Translate

Friday, February 24, 2017

Kunci Kebahagiaan adalah Bersyukur dan Menghargai Orang Lain

Teringat 5 tahun yang lalu pengalaman saya "mondok" beberapa minggu di Madinatul Qodiimah Fes, Maroko tepatnya di rumah seorang tua bernama Assia Beqqali di jalan 18 Derb Hal Tadla, Talaa Sghira.


Penyambutan kedatangan saya bagaikan sebuah keluarga menantikan kehadiran seorang anak, saya pun dianggap sebagai anak sendiri. Tanpa ragu-ragu keluarga sederhana ini meminta saya memanggil mereka sebagai abi dan ummi, dan menganggap anak-anak mereka sebagai saudara saya. Beliau menganalogikan persaudaraan seorang muslim dengan kiasan sebuah hadits bahwa muslim dan muslimat itu bagaikan sebuah bangunan, masing-masing komponen saling menguatkan satu sama lain sehingga patutlah disebut sebuah bangunan (al muslimu lil muslimi kal bunyan, yashuddu ba’duhu ba’dhon).


Fes dibagi kedalam dua wilayah, yaitu madinatul jadiidah (kota baru), dan madinatul qodiimah (kota tua). Kota tua tidak mengalami perubahan arsitektural yang signifikan, mereka tetap menjaga tata kota dengan gang-gang sempit khasnya, dan tipe rumah yang berhimpitan satu-sama lain yang sudah terbentuk sejak sebelum kesultanan Islam berdiri di Maroko ratusan tahun yang lalu. Bab Bujlud adalah benteng tua yang mengelilingi kota ini sedangkan di luar banteng ini berdiri tegak istana raja Maroko yaitu Muhammad ke-6.


Dengan gaya bahasa Arab percakapan yang agak berbeda dengan Mesir, dan Negara-Negara Timur Tengah lainnya, saya berusaha memahami gaya bahasa mereka yang kadangkala disertai dengan bahasa Perancis. Maklum kedatangan utama saya kesini adalah untuk belajar bahasa Arab secara langsung dari penutur aslinya sekaligus mengalami langsung budaya Islam yang pernah jaya di Maghrib ini.


Sangat menarik ketika saya seringkali mengucapkan kata “syukron” (terima kasih) dikala mereka berbuat kebaikan kepada saya, mereka seakan-akan sungkan menerima ucapan terima kasih, dan menjawab bahwa semua itu adalah kewajiban mereka sebagai tuan rumah kepada saya yang dimata mereka dianggap sebagai tamu sekaligus juga seorang Muslim. Dan seringkali mengutip rangkaian kata al Qur’an yang menjelaskan tentang keutamaan menjaga kesolidan masyarakat Muslim, dan keutamaan bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Mereka adalah keluarga yang sangat sederhana, seorang ayah yang pensiunan sopir taksi yang sudah tidak bisa bekerja lama karena salah satu kakinya diamputasi karena sebuah penyakit, tetapi memaksakan mengeluarkan biaya agar saya bisa hidup nyaman di sebuah kamar berukuran 2,5m x 3,5m.


Saya merasakan bahwa mereka berusaha menjadikan Islam sebagai agama yang hidup dalam kehidupan mereka (living religion). Agama yang hidup dalam keluarga, yang prinsip-prinsipnya menjadi panduan hidup mereka, yang dipelajari sekaligus juga dilaksanakan, yang memadukan antara hati, lisan, dan perbuatan.


Saya memotret sebuah phenomena bahwa kebahagiaan bukan pengaruh dari lingkungan tetapi pilihan sadar setiap manusia. Kebahagiaan adalah keputusan sadar dan bukan faktor bawaan dari luar. Ukuran kebahagiaan mereka itu adalah sikap bersyukur atas karunia yang Allah yang diberikan kepada mereka, mereka bahagia dan senang jika bisa memberikan sesuatu kepada orang lain dengan keterbatasan ekonomi yang mereka miliki. Mereka bahagia ketika bisa memberikan kebahagiaan kepada tamu mereka. Sungguh ucapan Imam Ali bin Abi Thalib ra. sangat mereka pahami, barang siapa yang membahagiakan seorang muslim maka Allah akan membahagiakannya kelak di akhirat. Kadangkala ilmu modern terlalu menyandarkan ukuran kebahagiaan pada pencapaian ekonomis, berapa rupiah yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup seorang manusia, semakin tinggi tingkat konsumsi suatu masyarakat maka dianggap semakin sejahtera dan implikasinya kebahagiaan pun dianggap linear dengan pencapaian itu.


Mondok bersama keluarga sederhana ini memberikan nasihat hidup yang luar biasa sekaligus menambah referensi intelektual saya. Variable kebahagiaan dalam sebuah masyarakat seperti Assia Beqqali ini adalah sikap bersyukur dan menghargai serta menghormati orang lain, bukan berapa jumlah rupiah yang dia konsumsikan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya sendiri.


Untuk hidup diperlukan upaya untuk menghidupkan diri kita, keluar dari sekat-sekat yang selama ini membelenggu alam pemikiran kita, dan itu bisa dilakukan salah satunya dengan belajar dari kehidupan sebagai universitas hakiki dalam sejarah manusia. Wallohu a’lam bishowab.


Yudi Ahmad Faisal

No comments: