Translate

Friday, February 24, 2017

Belajarlah dari Kehidupan! Kisah Muhammad dan Maryam



Pengalaman saya 'mondok' di Fes, Marokko mengingatkan saya kepada anak-anak pasangan Mustafa dan Assia Beqqali yaitu, Muhammad (17 tahun) dan Maryam (10 tahun). Keluarga ini adalah sebuah keluarga sederhana yang tidak mempunyai financial capability untuk menyekolahkan anak-anak mereka di institusi pendidikan formal nan prestisius dengan berbagai jenis program ekstrakurikuler yang “konon” untuk mencerdaskan anak dan meningkatkan skills anak. Namun alangkah kagetnya saya ketika mengetahui bahwa Muhammad dan Maryam rata-rata menguasai minimal empat bahasa yang berbeda, bahasa Arab, Perancis, Inggris, Portugis, dan Yunani dengan kemampuan artikulasi yang baik. Mereka adalah anak-anak yang menunjukkan spirit belajar yang luar biasa. Meminjam istilah Andreas Harefa, mereka adalah para "Manusia Pembelajar".


Mereka belajar bahasa bukan dari sekolah atau tempat kursus formal, tetapi dari inner spirit mereka untuk mengetahui, belajar, dan memperaktikan bahasa secara alami. Bagi mereka untuk belajar dan menguasai sesuatu tidak diperlukan institusi formal melainkan dari kehidupan mereka sendiri. Keterbatasan ekonomi mereka meruntuhkan sekat-sekat kelemahan dalam diri mereka sendiri dan mentransformasikannya menjadi sebuah potensi yang luar biasa. Sikap keingintahuan ini yang mengarahkan mereka untuk memahami dan menguasai berbagai bahasa.


Rumah keluarga ini memang berada di tengah-tengah Madinatul Qodiimah (kota tua) Fes dekat dengan salah satu mesjid tertua didunia yaitu mesjid Qurrowiyyin. Setiap hari kota historis ini dikunjungi turis dari berbagai Negara, sehingga dengan mudah mereka berkomunikasi dengan turis-turis yang membawa beragam bahasa. Keberadaan saya di rumah mereka pun dijadikan sebagai "sumber informasi". Hampir di setiap makan malam bersama di rumah mereka senantiasa bertanya tentang Indonesia, tentang belajar di Eropa, tentang berbagai hal yang tidak mereka ketahui.


Lingkungan kehidupan bagi mereka bagaikan sebuah universitas hakiki untuk mengantarkan mereka mencapai apa yang mereka inginkan. Spirit mereka adalah tawaddlu, atau rendah hati bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak merasa pintar tetapi haus akan pengetahuan dan ilmu-ilmu baru. Guru mereka adalah semua orang yang mereka anggap sebagai "sumber informasi", baik orang tua, para ulama yang sering mengisi pengajian-pengajian sore di Mesjid Al-Qurrowiyyin, di tengah-tengah kota tua, para turis yang sering lalu lalang di dekat rumah mereka, para tamu seperti saya, maupun para guru-guru mereka di sekolah resmi. Mereka belajar, meminjam istilah dari seorang bijak, bukan untuk menjadi budak-budak kapitalis, tetapi untuk kebahagian mereka sendiri. Mereka memperlihatkan sebuah high-class educational spirit bahwa tujuan belajar adalah untuk kemerdekaan, dan kebahagiaan, bukan untuk mengikuti struktur masyarakat komersial yang menjadikan pendidikan sebagai jembatan untuk mencapai “kemakmuran” finansial”. Belajar bagi mereka tidak dibajak oleh tujuan-tujuan komersial yang sempit.


Muhammad dan Maryam mengajarkan kita bahwa kehidupan adalah tempat belajar yang sebenarnya, sedangkan tujuan pendidikan bukan semata-mata untuk kepentingan materialisme sesaat, tetapi sebagai kendaraan untuk meninggikan derajat manusia. Pendidikan yang membawa kecerdasan dan kebahagiaan intelektual, emosional maupun spiritual.


Wallohu'alam bishowab.


Yudi Ahmad Faisal

No comments: