Translate

Saturday, September 29, 2007

Mencari Format Evaluasi Ekonomi Islam

Dalam tiga decade terakhir, perkembangan pesat mengiringi perjalanan sepak terjang ekonomi Islam. Sudah banyak hal yang telah diperbuat dari perkembangan kajian ekonomi Islam, implikasi dari kemajuan cepat ini di representasikan oleh infrastruktur ekonomi syariah sudah mulai menunjukan keberadaanya dan pengaruh yang jelas dalam kehidupan berekonomi manusia di dunia ini. Meskipun infrastruktur ini masih dalam tahap pembangunan dan masih banyak aspek yang perlu dikaji untuk kesempurnaan pondasi infrastruktur ekonomi Islam. Upaya untuk melihat dan mengkaji perkembangan ekonomi Islam perlu dijelaskan dalam scope yang mewakili perkembangan tersebut, sebuah instrumen evaluasi baik terhadap substansi ekonomi Islam itu sendiri maupun terhadap infrastruktur yang berfungsi sebagai alat penerjemah dari kajian teoritis ekonomi Islam itu sendiri perlu ditampilkan. Objektifitas dalam mengevaluasi akan sangat ditentukan oleh validasi dari instrumen evaluasi ini.

Dalam upaya untuk menampilkan perkembangan ekonomi syariah, beberapa sarjana muslim di Indonesia telah berupaya untuk memformulasikan variabel pengukur perkembangan ekonomi syariah, variabel ini bersifat deskriptif. Contohnya Dawam Rahardjo (2003) menampilkan model empat pendekatan disajikan untuk melihat sejauh mana perkembangan dari ekonomi Islam. Variabel pertama adalah perkembangan Islamic Economics Corpus, variabel ini untuk mengkaji sejauh mana perkembangan pemikiran ekonomi Islam secara teoritis yang terefleksikan diantaranya oleh literatur, jurnal, buku dan makalah ekonomi Islam. Upaya menampilkan variabel ini sangat beralasan, karena substansi dari sebuah pergerakan adalah bermula dari pemikiran. Namun tidak diketahui dengan jelas batasan dari variabel ini, apakah hanya menampilkan hasil pemikiran an sich ataukah ada penekanan untuk mengevaluasi teori-teori ekonomi Islam secara substantif. Jika yang disebutkan terakhir ini ditampilkan, maka yang harus dikembangkan selanjutnya adalah batasan pemikiran dalam mengkritik teori ekonomi Islam itu sendiri. Dan ini akan sangat bersifat dinamis, dan merupakan kewajaran dalam dunia intelektual, pengembangan sebuah teori dan tentu saja proses trial and error sudah pasti muncul. Konsekuensi logis dari perkembangan Islamic economics corpus adalah peningkatan kualitas intelektual sumber daya insani. Kelahiran sumber daya insani ini merupakan sebuah ”evolusi alamiah” dari proses kajian, diskusi intensif yang dipraktekan untuk menemukan format ekonomi yang sesuai dengan sifat alamiah dasar manusia sebagai entitas material dan spritual dan untuk mencapai peradaban yang adil, dan tentu saja dirahmati Tuhan, karena dominasi prinsip-prinsip rejilius dalam prakteknya sebagai wujud penghambaan total manusia terhadap Pencipta-nya. Variabel yang kedua adalah hadirnya lembaga-lembaga pendidikan baik dalam bentuk informal maupun formal yang mengkaji dan menelaah ekonomi Islam. Lahirnya lembaga ini merupakan kebutuhan dari sebuah perkembangan yang harus difasilitasi untuk bisa tersosialisasi di masyarakat. Variabel ini sangat jelas hadir karena kebutuhan akan sebuah media untuk dapat mengkaji lebih intensif dan menelaah setiap ide-ide para pemikir (breakthrouger). Kehadiran sumber daya insani yang mempelajari ekonomi Islam melalui media ini akan lebih terarah dan terstruktur serta terencana dengan rapi, karena aturan baku dari sebuah program yang dibuat serta proyeksi yang jelas terhadap kualitas, ide dan visi dari sumber daya insani yang diciptakan. Variabel ketiga yang digunakan adalah perkembangan institusi keuangan bank dan institusi keuangan lainnya yang sesuai yang berusaha mengaplikasikan prinsip-prinsip syariah dalam produk dan jasa yang ditawarkan serta pelayanan. Dalam penjelasan selanjutnya, variabel ini dalam kurun 30 tahun terakhir perkembangan ekonomi syariah di dominasi oleh perbankan yang mencoba mendasarkan operasional dan produknya kepada aturan-aturan syariah (Islamic Banking). Variabel ini dimunculkan setelah kehadiran variabel pertama dan kedua, penetrasi riil perkembangan teori dan pemikiran ekonomi Islam diwakili oleh keberadaan variabel ketiga ini, dan yang terakhir adalah variabel perkembangan di sektor riil. Ini merupakan tujuan ”akhir”[3] dari semua perkembangan yang dimulai dari variabel pertama sampai ketiga. Kemampuan ekonomi Islam diuji oleh realitas di sektor riil ini, apakah ekonomi Islam mampu memberikan solusi terhadap permasalahan terhadap yang ”merakyat” ini, ataukah belum?. Disinilah titik kulminasi dari sebuah evolusi terhadap perkembangan ekonomi Islam jika dilihat implikasi bagi kehidupan berekonomi manusia.

Adiwarman Karim (2003) menawarkan 3 aspek pendekatan untuk menggambarkan perkembangan ekonomi Islam. Aspek pertama mempunyai substansi yang sama dengan yang ditawarkan Dawam Rahardjo (2003), yaitu perkembangan ilmu ekonomi syariah tetapi implikasi dari perkembangan ini, memasukan variabel sumber daya insani yang oleh peneliti sebelumnya di jadikan sebagai variabel tersendiri. Aspek yang kedua adalah perkembangan sistem ekonomi Islam, perkembangan ini harus direlasikan dengan perekonomian secara umum. Menariknya dalam aspek ini Adiwarman karim, menekankan pada pentingnya political will dalam mendukung perkembangan sistem ekonomi Islam, seperti regulasi tentang sistem ekonomi dan keuangan Islam itu sendiri perlu ada payung hukum yang mengatur aturan mainnya dalam dunia legal formal. Aspek yang terakhir adalah perkembangan ekonomi umat, aspek ini juga mempunyai kesamaan yang kuat dengan variabel yang disajikan Dawam Rahardjo.

Dari semua formulasi yang dihadirkan tersebut, tidak satupun formulasi yang mencoba untuk menekankan pada ekonomi Islam secara substansi, maksudnya melihat sesungguhnya bangunan dari ekonomi Islam itu sendiri. Selama ini Ekonomi Islam selalu diposisikan sebagai pengkritik dari ekonomi Ekonomi Konvensional yang mapan dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun terakhir ini, dalam memposisikan sebagai pengkritik ini sudah pasti ekonomi Islam seharusnya mempunyai kerangka yang jelas sehingga proses mengkritik menjadi objektif. Penekanan pada formulasi untuk mengevalusi ekonomi Islam secara substansi ini merupakan hal yang urgen.

Beberapa penulis sebelumnya telah mencoba untuk menghadirkan wacana ini, salah satunya adalah Khoerul Umam (2007)[4] dalam tulisannya sangat kental suasana otokritik terhadap perkembangan ekonomi Islam itu sendiri, tetapi penekanan kritik ini berpusat pada substansi bukan pada perkembangan fisik, meskipun menyebutkan beberapa implikasi dari perkembangan perkembangan ekonomi Islam yang dikritik tersebut. Dalam kritiknya tersebut disebutkan, pertama Ekonomi Islam belum memenuhi syarat sebagai pengkritik ekonomi konvensional karena bahan kritikan cenderung memakai kerangka normatif, bukan mengintegrasikan antara normatif dan positif sehingga tidak memenuhi syarat objektifitas karena menilai dua hal yang jelas berbeda, yang kedua Ekonomi Islam belum teruji secara riil, alasannya karena banyak negara muslim yang belum memakai ekonomi Islam sebagai kerangka kebijakan ekonomi negaranya. Ketiga, Ekonomi Islam mengalami kesulitan menemukan karakter dirinya yang berbeda dengan ekonomi konvensional dalam tataran operasional.

Kritikan tersebut menurut penulis tidak sepenuhnya benar, dalam tataran teoritis ada hal-hal yang telah dilakukan oleh para sarjana muslim yang mendalami ekonomi Islam untuk mencoba mengkiritik ekonomi konvensional dengan pendekatan positif, salah satu contohnya adalah kritik terhadap konsep money creation (fractional reserve system) pendekatan yang dilakukan tidak sepenuhnya normatif, karena kritik pada tataran normatif jelas sekali, bahwa Islam melarang tindakan menciptakan uang dari uang, dan ini bisa dijawab melalui konsep bunga[5]. Kritikan terhadap konsep ini dilakukan melalui analisis ilmiah mekanisme fractional reserve money yang membahayakan dibandingkan dengan konsep yang lebih sesuai dengan aturan Islam, yaitu konsep gold dinar[6]. Artinya dalam mengkritik konsep credit money creation telah diupayakan sebuah pendekatan kritik yang menggabungkan konsep normatif dan positif. Ini merupakan salah satu contoh, dan masih banyak lagi contoh kritikan sesuai dengan kriteria ini. Namun, yang perlu ditekankan disini adalah wacana perlu adanya sebuah otokritik terhadap bangunan ekonomi Islam itu sendiri, sudahkah ekonomi Islam menampilkan karakter dirinya sendiri, yang menurut terminologi Alparslan Acikgene seperti dikutip dalam Khoerul Umam(2007) dalam Islamic Science: Toward a Definitian, karakter yang dibangun oleh Islamic Worldview. Ataukah masih mengikuti benchmark Ekonomi Konvensional sehingga dalam perkembangannya pun akan mengikuti aturan main dan kerangka ekonomi konvensional.

Membicarakan dan membahas evaluasi terhadap bangunan ekonomi Islam itu sendiri merupakan konsekuensi logis dari harapan yang tinggi umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, terhadap keberadaan sistem ini, yang dilandasi nilai-nilai relijius dan membawa misi membangun ekonomi yang berkeadilan.

Membicarakan bangunan ekonomi Islam sekarang tidak bisa dilepaskan dari upaya Islamization of knowledge, yaitu usaha untuk mengislamisasi ilmu pengetahuan yang semakin populer dalam dunia muslim, yang disebabkan oleh ketertinggalan dunia muslim dengan dunia barat dalam bidang sciences dan technology. Pendekatan yang dominan dalam membangun ekonomi Islam sekarang ini adalah pendekatan la tukadhibuhu jamii’a walaa tushohihuhu jamii’a (jangan buang semuanya dan jangan ambil semuanya) artinya pendekatan yang dimulai dengan proses penyaring kemudian menambah nilai (value added). Pendekatan ini telah menjadi mazhab mainstrem ekonomi Islam, dengan motor penggerak seperti Umer Chapra, M. Nejatullah Shiddiqi. Dalam pendekatan ini, kecenderungan untuk dikritik akan terbuka karena kerangka ekonomi konvensional tidak seutuhnya dibuang (sehingga kecenderungan untuk memakai benchmark ekonomi konvensional akan semakin kuat) semenjak mazhab pemikiran ini mendeklarasikan pendekatan penyaringan (filterisasi) dan menambah nilai (value added), meskipun nanti akan kita bahas, justifikasi dari mazhab ini diantaranya antara lain bahwa ekonomi konvensional sekarang ini tidak sepenuhnya dibangun oleh dirinya sendiri melainkan ada warisan-warisan pemikiran ekonom islam klasik dalam ilmu ekonomi konvensional.

Lain lagi jika melihat Mazhab ekonomi Islam lain, yaitu mazhabnya Ayatullah Muhammad Baqr al Saqr, dimana pendekatan yang dilakukan adalah membuang (negasi) semua warisan ilmu ekonomi konvensional, sehingga think thank mazhab ini tidak mau sama sekali menggunakan istilah ”ekonomi” tetapi memakai istilah arab yaitu ”iqthishod” sehingga bukunya yang terkenal berjudul Iqthishoduna. Apakah ini yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Alparslan Acikgene (1996) karakter yang dibangun oleh Islamic Worldview sehingga akan melahirkan karakter dan bangunan yang sama sekali berbeda dengan karakter dan bangunan ekonomi konvensional.



by. Yudi Ahmad Faisal

to be continued....




[1] Pemikiran selama Bulan Maret 2007. Di UIA Malaysia.


[2] Member of Islamic Economics Forum for Indonesia Development (ISEFID), Mahasiswa PGDIBF Institute of Islamic Banking and Finance IIU Malaysia 2007.


[3] Maksud “akhir” disini bersifat relative untuk kehidupan di dunia saja, karena jika berbicara ekonomi Islam, ada implikasi di kehidupan selanjutnya, yaitu akhira. Ini terjadi setelah para sarjana muslim bersepakat bahwa ekonomi islam tidak bersifat keduniwian semata tetapi juga bersifat keakheratan.


[4] Tulisan dalam Diskusi Milis ISEFID 2007.


[5] Terangkan konsep bunga ???


[6] Bahasan selengkapnya baca Ahamed Kameel Meera & Moussa Larbani (2004) “Seignorage of Fiat Money ant the Maqasid al Shariah: the compatibility of the Gold Dinar with the Maqosid” KENMS IIUM.

No comments: