Translate

Friday, February 24, 2017

Mempertanyakan Euforia "Sharing Economy"



Belakangan, istilah ”sharing economy” mengemuka dan dianggap sebagai salah satu alternatif sistem perekonomian berbagi kesempatan berekonomi bagi semua kalangan masyarakat. Melalui beberapa icon seperti UBER, AIRBNB, dan perusahaan-perusahaan berbasis aplikasi online lainnya, euforia ”sharing economy” mulai merambah baik negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Saya mencoba mengilustrasikan praktik ”sharing economy” melalui cerita pengalaman pribadi seorang kawan untuk menilai dan mendefinisikan ”sharing economy” dari sudut pandang yang berbeda.


Kawan saya masuk dalam bisnis dengan jargon ”sharing economy” melalui sektor jasa kebersihan (cleaning service). Dia terdaftar sebagai ”a part-time cleaner”. Kawan saya tidak berstatus sebagai pegawai (employee) tetapi sebagai mitra bisnis (sub-contractor) yang menerima limpahan pekerjaan cleaning dari sebuah perusahaan cleaning berbasis online. Konsekuensi logis dari statusnya tsb, dia wajib membayar pajak sendiri, wajib membayar asuransi sendiri (public liability insurance), dan wajib mengeluarkan biaya operasional sendiri untuk keperluan bisnis tersebut. Walhasil, setiap dollar yang dia hasilkan dan terima harus dikurangi pajak (tax) yang besarnya hampir satu pertiga penghasilan kotor, dikurangi biaya asuransi, dan menyisihkan uang pensiun (superannuition) sebagai syarat wajib dalam regulasi setempat. Selain biaya-biaya tsb, dia masih harus mengeluarkan biaya operasional seperti bahan bakar kendaraan, biaya penyusutan kendaraan yang dipakai sebagai transport selama menjalani bisnis ini, dll. 60:40 adalah persentase standard dalam sistem ini. Maksudnya, ”fee” dari client dibayarkan sebanyak 60% kepada cleaner sebagai penghasilan kotor (sebelum dikurangi biaya-biaya tersebut diatas), dan 40% kepada perusahaan berbasis aplikasi online.


Dalam contoh saya diatas, perusahaan kebersihan berbasis aplikasi online berhasil mentransfer resiko kepada mitra bisnisnya yaitu para cleaner. Pada titik ekstrim, ada perusahaan-perusahaan yang cenderung mengekploitasi mitra bisnisnya. Laporan yang dikeluarkan oleh United Voice, berjudul ”a Dirty Business: the Exploitation of International Students...”, menyebutkan kebanyakan perusahaan sektor jasa kebersihan yg berbaju sistem ”sharing economy” mengurangi biaya (cutting costs) dan resiko melalui sistem ”sub-contractor”. Selain itu, perusahaan memanfaatkan ketidaktahuan para mitra bisnis (karena kebanyakan pelajar internasional yang kurang memahami regulasi dan kontrak kerjasama setempat) dengan membayar cleaner lebih kecil dari upah minimal untuk sektor ini. Lain halnya dalam kasus kawan saya, perusahaan tidak konsisten dan transparan dalam menerapkan aturan kenaikan ”fee” atau upah. Akibatnya, peningkatkan penghasilan berdasarkan kinerja menjadi tidak jelas. Terlebih, perusahaan diuntungkan oleh tingginya perputaran keluar masuk cleaner dalam bisnis cleaning. Semakin rendah durasi bekerja seorang cleaner, maka perusahaan semakin diuntungkan karena mampu menjaga titik terendah pembagian fee kepada para cleaner. United Voice menyebutkan bahwa perusahaan jasa kebersihan berbasis aplikasi online cenderung menyasar pelajar internasional memanfaatkan keterbatasan pemahaman pengenai sistem regulasi setempat, maupun aturan-aturan proteksi pekerja. Laporan tersebut menyatakan bahwa ekploitasi sistem ’sub-contractor” dalam kasus tersebut bagaikan ”perbudakan yang terselubung”.


Sepertinya, perusahaan berbasis aplikasi online berada pada puncak tertinggi penerima manfaat komersial (commercial benefits) dari sistem "sharing economy". Mereka mentransfer resiko kepada mitra bisnis mereka (para cleaner), mereka berhasil mengurangi biaya operasional dan membebankan biaya sepenuhnya kepada para cleaner, mereka pun berhasil mengurangi beban pajak, disisi lain penerimaan pajak pemerintah dari sektor ini tidak menentu akibat rendahnya konsistensi kerja para cleaner ataupun penghindaran pajak oleh para cleaner karena satu dan lain hal (contohnya selesai studi dan harus pulang ke negara asal). Sebuah laporan menyebutkan bahwa keuntungan sistem ”sharing economy” bukan karena inovasi dan teknologi yang mereka kembangkan, tetapi kemampuan sistem ”sharing economy” dalam mengurangi pajak (karena pajak perusahaan didistribusikan sebagian kepada mitra bisnis) dan mengurangi biaya. Seorang Deputi Direktur di the Center for Economic and Policy Research berbasis di Amerika Serikat menyatakan seandainya keberadaaan ”sharing economy” ditujukan untuk tujuan-tujuan diatas maka sistem ini bukan sebagai alternatif positif tetapi sebagai beban dalam masyarakat (costs within society).


Mendefinisikan Sharing Economy dengan Salah Kaprah?


Pada awalnya, definisi sharing economy disamakan dengan istilah ”collaborative consumption” atau berbagi konsumsi. Definisi ini cukup beralasan, karena istilah sharing economy muncul ketika ada trend di tengah-tengah masyarakat untuk saling berbagi contohnya berbagi pemanfaatan asset tertentu, seperti berbagi buku, tumpangan (transport), rumah, dll. Tentunya berbagi yang tidak gratis, tetapi kebanyakan ada kompensasi yang harus dibayarkan, tetapi mungkin dengan biaya yang lebih rendah dari harga pasar. Dalam konteks sharing economy, semua anggota masyarakat mempunyai kesempatan yang tidak terbatas untuk menjadi seorang pengusaha (entrepreneur). Teknologi informasi (TI) yang dikembangkan oleh para pemain sharing economy memungkinkan terjadinya relasi bisnis yang masif antara sesama anggota masyarakat.


Belakangan, sharing economy tidak hanya dibatasi oleh istilah ”collaborative consumption” seperti definisi diatas, tetapi juga model-model bisnis berbasis intermediasi online yang mempertemukan client bisnis, seperti perusahaan cleaning service berbasis online yang mempertemukan cleaner dengan client, atau taksi berbasis online yang mempertemukan ”driver” dengan penumpang. Dalam konteks ilustrasi saya diatas, rasanya tidak cocok mendudukkan perusahaan-perusahaan penyedian platform online tersebut sebagai bagian dari sharing economy. Adakah asset yang disharing baik antara perusahaan dengan para cleaner ataupun client dengan cleaner? Hubungan mereka adalah murni hubungan bisnis biasa dalam sistem capitalist economy. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya sebagai agen atau mediator.


Pekerja, konsumen, dan komunitas dimana perusahaan-perusahaan berbasis ”sharing economy” berada adalah komponen-komponen penting dalam sistem ”sharing economy”. Dalam contoh saya diatas, pekerja adalah pihak yang paling rendah dalam menerima manfaat sistem "sharing economy". Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka adalah kegagalan perusahaan untuk merealisasikan cita-cita ekonomi berbagi (sharing economy). Contoh saya diatas mengilustrasikan sebuah paradoks antara cita-cita ”sharing economy” dengan realitas dilapangan yang cenderung jauh dari nilai-nilai ekonomi berbagi. Tidaklah heran ketika seorang student yang diwawancarai oleh United Voice mengatakan : "I just keep loosing money. I work hard. I didn't get my full payments. I didn't get my rights. I didn't get my holiday pay. I didn't get my sick pay". Tidaklah heran, misalnya, ketika seorang supir taksi online di London, memasang spanduk di mobilnya sebagai wujud protes kepada perusahaan taksi berbasis online dengan tulisan ”a Modern Slavery”.


Punchbowl, 02.17

YAF

No comments: