya dahulu di dunia, ternyata tidak berbuah kebahagiaan hakiki, malah berbuah siksa dan penyesalan yang tidak terkira. Itulah ketika manusia mengabaikan Tuhan nya Allah Subhanahu wa Taala.

Sejak di dunia, manusia telah salah memilih jalan, manusia menjadikan perangkat dunia sebagai sumber kebahagiaan, padahal perangkat dunia ini hanyalah sementara dan menuju kemusnahan yang diciptakan untuk mengantarkan manusia pada sumber kebahagiaan hakiki. Padahal manusia diciptakan didunia untuk disiapkan menuju keabadian bukan kemusnahan. Implikasi filosofis dari perjalanan menuju kemusnahan dan perjalanan menuju keabadian akan sangat dalam sekali pengaruhnya dalam kehidupan manusia. Khayalan manusia terhadap perangkat dunia yang dianggap bisa mendapatkan kebahagiaan inipun terjadi karena lagi-lagi manusia mengabaikan Tuhan nya. Perintah bahwa manusia harus melengkapi dirinya dengan ilmu (’ilm), setiap perbuatan haruslah didahului oleh pengetahuan tentangnya. Perintah inipun berulangkali dinyatakan dalam Al Quran, bahkan ayat yang pertama turunpun kepada Muhammad SAWW - manusia simbol harmonisasi ruh dan jasad, pemilik akhlak yang agung yang dipuji Allah SWT, pahlawan revolusi agung manusia yang membebaskan manusia dari kegelapan kepada cahaya Allah - adalah ayat surat Al Alaq ayat 1, yang mengajarkan manusia untuk berilmu ”bacalah!”. Bahkan dilain ayat al Quran dinyatakan bahwa ”Allah akan mengangkat derajat manusia diantara kalian yang berilmu”. Inikah bukti bahwa dengan ilmu manusia bisa mencapai derajat terhormat disisi Tuhan nya, karena dengan ilmu manusia bisa mengontrol dirinya dan melakukan harmonisasi ruh dan jasad, dan mengarahkan semua potensi entitas dirinya menuju kebaikan. Sebaliknya tanpa ilmu maka derajat manusiapun bisa tersungkur dibawah derajat binatang. Wallohu a’lam bisshowab.


No comments: