Translate

Saturday, September 29, 2007

Pendidikan Ekonomi Kita. Mengenang Prof. Dr. Mubyarto

Pendahuluan

Meskipun banyak dosen ilmu ekonomi di fakultas-fakultas ekonomi kita merasa tidak lagi menganut dan mengajarkan ilmu ekonomi klasik dan Neoklasik “murni”, tetapi lebih dekat pada ajaran Keynesian, tokh dalam kenyataanya pelajaran dasar ilmu ekonomi yang terdapat dalam buku-buku teks teori ekonomi mikro maupun makro semuanya tetap berdasar asumsi-asumsi teori ekonomi Neoklasik . Itulah sebabnya Paul Samuelson penulis buku teks Economics, Introductory Analysis yang sudah mencapai edisi 17 tidak lagi terkenal sebagai guru besar ilmu ekonomi tetapi oleh Robert Nelson disebut sebagai Nabi Ekonomi. Artinya Samuelson dianggap berhasil sebagai Nabi penyebar “agama” ekonomi dan bukan sebagai ilmuwan ekonomi profesional.

Ketika ilmu ekonomi Neoklasik “dilawan” paham (ilmu) ekonomi kelembagaan (institusional economics) seperti Thorsein Veblen dan John Commons (1994-1905), ilmu ekonomi Neoklasik bertahan keras, bahkan kemudian justru (merasa) posisinya lebih kuat lagi dengan kelahiran ilmu ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economics) pimpinan Douglas North. Selanjutnya Konsensus Washington tahun 1989 memberikan angin segar pada lahirnya paham Neoliberal yang berasas Fundamentalisme Pasar (Market Fundamentalism).

Di Amerika, Inggris, dan sejumlah negara “Barat” atau “Utara”, makin banyak buku-buku termasuk buku teks ditulis sebagai kritik dan sekaligus sebagai paham “ekonomi alternatif” untuk “menggantikan” buku-buku teks konvensional (Ormerod, The Death of the Economics, 1994, Steve Keen, Debunking Economics, 2001, dan sebelumnya Hunt & Sherman Economics: An Introduction to Traditional and Radical Views, 1978). Meskipun demikian ekonom Indonesia kebanyakan tidak merasa “ada yang salah dalam ilmu ekonomi Neoklasik”. Kita tidak heran jika tokoh-tokoh pemikir ekonomi Indonesia “enggan” membaca, lebih-lebih mempelajari dengan serius buku-buku kritis yang menolak ajaran ilmu ekonomi Neoklasik yang sudah sangat mapan ini.

Pada tahun 1969 Prof. Sardjito, Rektor pertama UGM, mengingatkan pimpinan perguruan tinggi Taman Siswa agar tidak memberikan pendidikan ekonomi kapitalis kepada mahasiswa Fakultas Ekonomi yang akan dibuka.

Ilmu Ekonomi Salah Kaprah

Jika tahun 1969 Prof. Sardjito sudah mengingatkan dosen-dosen ekonomi Indonesia tentang ketidakcocokan ajaran ilmu ekonomi kapitalis dari Amerika bagi mahasiswa Indonesia, di Amerika sendiri tahun 1971 terbit buku Is Economics Relevant? (Robert Heilbroner dan Arthur Ford) diikuti tahun 1972 dengan penerbitan buku What’s Wrong with Economics? (Benyamin Ward). Bahwa judul ke-2 buku ini berupa pertanyaan menunjukan baetapa kenyataanya jauh lebih kuat pandangan bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang “relevan” dan “tidak ada yang salah” bagi bangsa Amerika bahkan bagi bangsa-bangsa lain juga. Meskipun demikian tetap saja argumentasi penulis ke-2 buku sangat meyakinkan terutama ketika terbukti para ekonom akademik selalu bersifat “konservatif” dan bersimpati pada kemapanan. Mereka selalu menolak mempertanyakan soal sosial-politik “hangat” yang sedang dihadapi masyarakat karena alasan “Intelectually unconfortable, politically risky, or simply out-of-step eith their colleagues” (Heilbroner & Ford, 1971).

“Kemunduran” atau “kekurangan” besar ajaran ekonomi Neoklasik sangat mudah dikenali antara lain dari dua alasan perubahan nama ilmu ekonomi dari “political economy” menjadi “economics” (Alfred Marshall, 1980) yang berarti hilangnya 2 aspek penting ajaran ilmu ekonomi:

(1) Kaum Klasik (Smith, Ricardo, Maltus, Mill, dan Marx) memiliki perasaan sangat kuat tentang “social destination” masyarakat-bangsa, dan sekaligus mereka berusaha membantu masyarakat menuju ke arah pewujudannya, sedangkan kaum Neoklasik berpandangan sangat individualistik, dimana setiap manusia memikirkan kesejahteraan diri sendiri.

(2) Kaum Klasik tegas dan jujur selalu siap membahas komposisi dan konflik “klas” atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memerlukan perhatian terus. Misalnya Adam Smith yang berpaham liberal tidak segan-segan mengingatkan masyarakat akan perilaku kelompok bisnis yang cenderung (atau selalu) serakah, sekaligus tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan yang “melawan” kepentingan umum.

Kritik lain terhadap ajaran ekonomi Neoklasik justru sering dilancarkan sebagai jawaban para penganutnya sendiri akan bahaya menjadikan ajaran-ajarannya bukan sebagai ilmu yang obyektif tetapi sebagai ideologi. Misalnya ekonomi Neoklasik Indonesia menentang konsep ekonomi kerakyatan dan upaya-upaya ekonom “populis” untuk menunjuk atau merujuk isi pasal 33 UUD 1945. Mereka bersikukuh bahwa sistem pasar bebas adalah objektif-ilmiah dan “bebas dari ideologi”, tanpa menyadari bahwa kepercayaan yang terlalu besar dan “membabi buta” terhadap kemampuan pasar untuk memecahkan segala konflik juga merupakan ideologi tersendiri. Inilah yang kelak disebut fundamentalisme pasar yang mengira pasar selalu akan mampu memecahkan dan mengubah disharmoni menjadi harmoni. Bahkan kepercayaan bahwa pasar adalah bebas nilai (value free) jelas merupakan ideologi sendiri (Positive Economics) yang amat sulit dipatahkan.

Serangan J.M. Keynes tahun 1936 ditujukan terhadap kaum Klasik bukan pada kaum Neoklasik, meskipun sebenarnya ke-2 paham / ajaran mempunyai persamaan besar dalam kepercayaan terhadap kekuatan (mekanisme) pasar. Tetapi kritik kita terhadap ajaran Neoklasik sama dengan kritik Keynes yaitu asumsi-asumsi ajaran Neoklasik “tidak realistis” atau “tidak cocok” dengan kenyataan hidup.

Ilmu Ekonomi yang Anti-Agama
Jika sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa yang berarti bahwa bangsa Indonesia mengakui manusia sekadar sebagai ciptaan Tuhan, maka ajaran-ajaran agama khususnya yang tercantum dalam kitab-kitab suci setiap agama pasti harus dipatuhi.

Namun yang menarik dan memprihatinkan kita justru bahwa pemikiran-pemikiran ekonomi selalu cenderung melupakan bahkan melanggar ajaran-ajaran agama. Sejak ajaran-ajaran ekonomi kapitalis-liberal dan kini kapitalis-Neoliberal menguasai pemikiran dunia bisnis internasional, yang menonjolkan keserakahan individu dan meninggalkan ajaran-ajaran agama yang menekankan pada kebersamaan, telah berkembang ajaran-ajaran moral dalam ekonomi yang berusaha membendung kecenderungan yang menyesatkan tersebut. Buku Amitai Etzioni, The Moral Dimension: Toward a New Economics (1988), menggambarkan secara tepat pergulatan paradigmatik antara ajaran ekonomi baru (socioekonomi) dengan ajaran ekonomi neoklasik yang individulistik-rasionalistik.

Kita sekarang berada di tengah-tengah pertarungan paradigma. Yang ditantang ialah paham utilitarian yang sudah sangat mapan, paradigma neoklasik yang individulistik-rasional, yang diterima dan diterapkan tidak hanya pada kehidupan ekonomi, tetapi juga pada hubungan-hubungan sosial yang semakin luas, dari kejahatan sampai kehidupan keluarga (Etzioni 1998).

Buku Amitai Etzioni yang terbit tahun 1988, sudah terbit dalam bahasa Indonesia 4 tahun kemudian (1992), ketika bangsa Indonesia makin merasakan aneka “keanehan” atau paradok dalam pembangunan ekonomi dan masyarakat. Misalnya, yang paling menonjol adalah “kontradiksi” antara “keajaiban” pembangunan ekonomi Indonesia dengan ketimpangan ekonomi dan sosial yang makin tajam. Bank Dunia yang menerbitkan buku “East Asian Miracle” (1993) yang memasukan Indonesia sebagai salah satu “keajaiban ekonomi Asia Timur”, pada waktu yang sama mengingatkan bahaya konglomerasi yang mulai mengancam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Pada waktu itu MPR-RI juga mengingatkan bahaya berkembangnya keangkuhan ekonomi dan kecemburuan sosial akibat ketimpangan ekonomi yang tidak dikendalikan. Namun, sebagaimana telah terjadi, karena pemerintah Indonesia di bawah pengaruh teknokrat tidak waspada pada ekses penerapan paradigma Neoklasik yang individual-rasionalistik, dan sama sekali meninggalkan azas kekeluargaan, maka peringatan-peringatan tersebut tidak mendapat perhatian sewajarnya dari pemerintah dan masyarakat. Kritik kami sendiri yang mengingatkan ekonomi Indonesia sudah terserang penyakit kanker, meskipun nampak sehat dari luar, juga tidak digubris dan justru dianggap “ngawur”.

Yang paling menonjol dalam “suasana batin” bangsa Indonesia waktu itu adalah “rasa percaya diri yang berlebihan” bahwa ekonomi Indonesia sudah siap “tinggal landas” (take off), meskipun disadari belum semua persyaratannya terpenuhi. Secara teori “pesawat ekonomi Indonesia” akan mampu tinggal landas jika kekuatan untuk tinggal landas semuanyasudah dapat diandalkan pada kekuatan bangsa Indonesia sendiri. Kenyataannya bahwa modal asing makin besar peranannya dalam investasi ekonomi nasional, tokh tidak diperhitungkan resikonya. Hasilnya, sebagaimana telah terjadi dalam bentuk krismon 1997, ekonomi Indonesia sudah didominasi konglomerat ambruk dan hancur berkeping-keping.

Kiranya sangat jelas “peringatan” tentang persyaratan ekonomi tinggal landas yaitu harus “dengan kekuatan sendiri” yang kalau tidak betul-betul siap pembangunan “akan mengalami kecelakaan”. Jika kita catat benar-benar peringatan diatas, maka optimisme yang berlebihan pada awal Repelita VI (1994-1999) bahwa pembangunan Indonesia sudah memasuki tahap tinggal landas, padahal belum semua persyaratan terpenuhi, termasuk dan terutama, ketergantungan pada utang-utang luar negeri, maka semestinya kita tidak perlu terkejut ketika “pesawat mangalami kecelakaan” yaitu dalam bentuk terjadinya krismon 1997-1998.

Yang lebih tragis lagi adalah tidak disadarinya kekeliruan fatal menggantungkan nasib ekonomi bangsa pada segelintir konglomerat yang serakah. Perusahaan-perusahaan konglomerat yang notabene merupakaan “ciptaan pemerintah”, atau hasil kolusi konglomerat dengan pemerintah, tetap tidak dianggap bertanggung jawab meledakan “bow waktu” krismon tetapi malah dianggap perlu untuk ditolong dan diselamatkan (rescue) ketika krismon meledak, pertama melalui BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sebesar Rp 140 Trilyun dan kemudian Rp 650 Trilyun berupa dana rekapitalisasi perbankan.

Jelas bahwa kekeliruan sikap pemerintah terhadap krismon 1997 dan pemecahannya bersumber pada kesalahan paragmatik yang sepenuhnya didasarkan pada ajaran Neoklasik yang individualistik-neoliberal. Kini setelah kerusakan ekonomi “nyaris sempurna”, teknokrat kita harus mawas diri dan mengoreksi nasehat-nasehat ekonomi yang keliru dengan menggunakan paradigma baru yang benar-benar mengacu pada moral ekonomi.

Moral agama adalah salah satu aspek yang harus dikedepankan dalam membangun ekonomi yang bermoral, moral agama harus dijadikan pegangan paradigma baru karena dalam kenyataan ajaran Neoklasik justru telah menggunakan metode-metode agama sebagai pedoman. Ilmu ekonomi kemudian “dibakukan” (seperti agama), dan hampir tidak ada kesempatan sedikitpun untuk “membuka diri” terhadap kritik-kritik atas kelemahan-kelemahannya.

Adam Smith ekonom Skotlandia yang melalui bukunya Wealth of Nations (1776), sebenarnya tidak pernah memisahkan ilmu ekonomi (political economy) dari (ilmu) etika. Bahkan buku pertamanya (Theory of Moral Sentiments, 1759), menegaskan sifat-sifat manusia yang “socius” dan “ethicus” ketimbang “economicus”. Artinya, tidak seperti perkembangannya kemudian, perilaku dan kehidupan ekonomi hanyalah merupakan bagian kecil dari kehidupan bermasyarakat.

Perkembangan ilmu ekonomi yang makin meninggalkan etika dimulai oleh David Ricardo (1817) yang mengenalkan ilmu ekonomi “a priori” yang abstrak, dan mengajarkan ilmu ekonomi yang seakan-akan tidak ada hubungannya dengan manusia (depersonalized). Manusia diubah menjadi “model” abstrak homo-economicus, yang sangat mudah dianalisis dengan menggunakan model-model matematika. Model “homo-economicus” yang menonjolkan self-interest atau “keserakahan manusia atas alam benda”, bertentangan dengan ajaran berbagai agama, karena dalam agama selalu diajarkan “rezeki yang berlimpah” (abundance) yang diberikan Allah kepada manusia.

The old terstament can almost be read as a celebration of the abundance which the divine has provided for his followers. Economics may stress the concept of limited resources, but scarcity is not something which usually comes to mind when reading the Bible (Wilson 1997:27)

Dalam agama Islam ditemukan banyak sekali firman Allah tentang sistem ekonomi yang tidak mengenal serba kelangkaan (scarcity), karena rezeki diberika serba cukup kepada manusia yang diciptakan-Nya.

“Dan Allah memberi rezeki kepda siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (An Nuur: 38).

“Allah-lah yang menciptakan kamu kemudian memberimu rezeki” (Ar Rum: 40).

Kiranya jelas telah benar-benar terjadi banyak penyimpangan ajaran ilmu ekonomi dari agama dan etika. Banyak praktek-praktek kebijakan ekonomi masyarakat dan pemerintah yang bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Bahkan ketika peranan bantuan asing yang oleh sementara ekonom arus utama dianggap mutlak diperlukan untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, agama Islam melarangnya. Hadist Nabi riwayat Bukhari Muslim dan Nasai dari Ibnu Umar mengajarkan:

Orang-orang yang selalu minta-minta kepada orang lain (bukan karena terpaksa) kelak di akhirat tidak berdaging sedikitpun (Ahmad Azhar Basyir 1978:28)

Ilmu Ekonomi sebagai Ilmu Sosial
Menurut Profesor Sajogyo bahwa perekonomian Indonesia tidak mungkin dipelajari dan dipahami secara langsung dengan hanya menggunakan data-data makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, atau pendapatan perkapita.

Jika Anda ingin mengerti perekonomian negara kami, kajilah kebudayaan dan sistem politik kami; jika ingin memahami kebudayaan dan sistem politik kami, kajilah perekonomian kami.

Keyakinan sajogyo yang disampaikan kepada ekonom pertanian muda D.H. Penny dari Australia ini (sekitar tahun 1960) dibenarkan oleh Penny dan selanjutnya dikutip oleh berbagai mahasiswa tentang Indonesia, tetapi justru tidak pernah diperhatikan ilmuwan Indonesia, lebih-lebih para ekonomnya. Dari segi pendidikan ilmu ekonomi jelas bahwa mahasiswa Indonesia yang mengikuti kuliah-kuliah ekonomi konvensional dengan menggunakan buku-buku teks teori-teori ekonomi terbitan Amerika tidak akan mengerti dan memahami perekonomian Indonesia. Perekonomian Indonesia hanya dapat dipahami secara tidak langsung melalui pengkajian sistem politik dan budaya bangsa Indonesia. Ini berarti mahasiswa ekonomi hanya akan berhasil mempelajari ekonomi Indonesia dengan metode multidisipliner dan bahkan transdisipliner.

Yang berkembang sekarang adalah bahwa Ilmu ekonomi berubah menjadi ilmu monodisiplin. Model-model prilaku produsen dan konsumen didasarkan pada pasar persaingan sempurna, di mana diasumsikan bahwa produsen dan konsumen selalu bertindak rasional, yang pertama (produsen) selalu berusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, dan yang kedua (konsumen) berusaha mencapai kepuasan maksimum. Lebih celaka lagi ilmu ekonomi kemudian makin banyak diajarkan dengan menggunakan model-model matematika, sehingga ilmu ekonomi menjadi “ilmu” yang makin abstrak, dan makin kering, yang hilang cirinya sebagai ilmu sosial.

Dosen-dosen ilmu ekonomi yang banyak diantaranya memperoleh kesempatan studi lanjut di luar negeri terutama di Amerika, pulang dengan kepercayaan amat tinggi dalam mengajarkan ilmu ekonomi, ilmu manajemen, dan ilmu akuntansi gaya Amerika, dengan semata-mata dan sepenuhnya menggunakan buku-buku teks Amerika. Karena dihampir semua kota besar banyak muncul perguruan tinggi swasta, mereka yang bergelar Master dan Ph.D segera terserap waktunya mengajar di beberapa perguruan tinggi dengan memberikan kuliah-kuliah yang sama. Akibatnya hampir tidak tersedia waktu untuk mengadakan penelitian yang sebenarnya memberikan peluang diperolehnya contoh-contoh masalah ekonomi dari lapangan yang bermanfaat untuk melengkapi bahan-bahan ajar di dalam kuliah-kuliah. Maka metode pendidikan ilmu-ilmu ekonomi menjadi lebih bersifat deduktif-logis dan sama sekali tidak bersifat induktif-empirik.

Dosen-dosen pengajar di Indonesia, termasuk dosen-dosen di perguruan tinggi, pada umumnya mengajar dengan metode pertama (konvensional), yaitu menyampaikan pengetahuan kepada murid/Mahasiswa yang dianggap “masih kosong” atau belum memiliki pengetahuan apapun, dan guru/dosen yang “penuh dengan pengetahuan” menganggap tugasnya hanyalah “memindahkan” pengetahuan yang dimilikinya kepda murid/mahasiswa. Murid/mahasiswa dalam metode konvensional bersikap pasif laksana minum air tanpa perlu mengunyah dimulutnya. Guru/dosen dan murid/mahasiswa hanya hidup “diruang-ruang kelas” yang terisolasi dari masyarakat sekitar.

Jelas bahwa dalam proses “belajar-mengajar” pada cara yang kedua, guru/dosen juga ikut belajar, dan dapat dipastikan juga memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru bersama murid atau mahasiswanya. Tugas ilmu pengetahuan (sains) adalah tidak sekadar mendeskripsi dan menerangkan fenomena, tetapi benar-benar mengerti dan memahami objek studi.

Resensi Buku Pendidikan Ekonomi Kita. Prof. Dr. Mubyarto.
oleh: Yudi Ahmad Faisal

No comments: