Translate

Friday, February 24, 2017

Tukang Cilok, Marketing, dan Solusi Perekonomian Lokal

Menyambungkan ingatan ke masa lalu kadang mengasyikan, tidak terasa waktu telah berlalu belasan tahun ketika tahun 1980-an saya sekolah di sebuah SD di desa Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung. SD ini tepat disamping jarian, kebun bambu. Ketika istirahat saya selalu mempir ke kantin dibelakang sekolah melewati lorong bau hangseur untuk membeli makanan favorit saya yaitu cilok, bulat seperti bakso yang adonannya terbuat dari aci sehingga disingkat jadi cilok = aci dicolok. Setelah bertahun-tahun berlalu, ternyata makanan ini tidak tergusur oleh budaya Westernisasi dan Amerikanisasi, saya masih bisa menemukannya sekarang di abad 21 di berbagai tempat termasuk di landmark kota Bandung di tengah gencarnya serbuan gaya makanan (food style) barat seperti hamburger, fried chicken, pizza, dan segudang makanan import lainnya.


Adonan utamanya masih sama yaitu tepung aci (tepung tapioka), isi daging atau abon, kalo jaman sekarang lebih bervariasi isinya bisa strawberry, sosis, dll, maklum tukang cilok pun ngeh strategi marketing, mereka sudah melaksanakan yang namanya product innovation untuk lebih responsif terhadap permintaan dan selera pasar (market demand and style). Bahkan di dekat alun-alun kota Bandung, ada tukang cilok yang punya ciri khas sendiri yaitu pedasnya minta ampun, pedas bangeut. Sepertinya si emang cilok ini tahu apa yang dinamakan positioning, atau bagaimana memposisikan produk cilok ini dibenak konsumenya, sehingga konsumen seperti saya pun masih tetap ingat cilok pedas yang tiada ada duanya ini.


Para pedagang cilok tahu betul bahwa mereka punya market tersendiri (captive market) yang berbeda dengan segment market-nya model-model makanan yang di drive oleh korporasi internasional. Tipe pasar ini mungkin bisa digolongkan ke mereka-mereka yang selalu bernostalgia dengan masa lalu seperti saya, ataupun market yang emosional dan fanatic dengan makanan dan jajanan khas tradisional, market yang tergolong menengah kebawah dengan penghasilan pas-pasan, ataupun mereka yang coba-coba. Captive market ini sangat menggairahkan para para pebisnis mikro buktinya bisnis cilok makin bergairah, coba saja perhatikan hampir di sepanjang jalan-jalan terkenal kota Bandung dan sekitarnya selalu ada tukang cilok dengan kereta dorongnya ataupun yang di-tanggung. Memang sangat susah untuk diprediksi omzet bisnis cilok dan skala-nya karena memang mereka termasuk golongan underground economy yang tidak terdata secara lengkap di badan statistic Negara.


Yang membuat saya salut adalah kreativitas bisnis mikro ini dalam berbisnis. Kebanyakan mereka digolongkan unbankable, atau pihak yang tidak mempunyai akses ke permodalan karena mereka tidak mempunyai tangible ataupun intangible collaterals, alias jaminan fisik maupun non-fisik seperti nama baik, perijinan, manajemen usaha, pembukuan, dll. Tetapi spirit bisnis mereka patut dijadikan teladan dan contoh, saya selalu menyebut mereka dengan "real and pure entrepreneurs", tanpa koneksi dengan birokrasi, kekuatan politik (political power), institusi keuangan, dan setumpuk senjata para konglomerat lainnya mereka mampu mengembangkan bisnis meskipun dengan skala yang kecil. Pebisnis sejati adalah pebisnis, meminjam istilah Adam Smith, yang bisa membedakan economi realm and political realm, mereka berbisnis karena kreativitas bukan karena perlakuan khusus (special previllages) yang diberikan oleh Negara ataupun karena bergantung pada relasi-relasi ilegal (an illegal symbiotic relationship) seperti suap menyuap, nepotisme, dan lainnya. Meminjam istilah Michael H. Shuman dalam "the Local Economy Solution: How Innovative, Self-Financing Pollinator Enterprises can Grow Jobs and Prosperity", bisnis cilok ini eksis karena telah menjadi bagian dari local wisdom yg tetap eksis, mandiri, dan berkontribusi dalam menciptakan kesempatan berekonomi dalam wilayah yang sangat terbatas. Bravo Tukang Cilok!.


YAF


No comments: